SAMAN
DAN PENYIMPANGAN NILAI MORAL
Oleh
Linda Fitri Yeni
KARYA sastra tidak
terlepas dari masyarakat. Dan oleh sebab itu sastra dapat dianggap sebagai
cerminan keadaan masyarakat. Sastra lahir dari proses imajinasi dari seorang
pengarang, imajinasi timbul karena adanya fenomena yang terjadi dalam
masyarakat. Sasra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam
peradaban manusia, kehadirannya di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak
bahkan kehadirannya diterima sebagai salah satu realitas budaya sehingga karya
sastra saat ini tidak saja dinilai sebagai karya seni yang mengandung
nilai-nilai yang terbungkus dalam imajinasi dan emosi penghayatan dari
pengarang. Sastra sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai
konsumsi intelektual di samping konsumsi emosional.
Keluasan
pengarang dalam menungkan ide dalam bahasa yang lues. Kemungkinan dipengaruhi
oleh pandangan betap ambigu sesungguhnya moralitas itu, seperti yang terdapat
dalam “Saman”. Perselingkuhan, tugas pastoral yang suci, percintaan yang
sembunyi-sembunyi yang tidak dapat didudukkan pada sebuah ”kursi” moralitas
yang hitam putih.
Hubungan seks
yang begitu sakral bagi masyarakat kita, yang hanya boleh dilakukan bagi yang
sudah memiliki ikatan perkawinan. Begitu pula seharusnya seseorang yang
sudahmenikah harus setia pada pasangannya. Namun dalam novel saman dapat kits
temukan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Sebagian tokohnya memberontak
terhadap otorita moral yang diwakili orng tua, pemuka agama dan lain-lain.
Tokoh laila menyebutnya dengan sebuah metafora “seperti burung-burung yang
kawin pada saatnya lalu terbang begitu saja tampa meninggalkan dosa”.
“Tapi apakah aku
berdosa”, demikian pertanyaan yasmin pada saman setelah perselingkuhan yang
mereka lakukan yang terjadi begitu saja seperti sebuah kecelakaan. Dijawab
saman dengan sebuah ungkapan yang skeptis
tentang dosa, sebagamana yang digambarkan dibawah ini.
Aku tak tau
apakah masih ada dosa.
Seks terlalu
indah. Barang kali karna itu Tuhan begitu cemburu.
Sehinggah ia
menyuruh Musa merajam orang yang berzinah?....
Perselingkuhan
adalah perbuatan yang amoral namun begitu manusiawi. Itulah yang terlihat
ketika masing-masing tokoh dalam novel ini melakukan perselingkuhan. Walaupun
masih tersisa penyesalan yang diungkapkan secara baik dalam sebuah metafora
“seekor ular menyelinap di hati dan membisikkan nikmat itu dosa”.
Tatangan paling
ekstrim datang dari tokoh shakuntala yang memberontak terhadap otorites moral
yang diwakili oleh tokoh ayah. Pemberontakan itu dapat kita lihat dari
kata-kata di bawah ini.
Namaku shakuntala.
Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal.
Sebab aku sudah
tidur dengan beberapa laki-laki dan beberapa perempuan.
Meski tidak
menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku
Aku menghormati
mareka..
Sebab hidup
bagiku menari dan menari….
Kebencian pada
ayahnya dapat pula kita lihat pada bagian lain dari novel ini. Yaitu ketika ia
(shakuntala) yang bekerja sebagai kereografer diminta tampil dibeberapa negara
Eropa. Untuk itu ia perlu mengurus visa di kedutaan Nederland. Mereka
menanyakan nama keluarganya.
“Nama saya Shakuntala orang jawa
tidak punya nama keluarga.”
“Anda memiliki
ayah bukan?”
“alangkah
indahnya kalau tak punya.”
Dia menolak
menambahkan nama keluarga karna itu dianggapnya sebagai kekuasaan tokoh ayah
atas dirinya. Perbuatan Shakuntala
tersebut dapat disebut amoral namun lebih tepat rasanya istilah anti moral.
Namun sisi moral pun harus di pahami dan di mengerti lebih jelas. Bukan saja
dari sudut kemanusiaan atau “kursi” moralitas yang hitam putih. Namun memahami
orang sebagaimana adanya. Dalam vovel saman ini ialah tokoh Upi sebagai tokoh wanita
yang idiot, melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Dia menggosokkan
selangkangannya pada pokok-pokok karet dan memperkosa kambing dan ternak-ternak
tetengga. Hal tersebut dapat dikatakan perbuatan amoral namun kita harus
memahami dia adanya.
Dalam “Saman”
hubungan seks antar tokoh-tokohnya bukan dengan maksud sebagai sebuah komoditi
tambahan atau sumber penghasilan. Namun semua itu hanya bersifat nafsu belaka.
Cok (salah satu tokoh wanita dari empat sekawan Laila, Yasmin, dan Tala) bisa
disebut sebagai donjuannya cewek, yang berkencan dengan teman laki-lakinya lalu
memutuskan mereka begitu saja. Dalam novel ini disebutkan bahwa cok dan
shakunta adalah tipe wanita yang tidak
peduli pada neraka dan perkawinan. Lain halnya dengan Laila yang sedang mencari
seorang lelaki yang pantas untuk membangun sebuah keluarga dan membahagiakan
orang tua dengan cucu-cucunya, yang mencintai lihar seorang karyawan
pertambangan yang sudah beristri.
Dalam novel ini
kita dapat pula melihat bagaimaa moral para penguasa terutama pada zaman orde
baru, mungkin masih relevan dengan kondisi saat ini. Yang dalam banyak tindakan
atau keputusan banyak merugikan masyarakat bawah. Sering pula melakukan
kekerasan bila ada yang mencoba menghalangi tujuannya. Bahkan banyak pula yang
dicap sebagai komunis, sebagai mana yang terjadi pada tokoh saman dan
masyarakat perkebunan di lubuk rantau sebagai salah satu latar novel ini.
Pada bagian lain
kita juga menemukan banyak kesewenangan pihak yang pemegak otoritas kewenangan.
Yaitu ketika Rosano mengambil sebuah keputusan yang berbahaya saat
mengekplorasi minyak dilepas pantai walaupun telah diperingatkan oleh Sihar berkali-kali.
Peristiwa itu menyebabkan tewasnya tiga karyawannya. Selain itu dia juga
dituduh masyarakat sebagai pembunuh karena masyaraat melihat korban terakhir
pergi dengannya, yaitu seorang gadis kampung yang dijanjikan untuk dikawini
setelah menyerahkan kesuciannya. Namun semua itu tidak dapat diusut karena
orang tuanya salah satu pejabat penting departemen pertambangan.
Dari uraian di atas
dapat kita lihat bahwa “Saman” adalah novel yang banyak bicara tenteng
realita-realita kemanusiaan dan permasalahannya. Tidak hanya terbatas pada
persoalan cinta dan seks tapi juga banyak menyinggung masalah politik dan
kekuasan. Walaupun dalam novel saman ini bnyak menyuguhkan hal yang masih tabu
dalam masyarakat kita. Beberapa fakta diatas dapat kita jadikan pedoman untuk
memperkaya khasanah kita dalam berpikir. Bagai mana dengan masyarakat kita
dalam menjaga nilai-nilai leluhur seperti kesetiaan terhadap pasangan, nilai
keperawanan, tata krama, sopan santun, apakah dapat kita pertahankan
sebagaimana mestinya.
Begitu banyak
pengarang yang mengangkat persoalan cinta, seks, dan kekuasaan dalam karya
sastra mereka. Setelah Orde Baru runtuh dan jurnalisme menemukan kembali
kebebasannya, begitu pula teknologi internet yang menyediakan ruang berupa web,
blog, maupun situs-situs sastra lainnya yang dapat menampung gairah para
penikmat sastra, bahkan yang ‘amatiran‘ sekalipun. Kondisi ini membuat para
penulis berlomba-lomba dalam menciptakan karyanya. “Saman” tidak akan dapat
dirasakan begitu menarik jika pengarang tidak mampu memberi warna baru dalam
dunia sastra di indonesia. Kekreativan dan imajinasi merupakan modal utama bagi
penulis dalam menciptakan sebuah karya.
Profil Penulis:
Sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Negeri
Padang, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Baginya hidup ini
adalah sebuah perjuangan. Yaitu sebuah perjuangan dalam pencapaian semua
harapan.
0 Komentar:
Posting Komentar