CINTA DAN HARGA DIRI WANITA DALAM NOVEL MAHARANI
Oleh Yulya Dwi Rahmita
KITA tidak tahu kapan datang dan perginya cinta.
Sebagai manusia, kita akan membutuhkan cinta, baik cinta dalam keluarga, teman,
atau pun cinta terhadap lawan jenis. Cinta akan membuat seseorang merasa senang
dan bisa merasa teramat kecewa karenanya. Bagaimana kalau kita sedang bahagia
karena cinta dan kasih sayang, tiba-tiba semua kandas begitu saja karena
sesuatu yang membuat kita terpuruk?.
Bagaimana wanita bisa mempertahankan harga dirinya sebagai wanita suci jika
orang-orang yang kita cintai sudah tiada lagi, sehingga tiada lagi orang-orang
yang peduli. Harga diri dan keperawanan dipertaruhkan demi bertahan hidup.
Namun, sebagai wanita yang lemah tidak akan bisa mengelak dari nafsu bejat
lelaki yang berhidung belang, sehingga wanita dijadikan pelacur.
Kita tidak bisa mengatakan setiap aksi pelacuran selalu dilandasi ketidak
acuhan emosional ataupun pembayaran. Bagaimana dengan kasus ketika seorang
perempuan melakukan hubungan intim dengan banyak lelaki (tanpa ikatan resmi),
namun ia sendiri melibatkan unsur emosional dan menerima bayaran?. Jelas bahwa
dalam hal ini kriteria ekonomi semata juga memang tidaklah memadai. Kita juga
tidak bisa mengatakan bila hubungan intim dalam sebuah ikatan resmi sama sekali
bebas dari tindakan pembayaran. Apabila hubungan intim dilakukan dengan cara
paksaan, maka bagi seorang wanita tentulah sama saja dengan melepas harga
dirinya.
Pelacuran di mata masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang buruk, haram,
hina, dan lain-lain. Wanita yang menjadi pekerja seks dianggap sebagai sampah
masyarakat, perusak moral, penyebar berbagai macam penyakit. Baik agama maupun
hukum melarang praktek prostitusi. Pelacuran itu, ibarat selokan yang
menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya.
Sesuatu yang ironi memang, ternyata di tengah stigma yang disandangnya, pelacur
juga dibutuhkan, dan sebagai solusi dari sebuah problem sosial untuk mengurangi
kasus-kasus pemerkosaan di tengah masyarakat. Apabila pemerkosaan terjadi, maka
wanita sama saja tidak berarti lagi,
karena sesuatu yang dibanggakannya tidak ada lagi.
Ditinjau lewat aspek penokohan, maka akan ditemukan bahwa Maharani adalah
tokoh utama dalam novel ini. Sosok bintang jatuh yang digambarkan pengarang tak
lain adalah perempuan cantik yang menjajahkan tubuhnya kepada banyak lelaki
ini. Menurut kacamata masyarakat umum, apalagi dalam konteks budaya Indonesia,
perempuan yang menjajahkan tubuhnya pada lebih dari satu lelaki tanpa ada
ikatan resmi dan menerima imbalan berupa uang disebut pelacur. Namun, bagaimana
kalau kasusnya kalau wanita menjajakan tubuhnya karena paksaan?
Kesan yang akan timbul selanjutnya adalah Maharani tipe perempuan sabar dan
tegar. Tokoh Maharani merupakan refleksi pengarang akan kenyataan yang sudah
menjadi rahasia umum dalam kehidupan masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Maharani memiliki hubungan intim dengan beberapa lelaki, dan tanpa menuntut
upah untuk hubungan tersebut, namun semua itu dilakukannya karena dia tidak
bisa lagi mengelak dari takdirnya sebagai wanita penghibur.
Dalam novel Maharani ini, sosok perempuan yang tidak kuasa mengelak dari
sebuah keadaan. Satu sosok yang dipaksa untuk selalu membawa bagian yang paling
pahit dari hidupnya. Bahkan, ketika kepahitan itu sudah lama berlalu.
Maharani, satu lagi saksi kekejaman manusia terhadap manusia yang lain.
Satu sosok menjadi bagian dari sejarah kelam peradapan manusia, menjadi seorang
joghun ianfu (pelacur). Satu sosok yang ada, tidak bisa terhapus, dan
bukan satu-satunya. Andai saja dia bisa memilih? Andai Maharani bisa berkata
‘tidak’. Andai Maharani-Maharani lain juga bisa menolak.
Pengarang dalam novel ini akan
menceritakan tentang kehidupan seorang wanita yang semasa kecil hingga
remajanya merasa senang dan bahagia karena selalu disirami cinta dan kasih
sayang dari keluarganya. Namun, kebahagiaan itu berangsur-angsur terenggut
ketika sang ibu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Namun, saat itu Maharani tetap dapat memperoleh cinta
dan kasih sayang dari seorang ayah dan saudara angkat laki-lakinya yang bernama
Arik. Seperti yang terlihat dalam kutipan.
“Saat mereka lulus Hollandsche
Primary School, Ayu meninggal karena kanker rahim yang dideritanya.
Kehilangan ibunya membuat Maharani sedih beberapa saat, tapi karena ia masih
memililki ayah yang sangat menyayanginya, ia tidak terlalu merasakannya. Ia
tumbuh menjadi seorang remaja yang yang berbahagia dan penuh dengan
waktu-waktu yang berkesan, yang tak
terlupakan sepanjang hidupnya.“ (Maharani: 4-5).
Dari kutipan itu tergambar sosok Rani sebagai seorang wanita yang tetap
mempertahankan kebahagiaan karena masih memiliki seorang ayah yang masih
mencintainya. Sebagai perempuan, dalam kehidupan mungkin tak akan ada yang
sanggup merasa kehilangan, apalagi kehilangan sang ibu yang sangat dicintai.
Namun, memang dukungan dari sesorang yang masih dimiliki pasti akan dapat
mengobati luka karena kehilangan itu, seperti sosok ayah.
Maharani sebagai tokoh utama menggambarkan sosok wanita yang harga dirinya
terinjak-injak oleh seorang ibu tiri, dan juga oleh lelaki hidung belang yang
telah merenggut keperawanannya . Memang betul kata orang banyak, kalau kasih
sayang seorang ibu kandung tidak akan pernah
tergantikan oleh wanita manapun, apalagi oleh seorang ibu tiri. Maharani dalam
novel ini selalu dikasari dan tak pernah mendapatkan kasih sayang oleh ibu
tiri.
“Rani, kau sudah gila, ya? Kenapa kau tidak membagi
baju yang dibelikan ayahmu pada Tiar?” Sembur Sari, ibu tirinya. Rani tidak
dekat dengan ibu tirinya. Walau sudah satu tahun Sari menjadi ibu tirinya, Rani jarang bertukar kata dengannya. Ibu
tirinya adalah orang yang tidak terpelajar dan berperangai buruk. Kata-katanya
tidak pernah halus. Hanya di depan ayahnyalah, sikapnya berubah baik. Sedapat
mungkin Rani selalu menghindarinya. Kalau tidak, ia khawatir akan bersikap
tidak hormat. (Maharani: 5-6).
Novel ini sungguh menceritakan tentang kenyataan yang terjadi
di dunia fana ini. Kalau seorang ibu tiri tak akan pernah sungguh-sungguh menyayangi
anak tirinya, malah dalam novel ini, penderitaan seorang wanita sebagai anak
tiri menjadi besar semenjak ayahanda tercinta meninggal dunia.
“Semua tidak seperti yang direncanakan semula dalam
pertemuan terakhir dengan ayahnya, yaitu bahwa ia dan Arik akan di sekolahkan
ke Belanda. Dunia Rani seakan terbalik sejak ayahnya meninggal.” (Maharani:
41).
Maharani adalah seorang gadis yang tidak pernah berhenti dijauhi derita. Mulai dari kehilangan seorang ibu, ayah,
siksaan dari seorang ibu tiri, dan sekarang dia harus menderita karena harus
menjadi tawanan Jepang. Pengarang dalam novel ini menceritakan Maharani yang
ditahan oleh Jepang karena dia adalah keturunan Belanda. Disaat dia dibawa oleh
tentara Jepang, ibu tirinya dan saudara tirinya malah bersembunyi, dan tertawa
di atas penderitaan gadis itu.
“Pada suatu hari di bulan April 1042, kamp tahanan perang di Kramat, Rani
sedang memotong-motong sayuran mentah di dapur. Pekerjaannya tidak berubah dari
seorang pelayan yang bekerja di dapur dalam rumahnya sendiri, menjadi seorang pekerja
dapur di kamp.” (Maharani: 60).
“Rani melakukan semua hal itu. Apa saja dilakukannya
untuk membunuh waktu. Ia yakin suatu saat keadaan mereka akan berubah . ia
yakin suatu saat mereka akan dibebaskan. Karena itu ia mau melakukan apa saja
untuk menghabiskan waktunya yang banyak.” (Maharani: 70).
Kutipan di atas, memberikan gambaran tentang watak tokoh utama, yaitu Maharani,
dimana Maharani memilki jiwa yang tegar dan sabar dalam keadaan menderita
sekalipun. Siksa sebagai tawanan tidak semua orang akan dapat menjalaninya.
Mungkin hanya sebagian manusia, apalagi wanita yang sanggup bertahan dalam
keadaan itu. Memang susah hidup sebagai wanita yang tidak mempunyai sanak keluarga
di bumi ini. Hidup sebatangkara, terlonta-lonta di bawah kawalan orang, dan tidak
seorang pun yang peduli, sampai-sampai dijadikan pelacur dan pelampiasan hawa
nafsu sekalipun. Sebagai wanita yang lemah tidak sanggup untuk melawan. Seperti
dalam penggalan di bawah ini.
“Kali ini Rani tidak seberuntung tadi. Di kamar lain
masih terdengar jeritan, tangisan, dan tawa pria. Pria yang kedua ini rupanya
sudah menunggu dengan tidak sabar. Begitu masuk ia langsung menyergap tubuh
Rani yang belum sempat mengenakan pakaian. Rani berontak habis-habisan. Ia
tidak mau lagi dihina untuk yang kedua kalinya. Tapi, kali ini pria itu
menamparnya dua kali. Di pipi kiri dan kanan. Hingga Rani merasa kepalanya
pusing dan hampir pingsan. Kali ini semua terasa lebih cepat karena ia sudah
setengah sadar. Pria itu keluar tanpa berkata apa-apa dan tanpa memberikan uang tip. Lalu masuklah pria ketiga.” (Maharani:
88).
Penggalan di atas membuktikan kalau harga dirinya sebagai seorang wanita
telah habis dan terinjak-injak dengan gampangnya. Bagaimana tidak, wanita suci
yang lemah dijadikan pelacur dan tempat pelampiasan hawa nafsu pria-pria yang tidak
beradap. Keperawanan yang hanya boleh diberikan kepada seorang suami sekarang
harus diberikan kepada laki-laki yang bukan suami dengan jalan terpaksa. Tiada
gunanya lagi rasanya hidup jikalau kesucian sudah tiada lagi bisa
dipertahankan.
Sekali lagi cerita dalam novel ini benar-benar menggambarkan harga diri wanita
yang terinjak-injak tanpa adanya belas kasihan dari seorang pun. Keperawanan yang
seharusnya bisa membawa kederajat yang lebih tinggi, keperawanan yang bagi
wanita adalah sesuatu yang sangat dibanggakan, sekarang sudah tiada lagi.
Lepas dari penderitaan sebagai pelacur atau joghun ianfu, sekarang
malah dilecehkan oleh orang banyak. Orang-orang sekitar sudah tidak mau lagi
menerima Maharani di lingkungannya. Bahkan lelaki yang akan menjadi suaminya
pun mencampakkannya begitu tahu kalau wanita itu bekas pelacur.
Begitu rendahnya orang-orang memandang seorang wanita tanpa mencari tahu
dahulu latar belakang wanita itu menjadi penghibur nafsu bejad lelaki.
Orang-orang tidak tahu betapa menderitanya menjadi wanita yang sudah tidak
mempunyai harga diri lagi. Manusia sebagai makhluk memang memiliki ego yang tinggi, manusia tidak akan mau menerima sesuatu yang bertentangan dengan
adat mereka, seperti halnya pelacur. Begitulah Maharani, wanita yang harus
membawa derita seumur hidupnya. Seperti pada penggalan novel di bawah ini.
“Pelacur? Apa-apaan ini? Apa yang terjadi dan tidak
dapat diingatnya? Mengapa Cik Awi, pedagang kain yang barusan lewat mengatainya
pelacur dengan wajah jijik? Ia memegang kepalanya yang terasa sakit dan
tiba-tiba mengingat kembali semuanya.” (Maharani: 236).
“Aku tidak pernah menyentuh seorang pelacur
sebelumnya. Juga tidak akan!” Kata
Yanoear sambil mengacungkan telunjuknya pada Tiar.” (Maharani: 247).
Andaikan Maharani dalam novel ini bisa berkata tidak, mungkin tidak akan
semenderita ini sebagai seorang wanita. Tidak habis-habisnya penderitaan yang
melanda wanita ini. Tuhan tidak akan sia-sia menciptakan bumi beserta isinya.
Jika ada awal, pasti ada akhir. Jika ada kesedihan pasti ada kebahagiaan.
Maharani seperti dalam novel ini, walau orang-orang tidak bisa menerimanya,
namun dia tetap memiliki cinta dan dicintai oleh seorang laki-laki dan akhirnya
menikahinya.
“Rani memutuskan untuk menikah dengan Arik beberapa
waktu lagi, setelah mereka berdua siap. Pria itu sudah mengetahui rahasianya.
Keperawanan bukan lagi masalah. Pria itu sudah tahu, ia bisa lega sekarang.
Walaupun masih merasa jijik dengan hubungan seksual, ia masih bisa menahannya.”
(Maharani : 242).
Di atas bumi ini mungkin sangat susah menemukan laki-laki seperti yang
digambarkan dalam novel ini. Kecuali mungkin kalau laki-laki itu benar-benar
cinta dengan ketulusan hatinya. Akan sangat terangkat derajatnya wanita kalau ada seseorang yang bisa menghargai
wanita itu sekalipun wanita itu sudah tidak perawan lagi.
Dalam novel yang bertemakan wanita dan harga dirinya ini sungguh menyentuh
hati. Bagaimana tidak, wanita yang sejak remajanya hingga dewasa tidak pernah
lagi merasa bahagia, sampai-sampai harga dirinya sudah direnggut karena
keperawannaya dirampas oleh lelaki hidung belang. Gaya bahasa dalam novel ini
pun sangat menarik, bagus, dan mudah dimengerti, sehingga pembaca akan merasa
ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh tokoh Maharani sebagai tokoh utama
dalam novel ini. Ditambah lagi dengan alurnya yang maju, sehingga pembaca
benar-benar memahami tujuan dari penulis.
Profil Penulis:
NIM/BP :
01494/2008
Jurusan :
Pend. Bahasa Sastra Indonesia
Alamat :
Jln. Murai No. 7 Air Tawar Barat
Kota Asal :
Lubuk Sikaping (Pasaman)
No. Hp :
081977538360
0 Komentar:
Posting Komentar