MITOS DAN REALITA DALAM BILANGAN FU
Oleh Nardia
Susanti
SEBAGAI novel yang padat
dan berat, novel Ayu Utami ini memerlukan sedikit pemikiran untuk mencernanya.
Namun dengan gaya penulisan bahasa dan sastra yang mengunakan kalimat-kalimat
pendek, Ayu tidak kehilangan kelincahannya. Sehinga memudahkan pembaca untuk
memahami maksud Ayu dalam novel ini.
Bilangan Fu dan
Hu adalah bukti sikap kritis Ayu Utami dalam hal mitos dan tahayul yang sudah
begitu mengakar dalam masyarakat disekitar hutan kawasan perbukitan Gamping
Sewugunung, terpelihara oleh kepercayaan lokal atau tahayul, kepercayaan akan
roh-roh, mambang, demid, siluman mencegah manusia melakukan perusakan pada
alam, tapi Ayu Utami menyodorkan pemanjat bersih dan pemanjat suci seperti yang
diinginkan oleh Parang Jati yang dianut Yuda.
Banyak sekali
mitos yang terjadi dalam Bilangan Fu, ketika Yuda diwahyukan bilangan oleh
penungu Watugunung, dalam mimpinya yang beraroma seksual membuat Yuda
ketindihan dan mimpi basah, yang disebutnya dengan Sebul. Dalam gambarannya
Sebul adalah makhluk berkaki Serigala, memiliki payudara, berkelamin ganda dan
membisikan Bilangan Fu, bilangan yang seperti obat nyamuk bakar dan keluar
bagai labirin yang juga disebut Hu oleh temannya Parang Jati
Dalam
mengungkapkan mitos dan realita, Ayu juga menghadirkan perdebatan antara Yuda dan
Parang Jati serta penduduk setempat dan juga saudara tirinya Parang Jati yaitu
Kupu-kupu yang berganti nama menjadi Farisi. Dalam menyampaikan pendapatnya
tentang berbagai adat istiadat yang berhubungan dengan spritual Jawa, seperti
kepercayaan tentang Nyai Rara Kidul, persambahan atau sesajen, upacara Bekakak
dan adanya mayat yang hilang dari kuburannya sehinga membuat Yuda melihat Tuyul
dan ternyata Parang Jati terhubung dengan sirkus orang aneh yang disebut Saduki
Klan dimana ia berteman dengan berbagai makhluk aneh seperti manusia Gelembung,
manusia Gajah, manusia Badak, Macan jadian, manusia Kadal, manusia Genduruwo,
Tuyul dan manusia Pohon.
Dalam Bilangan
Fu, mitos dan tahayul bagaikan hal yang sudah diyakini oleh masyarakat
Sewugunung, karena ketika Yuda dan Parang Jati bertemu dengan seorang dukun
yang baru selesai mengadakan sesajen atau persembahan pada sebatang pohon
besar, dan beberapa menit berikutnya mereka mendengar bahwa salah satu dari
temannya dan dukun tersebut digigit oleh anjing gila. Karena kepercayaan warga
setempat sangat kuat pada tahayul, maka dukun tersebut tidak mau dibawa kerumah
sakit untuk berobat malah ia memilih untuk mengisap darah yang berada pada
bekas gigitan anjing gila tersebut dengan berbagai doa dan mantera yang
diyakininya. Tapi doa dan mantera itu tidak seperti yang diharapkannya karena
tidak bisa menyembuhkannya dari gigitan anjing gila tersebut, beberapa hari
kemudian dukun tersebut meningal.
Ketika warga
desa ingin menyembahyangkan dukun tersebut
sebelum dikubur. Tapi Kupu-kupu mengutip, “janganlah kamu sekali-kali
menyembahyangkan orang-orang musyrik.”
“Ya, ya. Bapak
ini juga sudah tahu ayat itu,”kata penghulu Semar” tapi hal demikian itu
menjadi pengetahuan Gusti Allah semata. Lagi pula kita ini warga desa, seluruh
warga desa ikhlas dalam menyembahyangkan almarhum, nak.”
“Ustadz jangan
menyebut dia almarhum. Almarhum hanya untuk orang muslim. Dia telah musyrik.”
Suasana sangat
tegang karena Kupu-kupu tidak mau membiarkan orang-orang menyembahyangkan mayat
tersebut. Diantara pelayat aku melihat dua tiga orang yang mulai setuju pada
perkataan Kupu-kupu, meskipun mereka tidak mau berbicara dengan keras, tanpa
pendukung pun, kekerasan hati Kupu-kupu untuk menghalangi pemakaman cukup
membuat keadaan semakin genting. (hal 97).
Karena tindakan
itulah, maka mayat tersebut dikuburkan ditempat terpencil bukan dipemakaman
umum, dan beberapa hari berikutnya ketika istri almarhum pergi ke kuburan suaminya dan ia menjerit karena mayat
tersebut telah hilang dan keluar dari kuburnya, tapi tidak ada satupun orang
yang tahu kemana larinya atau hilangnya mayat tersebut. Dilihat dari kehidupan
nyata, tidak mungkin ada mayat yang bisa keluar dari kuburnya, tapi inilah yang
terjadi di daerah tersebut. Karena peristiwa itu Yuda yang biasanya tidak
percaya pada tahayul atau mitos kini sudah mempercayainya, terlebih karena ia
sebelumnya melihat Tuyul didekat kuburan dukun tersebut. Pernyataan Yuda
tersebut dibenarkan oleh temannya Parang Jati kalau di daerah Watugunung tidak
hanya satu atau dua Tuyul, tapi banyak sekali Tuyul dan makhluk jenis lainnya
yang menjadi penunggu Watugunung.
Dari
uraian di atas dapat kita lihat bahwa Bilangan Fu, adalah novel yang banyak
berbicra tentang mitos, tahayul dan spritualitas dalam raelita masyarakat.
Tidak hanya sebatas tahayul dan spritualitas tapi juga menyingung masalah
moralitas dan nilai-nilai masyarakat dan juga kepercayaan untuk melestarian
alam atau menjaga kelestarian alam sekitarnya.
Nardia Susanti lahir di Padang Panjang pada tangal 20 Juli 1989. Anak
pertama dari tiga bersaudara, yang menjadi harapan bagi keluarganya dan menjadi
panutan bagi adik-adiknya. Ia mengawali pendidikan formalnya di SDN 12
Sikaladi, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, lulus tahun 2002.
Lalu melanjutkan di MTsN subang anak, Batipuh Padang
Panjang, selama tiga tahun dan lulus pada tahun 2005. Kemudian melanjutkan SMA
di SMA Muhammadiyah Padang Panjang, lulus tahun 2008. Sekarang pendidikan terakhir
masih melanjutkan pendidikan di Universitas Negeri Padang.
Tinggal berjauhan dengan orang tua yang berasal dari
Batusangkar ini memang agak sulit baginya untuk hidup mandiri, tapi dengan
sifat yang mudah terbuka dan bergaul membuatnya mudah untuk beradaptasi dilingkungan
barunya ketika memuai kuliah.
0 Komentar:
Posting Komentar