INDAHNYA GARAPAN CHAIRIL ANWAR
Oleh Ovan
Pratama
PUISI Chairil Anwar selalu
menggunakan metafora. Metafor bukanlah sekedar bentuk langsung semantic tertentu diantara bentuk lainnya,
melainkan cara dasar kita bergaul dengan realitas. Dan metaforisitas ini
berakar khususnya pada ketiadaan hubungan langsung yang murni dan pasti antara
manusia dan alam maupun antara manusia dan dirinya sendiri. Dengan kata lain,
akar dari metaforisitas ini adalah kenyataan bahwa manusia merupakan mahkluk
yang serba tidak lengkap dan bahwa rasionalitas manusia itu, kendati canggih,
tidak pernah bisa dianggap sebagai cermin murni kenyataan, dan karena itu ia
bukanlah sarana yang serba mampu dan memadai.
Penekanan pada
peran sentral metaphor dalam proses
penyusunan pengetahuan, tentu membawa penekanan pada pentingnya retorika
sebagai seni mengolah bahasa, memperkaya wadah pengetahuan, dan mengeplorasi
beragam cakrawala pengetahuan baru. Bila filsafat konfensional menganggap
bahasa metaforis dan retorika lebih rendah ketimbang bahasa denotatif dan
penalaran positivis yang logis ketat, justru secara radikal mengusulkan
metafora dan retorika sebagai gelanggang utama tempat filsafat dapat mereposisi
diri dan menata ulang wacananya.
Pada gilirannya,
Chairil Anwar menggunakan imajinasinya. Berkat imajinasinya yang bermetaforalah
fakta-fakta bisa dikategorisasi, ide-ide dan teori dirajut secara baru untuk
melahirkan teori yang baru lagi, teori dan pengalaman dikaitkan sedemikian
sehingga kita mendapatkan yang bisa kita sebut “pengetahuan” baru. Karena itu
menjadi jelas bahwa imajinasi itu bersifat sentral. Imajinasi adalah kemampuan
primer, bukan skunder, untuk memahami “realitas”. Imajinasilah yang bertanggung
jawab atas tekstur pengalaman aktual kita dan yang menyebabkan hidup kita
menjadi sebuah teks pula. Maka dalam imajinasi yang bermetaforlah sebenarnya
wacana filosofis dan metaphor
(sebagai bentuk semantik khas) bertemu. Apabila menekankan betapa pentingnya
peran metaphor, sebagai inti dari
daya transformative bahasa yang melalui imajinasi, dalam kompleksitas pemikiran
filosofis, imaji dan imajinasi secara salah kaprah dianggap sebagai jenis
lamunan yang tidak akan membawa manusia kepada kedalaman pengetahuan.Tedjoworo justru
memperlihatkan betapa imajinasilah yang menjadi awal terbukanya cakrawala
pengetahuan yang tidak terhingga kita petik uraiannya.
Imajinasi
menjadi dasar dan awal segala kemungkinan metoforis linguistik manusia, karena
anggapan epistemologis dalam filsafat bahasa bahwa bahasa itu semacam lekus veritalis (tempat kebenaran) menjadi sulit untuk dipertahankan
lagi. Kalau bahasa masih menyebutkan metaphor
sebagai karakter dasarnya, sedangkan metaphor
masih memuat root metaphors yang lebih fundamental, maka
imajinasi yang merupakan sumber dan awal metaphor itu tentu akan memainkan peranan
lebih primordial dalam hal kebenaran dan
pemahaman akan realitas, itu telah berbicara tentang kebenaran yang kini
berarti “maka dalam konteks pemahaman ini terlihat bahwa kebenaran
interaksional itu sebetulnya terdapat dalam keseluruhan aktifitas imajinasi
yang mengintegrasikan imajinasi-imajinasi secara mental. Sebuah imaji tidak
harus merupakan sesuatu yang tergambar atau terkatakan. Sebuah imaji yang
paling awal sangat figural sebelum ia sempat terbahasakan. Karenanya, disinilah
terletak ketegangan antara kecenderungan verbalisme dan penangkapan secara
figuratif bukan penangkapan secara intuitif. Yang satu selalu berupaya
mengkatakan imaji, sedangkan yang lain semata-mata ingin menghadirkan imaji
tersebut. Dalam pengertian tersebut kita memahami imajinasi sebagai suatu daya
yang sifatnya fundamental.
Imajinasi
dapat kita katakan sebagai inimalingua
atau “jiwa bahasa”. Tampa imajinasi, bahasa hanya akan menjadi serangkaian kata
tampa arti. Kita dapat membandingkannya dengan pandangan frege bahwa suatu kata hanya dapat dipahami dalam konteks
kalimatnya. Demikian pula dengan bahasa dan imajinasi. Bahasa hanya dapat
dipahami (sebagai bahasa) apabila ada aktifitas daya imajinasi kita. Lebih
lanjut, bahasa pun baru akan dimengerti dengan menganalisis berbagai konteks
penggunaannya. Kalau kita mengembangkan kemampuan imajinasi kita. Imajinasi adalah
daya yang menghidupkan bahasa, agar bahasa pun mampu menggambarkan dan
merepresentasikan realitas dengan “hidup”dalam berbagai konteks.
Profil Penulis:
Ovan Pratama Lelaki yang terlahir di Sijunjung pada 25 Oktober 1989
mempunyai intregritas yang tinggi akan karya-karya Chairil Anwar yang menurutnya
adalah sebuah karya-karya yang sangat menjunjung tinggi nilai seni.
Lelaki ini mempunyai rasa yang sangat dalam terhadap
karya-karya Chairil Anwar, dan memandang secara filsafat akan karya-karyanya.
Ini terbukti akan keseriusannya dalam setiap dia menilai akan karya-karyanya.
0 Komentar:
Posting Komentar