Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 20 (Kritik Sastra)



METAFORA DALAM NOVEL  LASKAR PELANGI
Oleh Dwi Yuniarsih

DALAM memperindah sebuah karya sastra, biasanya seorang penulis atau sastrawan sering menggunakan gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa itu dianggap dapat mengiaskan atau melukiskan suatu cerita sehingga menjadi indah dan menarik pembaca. Adapun salah satu gaya bahasa perbandingan yang cukup sering digunakan oleh penulis adalah majas metafora. Gaya bahasa metafora memiliki pengertian membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lain tanpa mempergunakan kata-kata hubung pembanding. Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan yang sangat erat, semakin banyak kosakata seseorang semakin beragam pula gaya bahasa yang dipakainya (Tarigan, 1985:5). Selain itu, seperti yang kita ketahui bahwa gaya bahasa mencakup semua jenis ungkapan yang bermakna lain dengan makna harfiah yang bisa berupa kata, frase, ataupun satuan sintaksis yang lebih luas (Hoed, 1992:15).

            Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra tidak dapat dipisahkan dari hasil karya sastra itu sendiri seperti novel. Karya sastra berbentuk novel di dalamnya terdapat berbagai macam gaya bahasa dan bahasa sastra, karena novel berasal dari ide kreatif dan hasil imajinasi dengan alam nyata atau dengan kehidupan nyata Novel menjadi bagian dari karya sastra dan sebagai hasil pekerjaan kreasi manusia karya sastra yang berupa novel tidak akan pernah lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan manusia sangat erat kaitannya karena keberadaan sastra sering bermula dari pemasalahan serta persoalan dengan daya imajinasi yang tinggi. Pengarang menuangkan masalah-masalah yang ada disekitarnya menjadi karya sastra.
Perkembangan karya sastra di Indonesia akhir-akhir ini sangatlah membanggakan dan terbilang sukses khususnya karya sastra dalam wujud novel. Banyaknya novel populer yang diterbitkan  dengan berbagai tema dan isi yang disajikan oleh si pengarang. Akan tetapi, novel yang mendapat perhatian dari pecinta dan peminat novel di Indonesia, antara lain novel karya seorang Andrea Hirata, salah satunya novel Laskar Pelangi.
            Novel seri pertama yang berjudul laskar pelangi menceritakan kisah kehidupan masa kecil Andrea yang ditokohkan sebagai Ikal. Laskar pelangi merupakan kisah yang sangat sederhana namun sarat makna dan mampu menarik perhatian pembaca.
            Novel Laskar Pelangi diterbitkan pertama kali pada September 2005. Sejak kemunculan novel Laskar Pelangi mendapatkan tanggapan yang positif dari penikmat sastra. Sampai saat ini novel Laskar Pelangi sudah dicetak ulang sebanyak tiga belas kali dari tahun 2005-2008. Novel Laskar Pelangi adalah novel pertama tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tiga novel berikutnya yaitu Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Tingginya apresiasi masyarakat terhadap novel tersebut menjadikan Laskar Pelangi masuk dalam jajaran bestseller,   mendapat julukan Indonesia’s Most Poweful Book. Apresiasi yang begitu besar terhadap novel tersebut membuat salah satu penulis muda ini tertarik untuk mengangkat novel tersebut ke dalam layar lebar dan tidak kalah dengan novelnya ternyata film tersebut masuk dalam jajaran Box Office Indonesia (Atminingsih, 2008: 15).
            Novel Laskar Pelangi ditulis dengan bahasa yang mengajak dan bersahabat agar pembaca tertarik untuk membacanya. Ada intimacy dalam cara penyampaiannya, tidak menyalahkan, tidak menceramahi, tidak menggurui, tidak menyalahkan, tidak terburu-buru menghakimi, dan disampaikan dalam bahasa yang membuat pembaca tersentuh jika membacanya.
            Novel Laskar Pelangi merupakan kisah nyata yang dialami oleh Andrea Hirata. Ia mengemas novel tersebut dengan bahasa yang sederhana, imajinatif, namun tetap memperhatikan kualitas isi dan penuh dengan gaya bahasa yang bervariasi. Terutama adalah gaya bahasa metafora yang berani dan memikat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia. “Laskar Pelangi bertabur metafora yang berani, tak biasa, tidak terduga, kadangkala ngawur, namun amat memikat” (Laskar Pelangi, 2008: 532). Sejalan dengan pendapat Damono, ada beberapa pujian untuk Laskar Pelangi yang mengatakan bahwa novel tersebut penuh dengan metafora yang memikat dan orisinil.
Perhatikan dalam kutipan berikut ini:
“Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita yang menarik. Apalagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi yang kuat, filmis ketika memotret lanskap dan budaya….” (Pujian untuk Laskar Pelangi dari majalah Tempo dalam novel Laskar Pelangi).
“Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena unik dan orisinil”
(Pujian untuk Laskar Pelangi dari harian Tribun Jabar dalam novel Laskar Pelangi).
“Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan kadar emosi yang demikian kental bertabur metafora penuh pesona, hanya dalam waktu tiga pekan.”
(Pujian untuk Laskar Pelangi dari Rita Archis wartawati majalah Gatra dalam Laskar Pelangi).

Profil Penulis:
Dwi Yuniarsih,  lahir di kota Padang tanggal 2 Juni. Di masa SMA, dia sudah pernah bekerja sebagai guru TPA disebuah mesjid dalam kurun waktu 3 tahun. Dia mendapatkan pengalaman dan pelajaran yang sangat luar biasa, seperti  pelajaran bagaimana menghadapi anak-anak yang memiliki sifat-sifat yang berbeda-beda, dari anak-anak yang sangat pendiam sampai anak-anak yang sangat nakal sekalipun. Sekarang yang akrab dipanggil Yuni ini, sedang menggeluti pendidikan di Universitas Negeri Padang.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog