MENCARI BENTUK SOSIOLOGI SASTRA INDONESIA
Oleh Trio Hartanto
MATA Kuliah Sosiologi Sastra selama
ini memaparkan teori-teori sosiologi yang berasal dari masyarakat Barat.
Teori-teori tersebut cenderung menjadi ajaran filosofis, mencari hakikat sastra
dari hubungan sosialnya. Tiap teori bertolak dari realitas empirik sastra baik
karya sastra maupun masyarakat pendukungnya. Teori-teori semacam ini hanya
cocok untuk memahami karya-karya sastra barat itu sendiri. Dan barat juga
bemacam-macam masyarakatnya. Teori-teori sosiologi sastra tersebut harus
dipakai secara kritis untuk menelaah realitas sastra Indonesia. Metodenya
barangkali masih relevan, namun rumusan-rumusan teorinya yang rumit itu masih perlu
dibaca dalam konteks Indonesia.
Sosiologi sastra Indonesia masih harus disusun,seperti Hassan Shadily
menulis sosiologi untuk masyarakat Indonesia (PT Pembangunan, 1952). Dengan
demikian perlu ditulis sosiologi sastra untuk masyarakat Indonesia. Sosiologi
sastra semacam itu bertolak dari realitas empirik masyarakat
sastra Indonesia (modern). Dari kajian-kajian empirik kini akan ditemukan
pola-pola tetap yang mendasari realitas sastra Indonesia modern, dan dengan
demikian terbangun teori sosiologi sastra Indonesia.
Dengan demikian sosiologi sastra Indonesia melibatkan dua jenis kajian,
yakni sosiologi empirik sastra dan sosiologi estetik sastra. Sosiologi empirik
mengkaji hubungan interaktif antara unsur-unsur masyarakat sastra tanpa
membicarakan karya sastra, dan sosiologi estetik yang mengkaji sastra dalam
hubungan interaktif antara karya tersebut dengan unsur-unsur masyarakatnya.
Tujuan akhir sosiologi sastra adalah kajian estetik, kajian nilai-nilai
sastra, yang didekati secara sosiologi, mekanisme interelas dan interaksi
antara unsur-unsur sosial yang mendukungnya. Ilmu-ilmu
sastra mengkaji nilai-nilai sastra. Kajian ini memakai jasa-jasa ilmu di luar
sastra, seperti psikologi, filsafat, bahasa, komunikasi, ekonomi, dan
sosiologi. Dalam taksonomi ilmu-ilmu seni dikategorikan sebagai ”Pendekatan
Keilmuan Seni (sastra)”. Sosiologi satra memakai disiplin ilmu sosiologi untuk
memahami hadirnya nilai-nilai sebuah karya sastra atau sekumpulan karya sastra.
Apakah nilai itu? Ini merupakan bagian kajian filsafat. Nilai termasuk kata
sifat. Karya sastra yang baik, bagus, baru, berbobot, bermutu, itu semua
menyangkut nilai dan penilaian. Lalu “bagus”, ”indah”, dan sebagai nya itu apa?
Jawaban nya berbeda-beda untuk tiap individu dan tiap kelompok sosial. Ada
nilai individual dan nilai kolektif. Karena nilai merupakan kata sifat, maka
keberadaannya tergantung kata benda yang diikutinya. Rambutnya hitam. Hidupnya
hitam. Malam hitam. Dengan demikian nilai sebagai nilai ”tidak ada” kecuali
mendompleng pada benda, wujud, performance. Jadi, nilai menunjuk pada
kualitas yang baru dapat dikenal melalui benda (karya). Inilah nilai obyektif,
karena banyak orang menangkap kualitas yang sama. Nilai kualitas itu empirik,
dan bersifat positif. Nilai positif adalah kualitas yang di alami seseorang
atau kelompok yang memberikan ”kebahagiaan”. Bahagia adalah mengalami keadaan
yang menyenangkan karena merasa sempurna tanpa kekurangan, cukup dan penuh,
bermakna baik, indah dan benar, serta di terima tanpa beban.
Tetapi nilai juga berarti penilaian oleh individu maupun kelompok. Nilai
ini subjektif karena didasari oleh pengetahuan dan pengalaman subjeknya. Bobot
pengetahuan dalam penilaian mengakibatkan kesadaran pikiran diajukan acuan nilai. Inilah nilai ideal
rasional individu maupun kelompok. Jenis nilai ideal rasional semacam ini
tumbuh menjadi norma-norma, filsafat, ajaran. Hal yang baik, benar, bagus bagi
seseorang atau satu kelompok soial belum tentu cocok dengan kelompok sosial
yang lain.
Dengan demikian yang di sebut “seni” atau “sastra” merupakan kecocokan
hubungan (relasi) antara karya sastra dengan pengalaman nilai dan pengetahuan
nilai pembacanya. Bagi seseorang sebuah karya sastra dinilai “bagus dan
bermutu”, dengan demikian bermakna, oleh seseorang atau kelompok lain justru
tidak bermakna. Kekacauan nilai semacam inilah yang harus diluruskan oleh
sosiologi sastra.
Nilai sastra atau nilai seni pada umumnya adalah nilai kebenaran (truth fullness), yakni nilai kualitas
empirik dan nilai ideal rasional yang positif dan bermakna bagi hidup seseorang
atau kelompok. Hal yang dicari dan dibutuhkan manusia adalah nilai kebenaran
yang memberinya kebahagiaan hidup tadi. Nilai kebenaran semacam itu tidak harus
berbentuk seni dan sastra, tetapi juga penjelasan keilmuan dan penjelasan filosofi,
bahkan penjelasan agama. Kebenaran seni atau sastra yang dapat dijelaskan atau
diperoleh secara ilmu, filsafat, atau agama, sebenarnya tidak sastrawi. Seni
dan sastra harus memberikan pengalaman dan pengetahuan yang berbeda tentang
kebenaran yang tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah, falsafi, atau agamawi.
Jadi apakah kebenaran seni dan sastra itu? kebenaran tetap sama sebagai
nilai kualitas tetapi menjadi berbeda lewat mediumnya yang khas seni, yaitu
inderawi, baik riil maupun virtual. Dalam istilah lama, truthfulness atau kebenaran disebut content, dan form disebut”bentuk”. Namun kebenaran dan bentuk masih
dalam wilayah abstrak,wilayah bawah sadar dan kesadaran.
Form masih pola abstrak, samar-samar, yang dirumuskan dalam susunan hubungan-hubungan
yang disebut pola, sehingga membentuk suatu struktur inilah yang diwujudkan atau
diinderakan lewat medium seninya, dalam sastra lewat bahasa.
Kebenaran disini subjektif, karena merupakan tanggapan kesadaran atas
realitas obyektif di luar diri sastrawannya. Semua tanggapan manusia terhadap
lingkungan hidupnya adalah fiktif-subjektif, sehingga sastra, ilmu, dan filsafat dapat dinamai
fiksi juga. Itulah dunia wacana dan discourse. Fiksi atau wacana dalam sastra
ini diwujudkan (performance) dalam arti, buatan, fiksi alias bohongan. Ini
mengutip icasso yang menyatakan bahwa
seni pada dasarnya kebohongan untuk mengungkapkan kebenaran. Hanya dengan wujud
fiction, buatan, kebenaran itu dapat
diungkapkan lebih jelas dan lebih jernih. Ilmu dan filsafat lebih mereduksi
kebenaran dan dalam sistem tertentu, dan agama dalam dogma. Seni dan sastra
mengungkapkan kebenaran lebih totalitas lebih luas, lebih dalam, lebih kaya.
Inilah sebabnya performance sastra simbolik.
Performance sastra itu simbol. Gambaran atau imaji yang disungguhkannya
bukan gambaran realitas obyektif, meskipun banyak karya sastra menggunakan
metode ”realisme-mimetik”. Realisme obyektif itu tidak tergantikan. Semua realitas objektif yang
tersastra selalu bernilai tanggapan, opini, ingatan, fiksi terhadap realitas
yang ditanggapinya. Karya seni atau karya sastra sebagai simbol menyebabkan
karya semacam itu menjangkau pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman yang
lebih besar, lebih luas, lebih dalam, lebih transeden. Kebenaran sebagai
kualitas mampu dihadirkan, yang dalam ilmu justru dirumuskan, dibatasi (dalam
batasan atau definisi). Simbol selalu bertolak dari realitas objektif, sebab
kalau tidak demikian tidak dapat dihayati dan dipahami penerima simbol. Simbol
sastra bertolak dari konteks budaya dan nature pembuatnya.
Dalam sosiologi sastra, simbol atau kaya sastra, dilacak dari siapa
penciptanya, konteks mana yang dijadikan referen, siapa alamat simbolnya, dan
transedensi mana yang di arah. Bentuk simbol dapat menggunakan cara mimetik, deformatif,
atau abstrak. Realisme, ekspresionisme, atau abstrak, sama
sahnya untuk mewujudkan simbol, yakni karya sastra. Karya sastra yang tidak
berada dalam wilayah simbol, tidak akan mampu menjangkau transedensi. Namun
makna simbol tergantung dari penerima simbol. Pencapaian transedensi adalah urusan pembaca sastra. Sastrawan hanya hanya
bertugas mewujudkan temuan kebenarannya dalam performance simbolik. Sosiologi sastra menelacak publik sastra ini,
untuk menemukan mengapa sebuah karya sastra sebagai simbol tidak berelasi
dengan pembaca atau justru memperoleh elaborasi makna yang kaya oleh
pembacanya.
Sosiologi sastra juga melacak ”dunia simbol” sastrawan, apa referennya dan
bagaimana ia menjadikannya symbol. Karya sastra tidak muncul tiba-tiba dari
langit, sastra selalu mempunyai sebab-akibat (kausalitas) pemunculannya di
masyarakat. Kemunculan sastra bisa disebut sastra oleh masyarakatnya. Dengan
demikian terjadi hubungan-hubungan nilai antara berbagai unsur sosial, karya
dan sastrawannya. Sastra diproduksi karena dibutuhkan oleh yang lain. Hukum
permintaan dan penawaran nilai terjadi dalam masyarakat sastra.
Fokus sosiologi sastra adalah karya sastra, jadi estetika namun karya
sastra banyak ditentukan oleh berbagai unsur sosial yang menjadikannya sastra.
Mengapa sebuah karya baru puluhan tahun kemudian dianggap sastra? Mengapa
sebuah karya sastra “abadi”? Mengapa sebuah karya sastra besar pengaruhnya? Mengapajenis
karya sastra tertentu kurang laku? Mengapa sebuah karya sastra dilarang atau dikecam? Mengapa
sebuah karya sastra banyak penirunya? Mengapa sebuah karya sastra harus
diadili? Mengapa karya sastra yang satu
mirip dengan yang lainnya? Dan berbagai
pertanyaan lain tentang gejala
karya sastra. Semua itu berhubungan dengan penawaran nilai sastra dan kebutuhan
nilai sastra. kebutuhan nilai, individual atau kelompok, banyak ditentukan oleh
nilai-nilai dasar individu atau kelompok itu. Sosiologi nilai-nilai kelompok
sosial itu ikut menentukan nilai sastra bagaimana yang dibutuhkannya.
Untuk itu diperlukan pengetahuan masyarakat Indonesia modern terhadap
kebutuhan-kebutuhan nilai dasarnya. Sejarah masyarakat modern Indonesia dimulai
pada awal abad 20. Waktu itu mulai muncul golongan-golongan sosial yang
berpendidikan modern. Golongan ini disebut elite terpelajar. Dari golongan inilah muncul keinginan untuk
membentuk suatu masyarakat modern Indonesia dengan alat kebangsaan atau
nasionalisme. Tetapi nasionalisme bagaimana yang akan meraka bentuk? Terdapat
orientasi-orientasi nilai sebagai
berikut:
Golongan yang ingin mendasarkan kebangsaan berdasarkan nilai-nilai lokal.
Golongan yang berorientasi nilai-nilai modern barat. Golongan yang berorintasi
pada agama Islam, golongan yang berorientasi pada kerakyatan. Sastrawan dan
publik sastra Indonesia modern adalah anggota dari golongan-golongan sosial
tersebut. Masing-masing golongan-golongan membutuhkan karya sastra yang sesuai
dengan aspirasi bersama berdasarkan nilai-nilai golongannya. Sastra
berorientasi nilai-nilai lokal, sastra berorintasi nilai-nilai modern barat.
Sastra berorientasi nilai-nilai keislaman. Sastra yang berorientasi nilai-nilai
kerakyatan. Sejarah golongan-golongan satra elite
terpelajar tersebut timbul-tenggelam dalam sejarah sastra Indonesia modern. Dan
tiap orientasi menunjukan perkembangan pada tiap zamannya.
Ada golongan kaum terpelajar intelektual, kaum terpelajar profesional, kaum
kurang terpelajar, dan kaum kelisanan. Kaum
terpelajar intelektual adalah golongan
yang memakai lambang-lambang manusia, masyarakat, alam dan semesta yang
kaitannya abstrak. Golongan terpelajar profesional adalah mereka yang
berpendidikan tinggi untuk kepentingan pragmatis profesinya masing-masing. Nilai
dasarnya adalah kebakuan. Ada parameternya, yakni diakui obyektif secara
kolektif. Mereka ini juga membutuhkan karya sastra. Golongan masyarakat kurang
terpelajar (dasar, menengah, atas) lebih tertarik pada nilai bentuk (gendre)
dari pada mempermasalahkan tentang kebenaran, baik informatif maupun
transeden. Golongan masyarakat tidak terpelajar adalah mereka yang lebih menimba nilai dari
tradisi kelisanan.
Pergolongan sosial lain dapat dilihat dari status ekonomi mereka, ada
golongan kaya, ada golongan menengah saja, dan ada golongan miskin.
Masing-masing mereka membutuhkan nilainya sendiri, begitu pula dalam kebutuhan
seni dan sastranya.
Profil Penulis:
Trio
Hartanto
itulah
nama lengkap cowok yang lahir di Pasaman, Sumatera Barat 8 Agustus1988. Saat
ini berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Padang, Fakultas Bahasa
dan Seni, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Tahun Masuk 2008.
0 Komentar:
Posting Komentar