Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 7 (Kritik Sastra)



MENCARI BENTUK SOSIOLOGI SASTRA INDONESIA
Oleh Trio Hartanto

            MATA Kuliah Sosiologi Sastra selama ini memaparkan teori-teori sosiologi yang berasal dari masyarakat Barat. Teori-teori tersebut cenderung menjadi ajaran filosofis, mencari hakikat sastra dari hubungan sosialnya. Tiap teori bertolak dari realitas empirik sastra baik karya sastra maupun masyarakat pendukungnya. Teori-teori semacam ini hanya cocok untuk memahami karya-karya sastra barat itu sendiri. Dan barat juga bemacam-macam masyarakatnya. Teori-teori sosiologi sastra tersebut harus dipakai secara kritis untuk menelaah realitas sastra Indonesia. Metodenya barangkali masih relevan, namun rumusan-rumusan teorinya yang rumit itu masih perlu dibaca dalam konteks Indonesia.

Sosiologi sastra Indonesia masih harus disusun,seperti Hassan Shadily menulis sosiologi untuk masyarakat Indonesia (PT Pembangunan, 1952). Dengan demikian perlu ditulis sosiologi sastra untuk masyarakat Indonesia. Sosiologi sastra semacam itu bertolak dari realitas empirik masyarakat sastra Indonesia (modern). Dari kajian-kajian empirik kini akan ditemukan pola-pola tetap yang mendasari realitas sastra Indonesia modern, dan dengan demikian terbangun teori sosiologi sastra Indonesia.
Dengan demikian sosiologi sastra Indonesia melibatkan dua jenis kajian, yakni sosiologi empirik sastra dan sosiologi estetik sastra. Sosiologi empirik mengkaji hubungan interaktif antara unsur-unsur masyarakat sastra tanpa membicarakan karya sastra, dan sosiologi estetik yang mengkaji sastra dalam hubungan interaktif antara karya tersebut dengan unsur-unsur masyarakatnya.
Tujuan akhir sosiologi sastra adalah kajian estetik, kajian nilai-nilai sastra, yang didekati secara sosiologi, mekanisme interelas dan interaksi antara unsur-unsur sosial yang mendukungnya. Ilmu-ilmu sastra mengkaji nilai-nilai sastra. Kajian ini memakai jasa-jasa ilmu di luar sastra, seperti psikologi, filsafat, bahasa, komunikasi, ekonomi, dan sosiologi. Dalam taksonomi ilmu-ilmu seni dikategorikan sebagai ”Pendekatan Keilmuan Seni (sastra)”. Sosiologi satra memakai disiplin ilmu sosiologi untuk memahami hadirnya nilai-nilai sebuah karya sastra atau sekumpulan karya sastra.
Apakah nilai itu? Ini merupakan bagian kajian filsafat. Nilai termasuk kata sifat. Karya sastra yang baik, bagus, baru, berbobot, bermutu, itu semua menyangkut nilai dan penilaian. Lalu “bagus”, ”indah”, dan sebagai nya itu apa? Jawaban nya berbeda-beda untuk tiap individu dan tiap kelompok sosial. Ada nilai individual dan nilai kolektif. Karena nilai merupakan kata sifat, maka keberadaannya tergantung kata benda yang diikutinya. Rambutnya hitam. Hidupnya hitam. Malam hitam. Dengan demikian nilai sebagai nilai ”tidak ada” kecuali mendompleng pada benda, wujud, performance. Jadi, nilai menunjuk pada kualitas yang baru dapat dikenal melalui benda (karya). Inilah nilai obyektif, karena banyak orang menangkap kualitas yang sama. Nilai kualitas itu empirik, dan bersifat positif. Nilai positif adalah kualitas yang di alami seseorang atau kelompok yang memberikan ”kebahagiaan”. Bahagia adalah mengalami keadaan yang menyenangkan karena merasa sempurna tanpa kekurangan, cukup dan penuh, bermakna baik, indah dan benar, serta di terima tanpa beban.
Tetapi nilai juga berarti penilaian oleh individu maupun kelompok. Nilai ini subjektif karena didasari oleh pengetahuan dan pengalaman subjeknya. Bobot pengetahuan dalam penilaian mengakibatkan kesadaran pikiran diajukan  acuan nilai. Inilah nilai ideal rasional individu maupun kelompok. Jenis nilai ideal rasional semacam ini tumbuh menjadi norma-norma, filsafat, ajaran. Hal yang baik, benar, bagus bagi seseorang atau satu kelompok soial belum tentu cocok dengan kelompok sosial yang lain.
Dengan demikian yang di sebut “seni” atau “sastra” merupakan kecocokan hubungan (relasi) antara karya sastra dengan pengalaman nilai dan pengetahuan nilai pembacanya. Bagi seseorang sebuah karya sastra dinilai “bagus dan bermutu”, dengan demikian bermakna, oleh seseorang atau kelompok lain justru tidak bermakna. Kekacauan nilai semacam inilah yang harus diluruskan oleh sosiologi sastra.
Nilai sastra atau nilai seni pada umumnya adalah nilai kebenaran (truth fullness), yakni nilai kualitas empirik dan nilai ideal rasional yang positif dan bermakna bagi hidup seseorang atau kelompok. Hal yang dicari dan dibutuhkan manusia adalah nilai kebenaran yang memberinya kebahagiaan hidup tadi. Nilai kebenaran semacam itu tidak harus berbentuk seni dan sastra, tetapi juga penjelasan keilmuan dan penjelasan filosofi, bahkan penjelasan agama. Kebenaran seni atau sastra yang dapat dijelaskan atau diperoleh secara ilmu, filsafat, atau agama, sebenarnya tidak sastrawi. Seni dan sastra harus memberikan pengalaman dan pengetahuan yang berbeda tentang kebenaran yang tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah, falsafi, atau agamawi.
Jadi apakah kebenaran seni dan sastra itu? kebenaran tetap sama sebagai nilai kualitas tetapi menjadi berbeda lewat mediumnya yang khas seni, yaitu inderawi, baik riil maupun virtual. Dalam istilah lama, truthfulness atau kebenaran disebut content, dan form disebut”bentuk”. Namun kebenaran dan bentuk masih dalam wilayah abstrak,wilayah bawah sadar dan kesadaran. Form masih pola abstrak, samar-samar, yang dirumuskan dalam susunan hubungan-hubungan yang disebut pola, sehingga membentuk suatu struktur inilah yang diwujudkan atau diinderakan lewat medium seninya, dalam sastra lewat bahasa.
Kebenaran disini subjektif, karena merupakan tanggapan kesadaran atas realitas obyektif di luar diri sastrawannya. Semua tanggapan manusia terhadap lingkungan hidupnya adalah fiktif-subjektif, sehingga sastra, ilmu, dan filsafat dapat dinamai fiksi juga. Itulah dunia wacana dan discourse. Fiksi atau wacana dalam sastra ini diwujudkan (performance) dalam arti, buatan, fiksi alias bohongan. Ini mengutip icasso yang menyatakan bahwa seni pada dasarnya kebohongan untuk mengungkapkan kebenaran. Hanya dengan wujud fiction, buatan, kebenaran itu dapat diungkapkan lebih jelas dan lebih jernih. Ilmu dan filsafat lebih mereduksi kebenaran dan dalam sistem tertentu, dan agama dalam dogma. Seni dan sastra mengungkapkan kebenaran lebih totalitas lebih luas, lebih dalam, lebih kaya. Inilah sebabnya performance sastra simbolik.
Performance sastra itu simbol. Gambaran atau imaji yang disungguhkannya bukan gambaran realitas obyektif, meskipun banyak karya sastra menggunakan metode ”realisme-mimetik”. Realisme obyektif  itu tidak tergantikan. Semua realitas objektif yang tersastra selalu bernilai tanggapan, opini, ingatan, fiksi terhadap realitas yang ditanggapinya. Karya seni atau karya sastra sebagai simbol menyebabkan karya semacam itu menjangkau pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman yang lebih besar, lebih luas, lebih dalam, lebih transeden. Kebenaran sebagai kualitas mampu dihadirkan, yang dalam ilmu justru dirumuskan, dibatasi (dalam batasan atau definisi). Simbol selalu bertolak dari realitas objektif, sebab kalau tidak demikian tidak dapat dihayati dan dipahami penerima simbol. Simbol sastra bertolak dari konteks budaya dan nature pembuatnya.
Dalam sosiologi sastra, simbol atau kaya sastra, dilacak dari siapa penciptanya, konteks mana yang dijadikan referen, siapa alamat simbolnya, dan transedensi mana yang di arah. Bentuk simbol dapat menggunakan cara mimetik, deformatif, atau abstrak. Realisme, ekspresionisme, atau abstrak, sama sahnya untuk mewujudkan simbol, yakni karya sastra. Karya sastra yang tidak berada dalam wilayah simbol, tidak akan mampu menjangkau transedensi. Namun makna simbol tergantung dari penerima simbol. Pencapaian transedensi adalah urusan pembaca sastra. Sastrawan hanya hanya bertugas mewujudkan temuan kebenarannya dalam performance simbolik. Sosiologi sastra menelacak publik sastra ini, untuk menemukan mengapa sebuah karya sastra sebagai simbol tidak berelasi dengan pembaca atau justru memperoleh elaborasi makna yang kaya oleh pembacanya.
Sosiologi sastra juga melacak ”dunia simbol” sastrawan, apa referennya dan bagaimana ia menjadikannya symbol. Karya sastra tidak muncul tiba-tiba dari langit, sastra selalu mempunyai sebab-akibat (kausalitas) pemunculannya di masyarakat. Kemunculan sastra bisa disebut sastra oleh masyarakatnya. Dengan demikian terjadi hubungan-hubungan nilai antara berbagai unsur sosial, karya dan sastrawannya. Sastra diproduksi karena dibutuhkan oleh yang lain. Hukum permintaan dan penawaran nilai terjadi dalam masyarakat sastra.
Fokus sosiologi sastra adalah karya sastra, jadi estetika namun karya sastra banyak ditentukan oleh berbagai unsur sosial yang menjadikannya sastra. Mengapa sebuah karya baru puluhan tahun kemudian dianggap sastra? Mengapa sebuah karya sastra “abadi”? Mengapa sebuah karya sastra besar pengaruhnya? Mengapajenis karya sastra tertentu kurang laku? Mengapa sebuah karya sastra dilarang atau dikecam? Mengapa sebuah karya sastra banyak penirunya? Mengapa sebuah karya sastra harus diadili? Mengapa karya sastra  yang satu mirip dengan yang lainnya? Dan berbagai  pertanyaan lain tentang  gejala karya sastra. Semua itu berhubungan dengan penawaran nilai sastra dan kebutuhan nilai sastra. kebutuhan nilai, individual atau kelompok, banyak ditentukan oleh nilai-nilai dasar individu atau kelompok itu. Sosiologi nilai-nilai kelompok sosial itu ikut menentukan nilai sastra bagaimana yang dibutuhkannya.
Untuk itu diperlukan pengetahuan masyarakat Indonesia modern terhadap kebutuhan-kebutuhan nilai dasarnya. Sejarah masyarakat modern Indonesia dimulai pada awal abad 20. Waktu itu mulai muncul golongan-golongan sosial yang berpendidikan modern. Golongan ini disebut elite terpelajar. Dari golongan inilah muncul keinginan untuk membentuk suatu masyarakat modern Indonesia dengan alat kebangsaan atau nasionalisme. Tetapi nasionalisme bagaimana yang akan meraka bentuk? Terdapat orientasi-orientasi nilai  sebagai berikut:
Golongan yang ingin mendasarkan kebangsaan berdasarkan nilai-nilai lokal. Golongan yang berorientasi nilai-nilai modern barat. Golongan yang berorintasi pada agama Islam, golongan yang berorientasi pada kerakyatan. Sastrawan dan publik sastra Indonesia modern adalah anggota dari golongan-golongan sosial tersebut. Masing-masing golongan-golongan membutuhkan karya sastra yang sesuai dengan aspirasi bersama berdasarkan nilai-nilai golongannya. Sastra berorientasi nilai-nilai lokal, sastra berorintasi nilai-nilai modern barat. Sastra berorientasi nilai-nilai keislaman. Sastra yang berorientasi nilai-nilai kerakyatan. Sejarah golongan-golongan satra elite terpelajar tersebut timbul-tenggelam dalam sejarah sastra Indonesia modern. Dan tiap orientasi menunjukan perkembangan pada tiap zamannya.
Ada golongan kaum terpelajar intelektual, kaum terpelajar profesional, kaum kurang terpelajar, dan kaum kelisanan. Kaum  terpelajar intelektual adalah golongan  yang memakai lambang-lambang manusia, masyarakat, alam dan semesta yang kaitannya abstrak. Golongan terpelajar profesional adalah mereka yang berpendidikan tinggi untuk kepentingan pragmatis profesinya masing-masing. Nilai dasarnya adalah kebakuan. Ada parameternya, yakni diakui obyektif secara kolektif. Mereka ini juga membutuhkan karya sastra. Golongan masyarakat kurang terpelajar (dasar, menengah, atas) lebih tertarik pada nilai bentuk (gendre) dari pada mempermasalahkan tentang kebenaran, baik informatif maupun transeden. Golongan masyarakat tidak terpelajar adalah mereka yang lebih menimba nilai dari tradisi kelisanan.
Pergolongan sosial lain dapat dilihat dari status ekonomi mereka, ada golongan kaya, ada golongan menengah saja, dan ada golongan miskin. Masing-masing mereka membutuhkan nilainya sendiri, begitu pula dalam kebutuhan seni dan sastranya.

Profil Penulis:
Trio Hartanto itulah nama lengkap cowok yang lahir di Pasaman, Sumatera Barat 8 Agustus1988. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Padang, Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Tahun Masuk 2008.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog