Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 15 (Kritik Sastra)



ATHEISME DALAM SASTRA

Oleh Vivi Yunita

SASTRA istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sesuatu yang dahulu kita anggap sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan puisi dan prosa ternyata tidak sesederhana itu. Kita harus banyak menggali dan mempelajari lebih banyak lagi segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra tersebut. Sastra dapat diibaratkan dengan samudra yang sangat luas, yang memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat mengukur kedalamannya dan memanfaatkan kekayaannya.
Sastra sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara objektif. Hal ini mengembalikan definisi sastra kepada cara bagaimana seseorang memilih untuk membaca, bukan kepada sifat-sifat karya tertulis tersebut. Apakah benar bahwa sebagian besar karya-karya yang dikaji sebagai sastra di pusat-pusat kajian akademik diciptakan untuk dibaca sebagai sastra? Banyak yang sebenarnya tidak dibuat demikian. Sebuah karya mungkin bermula sebagai sejarah atau falsafah dan setelah itu digolongkan sebagai sastra. Atau, karya itu mungkin bermula sebagai sastra kemudian berfungsi lain karena disanjung nilai psikologisnya.
Yang penting adalah bukan asal-usulnya, tetapi bagaimana karya itu diperlukan manusia. Jika mereka memutuskan itu sastra, jadilah karya itu sebagai sebuah karya sastra.
Dalam ilmu sastra terdapat berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah Kritik Sastra. pengertian kritik sastra adalah sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik, yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Dijelaskannya lebih lanjut bahwa kata pembaca dalam definisi singkat itu digunakan dengan sengaja untuk menunjukkan bahwa kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa dan dengan sendirinya melekat dalam pengalaman sastra. Seorang pembaca sastra dapat membuat kritik sastra yang baik, apabila betul-betul berminat kepada sastra, terlatih kepekaan citanya, dan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi dalam menunjukkan kerelaan jiwa untuk menyelami dunia karya sastra.
Kritik sastra pernah dikotak-kotakan dengan berbagai cara menurut sifat, tujuan, sejarah, atau lingkungan sosial geografis tertentu. Hal tersebut memperhatikan bagaimana para kritikus dan para ilmuan sastra mencoba mendekati sastra melalui berbagai jalan dan ikhtiar. Namun, tidaklah semua pendekatan itu bersifat mutlak dan berdiri sendiri, yang salah satu dengan yang lainnya saling berhubungan.
  Roman sebagai salah satu hasil dari karya sastra memang sangat menarik untuk diteliti dan diketahui lebih dalam lagi mengenai karya tersebut. Roman berasal dari kata “roman” yang artinya adalah cerita dalam bahasa Romawi. Roman dalam kaitannya dengan sastra berarti cerita yang ditulis dalam bentuk prosa, menceritakan tentang kehidupan manusia secara lahir maupun bathin. Roman memiliki keunikan tersendiri dengan karya sastra yang lain. Namun, dewasa ini roman dan novel sering tidak dihiraukan perbedaannya. Bahkan pembaca sering tidak menghiraukan perbedaan yang ada antara roman dan novel yang ada. Mereka lebih tertarik terhadap isi dari buku yang dibacanya. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya kemajuan dan kreatifitas sastrawan dalam menghasilkan karya-karyanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada nilai-nilai regilius yang terkandung dalam Roman Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Dalam roman ini pengarang mencoba mengaitkan dan menghubungkan karya sastranya dengan nilai-nilai religious atau nilai agama yang dituangkan dalam karyanya. Maksud seorang pengarang menuangkan nilai-nilai regilius sangat sesuai dengan realita kehidupan baik pengarang sendiri atau pun lingkungan pengarang. Salah satu nilai regilius yang dibahas dalam karya sastra adalah tentang Atheisme, karena pengarang melihat banyak manusia yang tidak mengakui adanya tuhan lagi, manusia hanya berbuat dan merasa dirinya adalah segalanya dan tidak ada yang lebih dari dirinya.
Sebelum Hasan pindah ke Bandung, untuk meneruskan sekolahnya, di Mulo dia adalah seorang pemuda yang sangat taat terhadap agama. Hal ini memang sesuai dengan keadaan di daerahnya yaitu daerah Penyeredan, dimana kehidupan agama Islam begitu kental. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk agama Islam ortodok dan ikut dalam suatu kelompok tarekat agama tertentu.
Selama di Mulo, Hasan berpacaran dengan seorang gadis yang bernama Rukmini, yaitu teman sekolahnya di Mulo. Namun cinta mereka harus kandas ditengah jalan, sebab Rukmini kemudian harus menerima lamaran seorang saudagar kaya dari Jakarta karena hal tersebut merupakan permintaan dari kedua orang tuanya. Akibat kegagalan cintanya dengan Rukmini itu Hasan menjadi sangat prustasi. Untuk melupakan Rukmini, Hasan masuk kesuatu aliran terekat agama yang juga dianut oleh kedua orang tuanya.
Kehidupan agama Hasan yang kuat, dan ketekunannya dalam beribadah mulai terusik dan goyah ketika teman masa kecilnya Rusli yang pada waktu itu memperkenalkan seorang janda yang bernama Kartini. Kartini adalah potret seorang perempuan yang hidup dalam lingkungan modern. Pada akhirnya Hasan jatuh cinta dengan janda itu karena wajahnya yang mirip dengan mantan kekasihnya Rukmini.
Pada awalnya, karena Hasan adalah seorang yang taat beragama, dia tergugah dan hendak menyelamatkan Rusli dan Kartini yang tidak beragama itu. Rusli dan Kartini telah beberapa kali dinasehatinya dan diberi khotbah agama supaya sadar dan mau kejalan yang benar. Namun karena Rusli itu termasuk orang yang pintar berbicara dan memiliki pengetahuan yang luas, Hasan lama-kelamaan malah berbalik. Malah dia yang mulai terpengaruh pada pikiran-pikiran Rusli maupun Kartini. Keimanan Hasan makin lama makin lemah akibat kedekatannya dengan kedua orang itu. Semakin lama semakin lemah sinar keimanan Hasan, yaitu ketika Rusli memperkenalkannya dengan seorang pemuda yang berpikiran anarkis yang bernama Anwar. Karena imannya yang sudah sangt lemah, serta pikiran-pikiran Anwar dan teman-temannya yang anarkis sudah mempengaruhi dan merasuk dalam tubuh Hasan, Hasan pada tahap selanjutnya sudah mulai dan berani melawan ayahnya.
Kedekatannya dengan janda Kartini yang bebas itu, kemudian membawanya pada pernikahan yang dilakukan secara bebas pula. Namun kehidupan keluarga Hasan dan Kartini tidak berjalan dengan bahagaia dan tidak berlangsung lama, sebab Hasan maupun Kartini sama-sama manusia modern dan selalu ingin berbuat atau berkehendak bebas. Kartini yang bebas selalu bergaul dengan bebas pada siapa saja, termasuk pada Anwar. Bahkan menurut pandangan Hasan, antara Kartini dengan Anwar sudah terjadi sebuah perselingkuhan.
Akibat prahara dan keruwetan rumah tangganya itu, malah berdampak baik pada Hasan. Kesadarnnya akan dosa, baik terhadap Tuhan maupun kedua orang tuanya mulai bangkit lagi. Akhirnya Hasan memutuskan untuk meninggalkan teman-temannya yang sesat itu dan menceraikan Kartini untuk kembali kejalan Tuhan yaitu jalan kebenaran. Setelah bercerai dengan Kartini, Hasan kembali ke kampungnya, dimana dia ingin memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya kepada kedua orang tuanya. Namun sayang ayahnya menolak permintaan maaf anaknya itu, sampai akhirnya dia meninggal dunia.
Hati Hasan begitu hancur mendapat kenyataan itu. Dia sedih karena disaat-saat ayahnya sudah hampir menghembuskan nafas terakhir, tetapi belum mendapat maaf dari ayahnya. Di atas segala keputusasaannya itu, Hasan mencari sumber utama mengapa dia sampai menjadi orang yang begitu jahat yang sangat bertolak belakang dengan kehidupannya yang dahulu. Setelah dipikir-pikir, ternyata menurut pikiran Hasan bahwa penyebab semua itu adalah Anwar. Dengan nafsu ingin membunuh dan dendam yang sangat membara, Hasan ingin mencari Anwar dan membalas dendam. Karena matanya yang sudah dibutakan oleh dendam, Hasan tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya. Padahal pada waktu itu keadaan sangat berbahaya. Bunyi sirine meraung-raung dimana-mana, dia tidak peduli. Dia terus mencari Anwar. Namun naasnya, sebelum bertemu dengan Anwar, Hasan tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang menembus tubuhnya. Hasan terkapar ditengah jalan, di atas aspal berlumuran darah. Sebelum meninggal Hasan sempat mengucapkan Allahu Akbar, sebagai tobat dan penyesalan atas segala dosa yang telah diperbuatnya.
Dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja yang dijadikan sebagai tema adalah tentang kehidupan sosial masyarakat. Dalam roman “Atheis” ini, hal yang paling mendasar yang dijadikan sebagai tema adalah cerita tentang bagaimana kehidupan agama seseorang yang pengangkapan agamanya selalu setengah-setengah, baik karena pendidikan agamanya yang lemah maupun pengaruh kehidupan modern yang menjadi lingkungan sebuah kota besar. Tema dalam roman ini sungguh sangat memikat dan pantas kalau roman ini menjadi salah satu bacaan wajib bagi pelajar dan mahasiswa.
Dalam roman “Atheis” yang merupakan tema minor adalah masalah etika dan agama. Dalam roman ini kita menemukan adanya pertentangan etika dan masalah agama antar tokoh-tokohnya. Disatu sisi Hasan yang memiliki etika yang baik harus bergaul dengan Kartini dan Anwar yang memiliki etika yang kurang baik. Dalam roman ini kita mengetahui bagaimana keteguhan hati dan etika Anwar bisa berubah karena pengaruh dari tokoh Kartini dan Anwar. Walau pada akhrinya Hasan mulai sadar akan kekeliruannya, tapi semua itu sudah terlambat. Hasan sudah terlanjur menyakiti hati kedua orangtuamya, dan samapi akhir hayatnya Hasan tidak memperoleh maaf dari ayahnya. Agama juga merupakan hal yang sangat penting dan dijadikan tema minor dalam roman ini. Agama sebagai suatu kepercayaan dan tatanan kehidupan harus berubah dari norma-norma yang sudah digariskan. Kita menemukan bagaimana keragu-raguan Hasan menghadapi pengaruh globalisasi dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Roman ini menggambarkan kekuatan iman Hasan harus goyah karena pengaruh dari teman-temanya, yaitu Anwar dan Kartini.
Dari segi bahasa roman ini masih banyak terdapat salah dan memkai beberapa bahasa istilah bahasa Jawa. Bahasa Indonesia dalam roman ini masih kurang jelas dan tepat serta penyampaian bahasanya agak terkesan vulgar dan hanya bisa di baca oleh kalangan yang cukup umur dari segi bahasanya dapat membawa pengaruh buruk terhadap pembaca dan penyampain pesan dari bahasa roman ini agak sulit dimengerti karena cerita roman ini berbelit-belit dan unsur religious yang dihadirkan tidak sesuai dengan bahasanya. Roman ini banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan. Hal ini terlihat dari beberapa kalimat yang digunakan yaitu membandingkan sesuatu dengan orang. Misalnya saja kita temui pada kalimat Banyak lagi kalimat yang menggunakan majas perbandingan. Sehingga roman ini sangat menarik dan indah untuk dibaca.
Pembahasan sastra secara sosiologis dapat mengembangkan kecenderungan lain secara lebih jauh lagi, yakni kecenderungan untuk menafsirkan tokoh-tokoh khayalan dengan lingkungannya secara identik dengan tidak lain dan tidak bukan adalah atau mewakili tokoh-tokoh dalam suatu kelompok tertentu dan lingkungan kelompok hidup tertentu.
Karya sastra roman memang pada umumnya terasa lebih peka terhadap masalah-masalah sosial suatu masyarakat pada masa tertentu bila dibanding dengan jenis sastra yang lain. Sebab, ada keleluasaan untuk menggunakan bahasa dan kata untuk melukiskan, menguraikan, dan menafsirkan lewat adegan, situasi dan tokoh-tokoh yang bermacam ragam watak dan latar belakangnya.
Dalam roman “Atheis” ini masalah yang diangkat adalah mengenai pergolakan sosial budaya dengan pribadi. Hasan merupakan seorang yang sangat rajin bersembahyang dan taat terhadap perintah agama dan juga orang tua, tiba-tiba berubah. Hasan tidak lagi menghiraukan agama karena pengaruh teman-temannya. Namun, setelah berapa lama, Hasan mulai menyadari kekeliruannya. Hasan sadar kalau telah banyak melakukan dosa dan kekeliriuan. Hasan mulai insyaf setelah ayahnya meniggal dunia. Dalam diri Hasan terjadi pergolakan yang sangat besar. Ada dua hal yang bertentangan merasuk kedalam diri Hasan. Antara kinginan untuk kembali kejalan yang benar dan keinginan untuk melanjutkan yang tidak benar. Ternyata pengaruh lingkungan kehidupan sosial budaya sangat berpengaruh terhadap kehidupan Hasan. Hasan yang semula begitu taat beragama berubah menjadi orang yang tak acuh.
Roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja banyak mengandung pesan-pesan moral dan pendidikan yang setidaknya bisa dijadikan panutan oleh para pembaca novel tersebut. Jalan ceritanya sulit ditebak sehingga pembaca menjadi tertarik untuk membaca novel tersebut dari bab ke bab. Ini tentunya berkaitan kepada kemampuan pengarang untuk menciptakan alur yang demikian. Yang jelas, ketika membaca halaman pertama novel ini, pembaca akan tertarik untuk membuka halaman-halaman selanjutnya. Dalam novel ini terkadang juga disuguhkan konflik-konflik yang tiba-tiba teruputus tanpa pemecahan sehingga pembaca menjadi bertanya-tanya mengenai kelanjutan cerita tersebut. Konflik-konflik yang disuguhkan beraneka ragam. Tidak hanya konflik ayah dengan anak, konflik pasangn kekasih, konflik dengan teman, dan lain sebagainya. Bahasa yang digunakan cukup komunikatif dalam artian tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata maupun kalimat-kalimat kiasan sehingga novel ini dengan mudah bisa dipahami.
Sebuah novel ataupun karya sastra lainnya pastilah tidak bisa luput dari kesalahan-kesalahan yang bisa menjadi sebuah kelemahan dalam karya sastra itu sendiri. Dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja yang dianalisis penulis terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.
Adanya alur cerita yang tidak berhubungan dengan alur yang lain atau dapat dikatakan tidak menunjang alur yang lainnya. Alur ini adalah pada saat Hasan bertemu dengan tokoh Aku. Ini cukup membingungkan pembaca. Pembaca kurang memahami alur yang sebenarnya. Pada bagian I, bagian II, dan bagian XIII pembaca akan mengalami sedikit kebingungan. Ini terjadi karena adanya tokoh aku masuk dalam cerita.Terlalu banyaknya alur yang akan membingungkan bagi para pembaca yang masih dalam tahap pemula sehingga bisa saja apa yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya tidak tersampaikan sesuai dengan keinginan pengarang. Tidak tepatnya pemakaian kata dan tanda baca yang bisa membingungkan pembaca. Beberapa istilah yang digunakan juga cukup menyulitkan pembaca, walaupun telah diberikan penjelasannya pada halaman bawah.


Profil Penulis:

Nama              : Vivi Yunita
NIM/BP           : 04468/2008
Jurusan           : Pend. Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah
TTL                 : Pesisir Selatan, 16 Juni 1990
Alamat             : Jln Kaswari No 1 Air Tawar Selatan
Kota Asal        : Padang Mandiangin Kec. Lengayang
   Pesisir Selatan
                                             No. Telepon   : 085263361932

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog