Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 5 (Kritik Sastra)



CINTA DAN HARGA DIRI WANITA DALAM NOVEL MAHARANI
Oleh Yulya Dwi Rahmita

KITA tidak tahu kapan datang dan perginya cinta. Sebagai manusia, kita akan membutuhkan cinta, baik cinta dalam keluarga, teman, atau pun cinta terhadap lawan jenis. Cinta akan membuat seseorang merasa senang dan bisa merasa teramat kecewa karenanya. Bagaimana kalau kita sedang bahagia karena cinta dan kasih sayang, tiba-tiba semua kandas begitu saja karena sesuatu yang membuat kita terpuruk?.
Bagaimana wanita bisa mempertahankan harga dirinya sebagai wanita suci jika orang-orang yang kita cintai sudah tiada lagi, sehingga tiada lagi orang-orang yang peduli. Harga diri dan keperawanan dipertaruhkan demi bertahan hidup. Namun, sebagai wanita yang lemah tidak akan bisa mengelak dari nafsu bejat lelaki yang berhidung belang, sehingga wanita dijadikan pelacur.

Kita tidak bisa mengatakan setiap aksi pelacuran selalu dilandasi ketidak acuhan emosional ataupun pembayaran. Bagaimana dengan kasus ketika seorang perempuan melakukan hubungan intim dengan banyak lelaki (tanpa ikatan resmi), namun ia sendiri melibatkan unsur emosional dan menerima bayaran?. Jelas bahwa dalam hal ini kriteria ekonomi semata juga memang tidaklah memadai. Kita juga tidak bisa mengatakan bila hubungan intim dalam sebuah ikatan resmi sama sekali bebas dari tindakan pembayaran. Apabila hubungan intim dilakukan dengan cara paksaan, maka bagi seorang wanita tentulah sama saja dengan melepas harga dirinya.
Pelacuran di mata masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang buruk, haram, hina, dan lain-lain. Wanita yang menjadi pekerja seks dianggap sebagai sampah masyarakat, perusak moral, penyebar berbagai macam penyakit. Baik agama maupun hukum melarang praktek prostitusi. Pelacuran itu, ibarat selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya. Sesuatu yang ironi memang, ternyata di tengah stigma yang disandangnya, pelacur juga dibutuhkan, dan sebagai solusi dari sebuah problem sosial untuk mengurangi kasus-kasus pemerkosaan di tengah masyarakat. Apabila pemerkosaan terjadi, maka wanita sama saja tidak berarti lagi, karena sesuatu yang dibanggakannya tidak ada lagi.
Ditinjau lewat aspek penokohan, maka akan ditemukan bahwa Maharani adalah tokoh utama dalam novel ini. Sosok bintang jatuh yang digambarkan pengarang tak lain adalah perempuan cantik yang menjajahkan tubuhnya kepada banyak lelaki ini. Menurut kacamata masyarakat umum, apalagi dalam konteks budaya Indonesia, perempuan yang menjajahkan tubuhnya pada lebih dari satu lelaki tanpa ada ikatan resmi dan menerima imbalan berupa uang disebut pelacur. Namun, bagaimana kalau kasusnya kalau wanita menjajakan tubuhnya karena paksaan?
Kesan yang akan timbul selanjutnya adalah Maharani tipe perempuan sabar dan tegar. Tokoh Maharani merupakan refleksi pengarang akan kenyataan yang sudah menjadi rahasia umum dalam kehidupan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Maharani memiliki hubungan intim dengan beberapa lelaki, dan tanpa menuntut upah untuk hubungan tersebut, namun semua itu dilakukannya karena dia tidak bisa lagi mengelak dari takdirnya sebagai wanita penghibur.
Dalam novel Maharani ini, sosok perempuan yang tidak kuasa mengelak dari sebuah keadaan. Satu sosok yang dipaksa untuk selalu membawa bagian yang paling pahit dari hidupnya. Bahkan, ketika kepahitan itu sudah lama berlalu.
Maharani, satu lagi saksi kekejaman manusia terhadap manusia yang lain. Satu sosok menjadi bagian dari sejarah kelam peradapan manusia, menjadi seorang joghun ianfu (pelacur). Satu sosok yang ada, tidak bisa terhapus, dan bukan satu-satunya. Andai saja dia bisa memilih? Andai Maharani bisa berkata ‘tidak’. Andai Maharani-Maharani lain juga bisa menolak.
 Pengarang dalam novel ini akan menceritakan tentang kehidupan seorang wanita yang semasa kecil hingga remajanya merasa senang dan bahagia karena selalu disirami cinta dan kasih sayang dari keluarganya. Namun, kebahagiaan itu berangsur-angsur terenggut ketika sang ibu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Namun, saat itu Maharani tetap dapat memperoleh cinta dan kasih sayang dari seorang ayah dan saudara angkat laki-lakinya yang bernama Arik. Seperti yang terlihat dalam kutipan.
“Saat mereka lulus Hollandsche Primary School, Ayu meninggal karena kanker rahim yang dideritanya. Kehilangan ibunya membuat Maharani sedih beberapa saat, tapi karena ia masih memililki ayah yang sangat menyayanginya, ia tidak terlalu merasakannya. Ia tumbuh menjadi seorang remaja yang yang berbahagia dan penuh dengan waktu-waktu  yang berkesan, yang tak terlupakan sepanjang hidupnya.“ (Maharani: 4-5).
Dari kutipan itu tergambar sosok Rani sebagai seorang wanita yang tetap mempertahankan kebahagiaan karena masih memiliki seorang ayah yang masih mencintainya. Sebagai perempuan, dalam kehidupan mungkin tak akan ada yang sanggup merasa kehilangan, apalagi kehilangan sang ibu yang sangat dicintai. Namun, memang dukungan dari sesorang yang masih dimiliki pasti akan dapat mengobati luka karena kehilangan itu, seperti sosok ayah.
Maharani sebagai tokoh utama menggambarkan sosok wanita yang harga dirinya terinjak-injak oleh seorang ibu tiri, dan juga oleh lelaki hidung belang yang telah merenggut keperawanannya . Memang betul kata orang banyak, kalau kasih sayang seorang ibu kandung tidak akan pernah tergantikan oleh wanita manapun, apalagi oleh seorang ibu tiri. Maharani dalam novel ini selalu dikasari dan tak pernah mendapatkan kasih sayang oleh ibu tiri.
“Rani, kau sudah gila, ya? Kenapa kau tidak membagi baju yang dibelikan ayahmu pada Tiar?” Sembur Sari, ibu tirinya. Rani tidak dekat dengan ibu tirinya. Walau sudah satu tahun Sari menjadi ibu tirinya, Rani jarang bertukar kata dengannya. Ibu tirinya adalah orang yang tidak terpelajar dan berperangai buruk. Kata-katanya tidak pernah halus. Hanya di depan ayahnyalah, sikapnya berubah baik. Sedapat mungkin Rani selalu menghindarinya. Kalau tidak, ia khawatir akan bersikap tidak hormat. (Maharani: 5-6).
Novel ini sungguh menceritakan tentang kenyataan yang terjadi di dunia fana ini. Kalau seorang ibu tiri tak akan pernah sungguh-sungguh menyayangi anak tirinya, malah dalam novel ini, penderitaan seorang wanita sebagai anak tiri menjadi besar semenjak ayahanda tercinta meninggal dunia.
“Semua tidak seperti yang direncanakan semula dalam pertemuan terakhir dengan ayahnya, yaitu bahwa ia dan Arik akan di sekolahkan ke Belanda. Dunia Rani seakan terbalik sejak ayahnya meninggal.” (Maharani: 41).
Maharani adalah seorang gadis yang tidak pernah berhenti dijauhi derita. Mulai dari kehilangan seorang ibu, ayah, siksaan dari seorang ibu tiri, dan sekarang dia harus menderita karena harus menjadi tawanan Jepang. Pengarang dalam novel ini menceritakan Maharani yang ditahan oleh Jepang karena dia adalah keturunan Belanda. Disaat dia dibawa oleh tentara Jepang, ibu tirinya dan saudara tirinya malah bersembunyi, dan tertawa di atas penderitaan gadis itu.
“Pada suatu hari di bulan April 1042, kamp tahanan perang di Kramat, Rani sedang memotong-motong sayuran mentah di dapur. Pekerjaannya tidak berubah dari seorang pelayan yang bekerja di dapur dalam rumahnya sendiri, menjadi seorang pekerja dapur di kamp.” (Maharani: 60).
“Rani melakukan semua hal itu. Apa saja dilakukannya untuk membunuh waktu. Ia yakin suatu saat keadaan mereka akan berubah . ia yakin suatu saat mereka akan dibebaskan. Karena itu ia mau melakukan apa saja untuk menghabiskan waktunya yang banyak.” (Maharani: 70).
Kutipan di atas, memberikan gambaran tentang watak tokoh utama, yaitu Maharani, dimana Maharani memilki jiwa yang tegar dan sabar dalam keadaan menderita sekalipun. Siksa sebagai tawanan tidak semua orang akan dapat menjalaninya. Mungkin hanya sebagian manusia, apalagi wanita yang sanggup bertahan dalam keadaan itu. Memang susah hidup sebagai wanita yang tidak mempunyai sanak keluarga di bumi ini. Hidup sebatangkara, terlonta-lonta di bawah kawalan orang, dan tidak seorang pun yang peduli, sampai-sampai dijadikan pelacur dan pelampiasan hawa nafsu sekalipun. Sebagai wanita yang lemah tidak sanggup untuk melawan. Seperti dalam penggalan di bawah ini.
“Kali ini Rani tidak seberuntung tadi. Di kamar lain masih terdengar jeritan, tangisan, dan tawa pria. Pria yang kedua ini rupanya sudah menunggu dengan tidak sabar. Begitu masuk ia langsung menyergap tubuh Rani yang belum sempat mengenakan pakaian. Rani berontak habis-habisan. Ia tidak mau lagi dihina untuk yang kedua kalinya. Tapi, kali ini pria itu menamparnya dua kali. Di pipi kiri dan kanan. Hingga Rani merasa kepalanya pusing dan hampir pingsan. Kali ini semua terasa lebih cepat karena ia sudah setengah sadar. Pria itu keluar tanpa berkata apa-apa dan tanpa memberikan uang tip. Lalu masuklah pria ketiga.” (Maharani: 88).
Penggalan di atas membuktikan kalau harga dirinya sebagai seorang wanita telah habis dan terinjak-injak dengan gampangnya. Bagaimana tidak, wanita suci yang lemah dijadikan pelacur dan tempat pelampiasan hawa nafsu pria-pria yang tidak beradap. Keperawanan yang hanya boleh diberikan kepada seorang suami sekarang harus diberikan kepada laki-laki yang bukan suami dengan jalan terpaksa. Tiada gunanya lagi rasanya hidup jikalau kesucian sudah tiada lagi bisa dipertahankan.
Sekali lagi cerita dalam novel ini benar-benar menggambarkan harga diri wanita yang terinjak-injak tanpa adanya belas kasihan dari seorang pun. Keperawanan yang seharusnya bisa membawa kederajat yang lebih tinggi, keperawanan yang bagi wanita adalah sesuatu yang sangat dibanggakan, sekarang sudah tiada lagi.
Lepas dari penderitaan sebagai pelacur atau joghun ianfu, sekarang malah dilecehkan oleh orang banyak. Orang-orang sekitar sudah tidak mau lagi menerima Maharani di lingkungannya. Bahkan lelaki yang akan menjadi suaminya pun mencampakkannya begitu tahu kalau wanita itu bekas pelacur.
Begitu rendahnya orang-orang memandang seorang wanita tanpa mencari tahu dahulu latar belakang wanita itu menjadi penghibur nafsu bejad lelaki. Orang-orang tidak tahu betapa menderitanya menjadi wanita yang sudah tidak mempunyai harga diri lagi. Manusia sebagai makhluk memang memiliki ego yang tinggi, manusia tidak akan mau menerima sesuatu yang bertentangan dengan adat mereka, seperti halnya pelacur. Begitulah Maharani, wanita yang harus membawa derita seumur hidupnya. Seperti pada penggalan novel di bawah ini.
“Pelacur? Apa-apaan ini? Apa yang terjadi dan tidak dapat diingatnya? Mengapa Cik Awi, pedagang kain yang barusan lewat mengatainya pelacur dengan wajah jijik? Ia memegang kepalanya yang terasa sakit dan tiba-tiba mengingat kembali semuanya.” (Maharani: 236).
“Aku tidak pernah menyentuh seorang pelacur sebelumnya. Juga tidak akan!” Kata  Yanoear sambil mengacungkan telunjuknya pada Tiar.” (Maharani: 247).
Andaikan Maharani dalam novel ini bisa berkata tidak, mungkin tidak akan semenderita ini sebagai seorang wanita. Tidak habis-habisnya penderitaan yang melanda wanita ini. Tuhan tidak akan sia-sia menciptakan bumi beserta isinya. Jika ada awal, pasti ada akhir. Jika ada kesedihan pasti ada kebahagiaan. Maharani seperti dalam novel ini, walau orang-orang tidak bisa menerimanya, namun dia tetap memiliki cinta dan dicintai oleh seorang laki-laki dan akhirnya menikahinya.
“Rani memutuskan untuk menikah dengan Arik beberapa waktu lagi, setelah mereka berdua siap. Pria itu sudah mengetahui rahasianya. Keperawanan bukan lagi masalah. Pria itu sudah tahu, ia bisa lega sekarang. Walaupun masih merasa jijik dengan hubungan seksual, ia masih bisa menahannya.” (Maharani : 242).
Di atas bumi ini mungkin sangat susah menemukan laki-laki seperti yang digambarkan dalam novel ini. Kecuali mungkin kalau laki-laki itu benar-benar cinta dengan ketulusan hatinya. Akan sangat terangkat derajatnya wanita  kalau ada seseorang yang bisa menghargai wanita itu sekalipun wanita itu sudah tidak perawan lagi.
Dalam novel yang bertemakan wanita dan harga dirinya ini sungguh menyentuh hati. Bagaimana tidak, wanita yang sejak remajanya hingga dewasa tidak pernah lagi merasa bahagia, sampai-sampai harga dirinya sudah direnggut karena keperawannaya dirampas oleh lelaki hidung belang. Gaya bahasa dalam novel ini pun sangat menarik, bagus, dan mudah dimengerti, sehingga pembaca akan merasa ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh tokoh Maharani sebagai tokoh utama dalam novel ini. Ditambah lagi dengan alurnya yang maju, sehingga pembaca benar-benar memahami tujuan dari penulis.

Profil Penulis:
Nama              : Yulya Dwi Rahmita
NIM/BP           : 01494/2008
Jurusan           : Pend. Bahasa Sastra Indonesia
Alamat             : Jln. Murai No. 7 Air Tawar Barat
Kota Asal        : Lubuk Sikaping (Pasaman)
No. Hp                        : 081977538360

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog