MENGUNGKAP MAKNA DIBALIK PERJALANAN HIDUP LARUNG
Oleh Amirah Diniarti
LARUNG
Lanang, Laki-laki pintar tetapi
jalan pikirannya susah untuk ditebak. Larung berjalan-jalan di dunia dongeng.
Tugas terbesarnya adalah mencari jalan untuk menghabisi umur neneknya. Menurut
Larung, nenek sudah hidup terlalu lama. Saatnya mengakhiri derita jasad yang
malang itu.
Lanjutan
dari Saman. Kini semua pemain lengkap, masing-masing bercerita untuk membentuk
sebuah cerita yang tidak terduga. Sebuah pengalaman yang menarik dalam
membacanya, selain menebak hubungan antara Saman, Larung, dan empat sekawan
Shakuntala, Cok, Jasmin, dan Laila.
Pengarang
membawa kita kepada sebuah petualangan ke hutan-hutan dan perkampungan kecil,
perjuangan para aktivis dan budaya bawah tanah, serta kerumitan psikologis dan
seksualitas tokoh-tokohnya. Permasalahan gender, hak asasi, dan juga sengketa
antar kelas, tidak lupa percampuran kultur tradisi dan modern.
Yang
terlihat dari Larung adalah hadirnya hal-hal kecil, benda-benda yang terlalu gampang
namun dengan kuat membentangkan “suasana”. Bahkan sejak di halaman-halaman
awal, sudah terlihat betapa novel ini menjanjikan sejumlah cerita kecil yang
dapat berdiri sendiri yang terbentuk oleh observasi dan pengetahuan yang tajam
atas hal-hal yang tampak gampang itu. Larung dibuka dengan pikiran tentang waktu, dan isyarat tentang kematian. Di
halaman pertama kita temukan kalimat-kalimat seperti berikut:
“Selalu ada aroma perjalanan pada rel dan subuh. Lampu sisa malam pada
tembok muram dan tepi jalan. Kuning, semakin padam oleh langit. Ketika bau
hangat matahari telah tercium di timur laut, sebelum warna terangnya terpantul
pada atmosfir, burung bence segera menghentikan tur malamnya lalu menyusup ke
sebuah ceruk yang tak diketahui cahaya. Dengarlah, kita hanya menangkap
sisa-sisa gema triolnya, tinggi dan jauh, lalu hilang dalam dalam warna hitam
dibalik gedung dan pepohonan.
Ada makhluk-makhluk, seperti Kelelawar, yang tidak menyukai terang.”
Dengan
cara bertuturnya; dengan metafor, ritme dan liriknya, novel ini menyentuh
banyak hal gampang, sehingga mengaktifkan imajinasi dan menghidupkan pengalaman
orang. Ada beberapa bagian dari diri kita menjadi aktif kembali. Dan kita
merasa terpaut dengan suasana tersebut, sebuah ruang waktu yang lain, yang
terlupakan, atau yang terbayangkan. Ada sesuatu
yang lain dalam diri kita. Ada imajinasi yang hidup, dan ingatan yang
menyembuhkan kita dari ketumpulan dan ketidakpedulian. Benda-benda kecil
konkret yang muncul disepanjang novel seperti ini, kembali menyelamatkan kita
dari dunia yang terlalu disesaki oleh berbagai kata-kata kasar, yang membuat
kita berjarak dari kehidupan yang berdaki dan berpeluh.
Benda-benda
konkret itu membantu indra dan tubuh kita menjadi lebih peka, menjadi pegangan
kita untuk mengembalikan kesadaran kita ditengah banyaknya pengetahuan yang
datang dan pergi bertumpang tindih. Tubuh adalah hal yang paling peka
untuk mengecek kenyataan. Seni tampaknya memang selalu mengukuhkan kembali
ikatan batin kita dengan hidup sekitar, dengan masa silam yang hampir sudah,
dengan senja yang jingga dan uap tanah sehabis hujan, dan sebagainya. Selain
mengukuhkan ikatan batin tersebut, ia juga memberikan kepada kita satu cara
untuk mengetahui dan mendekati kenyataan yang tak dapat diperoleh lewat
pengetahuan.
Selain
kenikmatan bahasa, Pada bagian pertama Larung,
cerita ini berawal dari seorang cucu membunuh dan memotong-motong neneknya.
Seorang nenek yang mengajari cucunya mencari pada senja Kumbang Merah yang muncul
dari dalam tanah, yang membukakan arti kekosongan dari segala nilai ataupun
harapan, yaitu keadaan dimana tak ada bahasa untuk mengerti. Seorang nenek
berkata:
“Kau bukan
cucuku, Larung. Kau adalah anak yang dipungut dari orang tua yang punya keturunan
gila. Seperti Karena yang
dibuang Kunti dalam suatu nasib sedih, engkau tumbuh sebagai satria yang dikhianati.
Kau bukan cucuku, karena itu aku mencintaimu.”
Saya
menangkap tanda (atau lebih tepat, mengharap) yang lebih hebat ketika membaca
sepotong kalimat di Larung,
sebuah kalimat yang berat dan menjadi sumber pertengkaran di agama. Kalimat
tersebut yaitu:
“Alam
tidak punya tujuan (hlm. 10).”
Sayang
bahwa kalimat ini tertinggal sebagai kalimat saja, dan cerita Larung tak
berhasil menjadi cerita yang meyakinkan memaparkan betapa alam (yakni seluruh
alam yang kita kenal) memang tak punya tujuan.
Namun
demikian, cerita Larung yang berliku-liku menyusuri masa silam neneknya, sampai
ia membongkar dan mengobok-obok tubuh tua yang begitu mencintai kehidupan,
tampil demikian mencekam. Dalam novel Larung ini juga menceritakan tentang
hancurnya seorang perempuan, dan tentang perselingkuhan. Misalnya pada salah
satu paragraf dari perkatan Shakuntala yaitu:
“Kamu berbaring di sisiku dan
kulihat air mengalir dari matamu ke arah rambut… seperti kepahitan dari tumpukan kekecewaan yang kamu coba
sembunyikan. Kupeluk kamu. Aku mengelus
di punggung dan mencium di kening. Dan aku tidak pergi. Aku tahu kamu belum pernah mengalami orgasme. Juga ketika
bercumbu dengannya. Kini tak kubiarkan kamu menemui lelaki itu sebelum kamu
mengetahuinya. Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri.”
Tapi
bagian ini bisa membantu kita bahwa perselingkuhan bukanlah cerita.
Perselingkuhan mungkin adalah perasaan yang dibiarkan mengalir (Laila) atau
semacam dendam masa silam yang bercampur aduk dengan aspirasi religius
(Yasmin). Dititik ini pengertian tentang perselingkuhan menjadi tidak lagi memadai.
Pengertian tersebut hanya datang dari pihak luar, bukan suara hati dari yang
mengalami.
Dibagian
kedua Larung, penulis bisa dikatakan mereproduksi,
dengan kekuatan yang menurun, apa yang sudah dituliskannya di novel Saman. Dibagian
ketiga, ia mempertemukan Larung dan Saman dan menghadirkan peristiwa-peristiwa
politik, lengkap dengan diskusi disekitarnya. Peristiwa dan diskusi politik ini
bisa kita peroleh lebih baik, lebih rinci dan lengkap ditempat lain. Reproduksi
Saman memang membuka ruang untuk “mendidik” para lelaki hidung belang yang
dengan naif mengira bahwa hanya kaum
laki-laki yang bisa memperalat dan bereksperimen dengan bermacam lawan jenis
sekaligus, untuk mencari isi hati terdalam perempuan. Dibagian ketiga Larung,
juga bercerita tentang “pendidikan”. Pendidikan itu mengambil bentuk pada
ejekan terhadap perwira tinggi yang mengira dirinya seorang hebat tapi
sebenarnya cuma seorang yang memperoleh kedudukannya dengan menipu.
“Pendidikan” lain diarahkan kepada para aktivis muda, yang penuh dengan
keinginan berkorban dan ketidaktahuan akan kegagalan atau rasa sakit.
Beberapa
hal, termasuk bertemunya Larung dan Saman, terasa tidak cukup meyakinkan jika
dilihat dari keseluruhan cerita yang sudah tersusun sebelumnya. Orang memang
bisa mempertanyakan kemasukakalan plot dibagian ini: bagaimana mungkin Saman,
Larung, dan Anson, dan tiga aktivis mesti bertemu di Laut Cina Selatan,
misalnya? Pertemuan mereka semua bukanlah resiko yang wajar dari apa yang sudah
diceritakan sebelumnya.
Jika
dibagian sebelumnya, ceritanya bisa dikatakan agak hancur, dibagian ini, cerita
itu malah menonjol kuat. Yang kita temukan adalah gambaran umum tentang tentara
korup yang sebenarnya pengecut dan aktivis muda kiri yang sombong. Tokoh-tokoh
baru yang muncul bukan lagi karakter yang kompleks dan mendapat penilaian umum,
tapi tokoh-tokoh satu sisi. Untung bahwa gaya bertuturnya yang mirip cerita
petualangan ini, dikerjakan cukup baik dan pembaca masih bisa merasakan
ketercekaman sampai ke halaman akhir.
Karakter-karakter
baru yang dimunculkannya sungguh bisa menjadi bahan bagi novel besar lain,
andai saja penulis bersedia untuk bertekun menggarap dan mengembangkannya. Dari
sana dapat diharapkan tampilnya teks dengan tokoh-tokoh yang lebih dalam, lebih
hidup dan kompleks. Bisa juga dikatakan, pada Larung, ada unsur-unsur luar
sastra, katakan saja keterlibatan politik yang bekerja begitu dominan hingga
merusak bentuk novel tersebut. Ketaksinambungan antara Larung dibagian awal
dengan Larung dibagian akhir, adalah contoh bagaimana pengarang merusak
bangunan novel itu, antara lain untuk memamerkan kepandaiannya bercerita dalam
berbagai bentuk, termasuk bentuk petualangan (kemampuan yang memang ditunjukkan
dengan sangat baik).
Dalam
novel Larung ini, terkadang sampai terasa bosan untuk membacanya. Tetapi,
karena pengarang adalah seorang penyihir, ia mampu membuat saya tetap memegang
novel ini hingga habis dalam waktu dua hari saja. Sebuah akhir yang tidak
terduga, sekaligus sebuah momen puncak kemenangan yang seolah ingin terus
diabadikan sehingga harus berakhir demikian.
Ayu
Utami memang bukan penulis biasa menurut saya. Pendekatan penulisannya sangat
bagus. Cerita disampaikan dengan gaya yang bermacam-macam. Dari penuturan
tokoh, catatan harian. Fakta-fakta yang berserakan pada akhirnya dirangkai
menuju sebuah kesimpulan.
(1).
Tema utama dari novel tersebut adalah perlawanan terhadap budaya patriarki dan
budaya yang mentabukan perbincangan soal seks dan seksualitas (2). Amanat atau
maknanya dari novel ini adalah : a. Seks dan seksualitas harus menjadi wacana
dialogis yang tidak perlu diperbincangkan dan ditutup-tutupi. b. Seksualitas
tidak boleh menjadikan wanita sebagai penghibur laki-laki atau menjadi
masyarakat kelas dua. c. Kekuasaan dan kekerasan harus dihentikan agar
masyarakat dapat hidup secara demokratis. d. Agama hendaknya harus paham
terhadap keadaan dan kondisi manusia penganutnya, agama sejatinya membebaskan
bukan malah mengekang manusia. (3). Alur atau plotnya dalam novel ini
bermacam-macam. Pada bagian pertama dan kedua pengarang menggunakan alur
pemikiran. Artinya yang dipentingkan adalah pemikirannya dibandingkan dengan
tokoh dan alurnya. Sedangkan pada bagian tiga pengarang menggunakan alur maju
(progresif) yang terdiri dari beberapa tahap yaitu : pengenalan, tahap
pengawatan, tahap puncak atau klimaks, tahap peleraian, dan tahap penyelesaian.
(4). Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah: Larung, Saman, Cokorda Gita
Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, Yasmin Moningka, Sihar Situmorang. Teknik
pelukisan tokoh dan penokohan dalam novel ini menggunakan teknik dramatik atau
teknik tidak langsung. (5). Latar yang digunakan pengarang dalam novel ini
meliputi latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat misalnya,
Jakarta, New York, Selat Philip; latar waktu, misalnya tahun 1996, 1 Juni 1996,
27 Juli 1996; latar sosial menyangkut status sosial tokoh dan keadaan atau
situasi sosial ketika peristiwa dalam cerita ini terjadi. Status sosial tokoh,
misalnya, kelas menengah ke atas dan situasi sosial, misalnya, keadaan politik
era orde baru. (6). Sudut pandang novel ini pengarang menggunakan sudut pandang
orang ketiga dan sudut pandang orang pertama. (7). Gaya bahasanya menggunakan
gaya bahasa langsung, gaya bahasa perbandingan dan gaya
bahasa yang dipakai seolah-olah berjiwa, hidup, dan segar sehingga dapat
menggetarkan hati pembaca atau pendengar. Pemilihan kata dalam sebuah novel
berkaitan erat dengan bahasa kias yakni sarana untuk mendapatkan efek puitis
dalam novel tersebut. Jadi unsur-unsur
instrinsik di atas digunakan untuk membangun suatu karya sastra yang utuh.
Profil Penulis:
Nama : Amirah Diniati
Jurusan
: Pend. Bahasa Indonesia dan Daerah
TTL : 29 Januari 1990
Alamat : Komp. Singgalang B V No. 2 Tabing
Padang
Kota
Asal : Bukittinggi
No.
Telepon : 081266350974
0 Komentar:
Posting Komentar