Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 11 (Kritik Sastra)



SAMAN DAN PENYIMPANGAN NILAI MORAL
Oleh Linda Fitri Yeni

KARYA sastra tidak terlepas dari masyarakat. Dan oleh sebab itu sastra dapat dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat. Sastra lahir dari proses imajinasi dari seorang pengarang, imajinasi timbul karena adanya fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Sasra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia, kehadirannya di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak bahkan kehadirannya diterima sebagai salah satu realitas budaya sehingga karya sastra saat ini tidak saja dinilai sebagai karya seni yang mengandung nilai-nilai yang terbungkus dalam imajinasi dan emosi penghayatan dari pengarang. Sastra sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosional.

Keluasan pengarang dalam menungkan ide dalam bahasa yang lues. Kemungkinan dipengaruhi oleh pandangan betap ambigu sesungguhnya moralitas itu, seperti yang terdapat dalam “Saman”. Perselingkuhan, tugas pastoral yang suci, percintaan yang sembunyi-sembunyi yang tidak dapat didudukkan pada sebuah ”kursi” moralitas yang hitam putih.
Hubungan seks yang begitu sakral bagi masyarakat kita, yang hanya boleh dilakukan bagi yang sudah memiliki ikatan perkawinan. Begitu pula seharusnya seseorang yang sudahmenikah harus setia pada pasangannya. Namun dalam novel saman dapat kits temukan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Sebagian tokohnya memberontak terhadap otorita moral yang diwakili orng tua, pemuka agama dan lain-lain. Tokoh laila menyebutnya dengan sebuah metafora “seperti burung-burung yang kawin pada saatnya lalu terbang begitu saja tampa meninggalkan dosa”.
“Tapi apakah aku berdosa”, demikian pertanyaan yasmin pada saman setelah perselingkuhan yang mereka lakukan yang terjadi begitu saja seperti sebuah kecelakaan. Dijawab saman dengan sebuah ungkapan yang skeptis tentang dosa, sebagamana yang digambarkan dibawah ini.
Aku tak tau apakah masih ada dosa.
Seks terlalu indah. Barang kali karna itu Tuhan begitu cemburu.
Sehinggah ia menyuruh Musa merajam orang yang berzinah?....
Perselingkuhan adalah perbuatan yang amoral namun begitu manusiawi. Itulah yang terlihat ketika masing-masing tokoh dalam novel ini melakukan perselingkuhan. Walaupun masih tersisa penyesalan yang diungkapkan secara baik dalam sebuah metafora “seekor ular menyelinap di hati dan membisikkan nikmat itu dosa”.
Tatangan paling ekstrim datang dari tokoh shakuntala yang memberontak terhadap otorites moral yang diwakili oleh tokoh ayah. Pemberontakan itu dapat kita lihat dari kata-kata di bawah ini.
Namaku shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal.
Sebab aku sudah tidur dengan beberapa laki-laki dan beberapa perempuan.
Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku
Aku menghormati mareka..
Sebab hidup bagiku menari dan menari….
Kebencian pada ayahnya dapat pula kita lihat pada bagian lain dari novel ini. Yaitu ketika ia (shakuntala) yang bekerja sebagai kereografer diminta tampil dibeberapa negara Eropa. Untuk itu ia perlu mengurus visa di kedutaan Nederland. Mereka menanyakan nama keluarganya.
Nama saya Shakuntala orang jawa tidak punya nama keluarga.”
“Anda memiliki ayah bukan?”
“alangkah indahnya kalau tak punya.”
Dia menolak menambahkan nama keluarga karna itu dianggapnya sebagai kekuasaan tokoh ayah atas dirinya. Perbuatan Shakuntala tersebut dapat disebut amoral namun lebih tepat rasanya istilah anti moral. Namun sisi moral pun harus di pahami dan di mengerti lebih jelas. Bukan saja dari sudut kemanusiaan atau “kursi” moralitas yang hitam putih. Namun memahami orang sebagaimana adanya. Dalam vovel saman ini ialah tokoh Upi sebagai tokoh wanita yang idiot, melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Dia menggosokkan selangkangannya pada pokok-pokok karet dan memperkosa kambing dan ternak-ternak tetengga. Hal tersebut dapat dikatakan perbuatan amoral namun kita harus memahami dia adanya.
Dalam “Saman” hubungan seks antar tokoh-tokohnya bukan dengan maksud sebagai sebuah komoditi tambahan atau sumber penghasilan. Namun semua itu hanya bersifat nafsu belaka. Cok (salah satu tokoh wanita dari empat sekawan Laila, Yasmin, dan Tala) bisa disebut sebagai donjuannya cewek, yang berkencan dengan teman laki-lakinya lalu memutuskan mereka begitu saja. Dalam novel ini disebutkan bahwa cok dan shakunta adalah tipe wanita yang tidak peduli pada neraka dan perkawinan. Lain halnya dengan Laila yang sedang mencari seorang lelaki yang pantas untuk membangun sebuah keluarga dan membahagiakan orang tua dengan cucu-cucunya, yang mencintai lihar seorang karyawan pertambangan yang sudah beristri.
Dalam novel ini kita dapat pula melihat bagaimaa moral para penguasa terutama pada zaman orde baru, mungkin masih relevan dengan kondisi saat ini. Yang dalam banyak tindakan atau keputusan banyak merugikan masyarakat bawah. Sering pula melakukan kekerasan bila ada yang mencoba menghalangi tujuannya. Bahkan banyak pula yang dicap sebagai komunis, sebagai mana yang terjadi pada tokoh saman dan masyarakat perkebunan di lubuk rantau sebagai salah satu latar novel ini.
Pada bagian lain kita juga menemukan banyak kesewenangan pihak yang pemegak otoritas kewenangan. Yaitu ketika Rosano mengambil sebuah keputusan yang berbahaya saat mengekplorasi minyak dilepas pantai walaupun telah diperingatkan oleh Sihar berkali-kali. Peristiwa itu menyebabkan tewasnya tiga karyawannya. Selain itu dia juga dituduh masyarakat sebagai pembunuh karena masyaraat melihat korban terakhir pergi dengannya, yaitu seorang gadis kampung yang dijanjikan untuk dikawini setelah menyerahkan kesuciannya. Namun semua itu tidak dapat diusut karena orang tuanya salah satu pejabat penting departemen pertambangan.
Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa “Saman” adalah novel yang banyak bicara tenteng realita-realita kemanusiaan dan permasalahannya. Tidak hanya terbatas pada persoalan cinta dan seks tapi juga banyak menyinggung masalah politik dan kekuasan. Walaupun dalam novel saman ini bnyak menyuguhkan hal yang masih tabu dalam masyarakat kita. Beberapa fakta diatas dapat kita jadikan pedoman untuk memperkaya khasanah kita dalam berpikir. Bagai mana dengan masyarakat kita dalam menjaga nilai-nilai leluhur seperti kesetiaan terhadap pasangan, nilai keperawanan, tata krama, sopan santun, apakah dapat kita pertahankan sebagaimana mestinya.
Begitu banyak pengarang yang mengangkat persoalan cinta, seks, dan kekuasaan dalam karya sastra mereka. Setelah Orde Baru runtuh dan jurnalisme menemukan kembali kebebasannya, begitu pula teknologi internet yang menyediakan ruang berupa web, blog, maupun situs-situs sastra lainnya yang dapat menampung gairah para penikmat sastra, bahkan yang ‘amatiran‘ sekalipun. Kondisi ini membuat para penulis berlomba-lomba dalam menciptakan karyanya. “Saman” tidak akan dapat dirasakan begitu menarik jika pengarang tidak mampu memberi warna baru dalam dunia sastra di indonesia. Kekreativan dan imajinasi merupakan modal utama bagi penulis dalam menciptakan sebuah karya.

Profil Penulis:
Linda Fitri Yeni, biasa dipanggil Linda. Anak ketiga dari empat bersaudara, dan anak perempuan satu-satunya di keluarganya. Linda dilahirkan di Lintau Buo, pada tanggal 4 April 1990. Dari kecil dara ini menyukai memancing, bermain bulu tangkis, dan membaa. Cita-citaknya dari kecil ingin menjadi seorang guru dan itu terinspirasi dari ibunya yang juga berprofesi sebagai seorang guru.
Sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Negeri Padang, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Baginya hidup ini adalah sebuah perjuangan. Yaitu sebuah perjuangan dalam pencapaian semua harapan.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog