Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 2 (Kritik Sastra)



MENGUNGKAP MAKNA DIBALIK PERJALANAN HIDUP LARUNG
Oleh Amirah Diniarti

            LARUNG Lanang, Laki-laki pintar tetapi jalan pikirannya susah untuk ditebak. Larung berjalan-jalan di dunia dongeng. Tugas terbesarnya adalah mencari jalan untuk menghabisi umur neneknya. Menurut Larung, nenek sudah hidup terlalu lama. Saatnya mengakhiri derita jasad yang malang itu.
            Lanjutan dari Saman. Kini semua pemain lengkap, masing-masing bercerita untuk membentuk sebuah cerita yang tidak terduga. Sebuah pengalaman yang menarik dalam membacanya, selain menebak hubungan antara Saman, Larung, dan empat sekawan Shakuntala, Cok, Jasmin, dan Laila.
            Pengarang membawa kita kepada sebuah petualangan ke hutan-hutan dan perkampungan kecil, perjuangan para aktivis dan budaya bawah tanah, serta kerumitan psikologis dan seksualitas tokoh-tokohnya. Permasalahan gender, hak asasi, dan juga sengketa antar kelas, tidak lupa percampuran kultur tradisi dan modern.
            Yang terlihat dari Larung adalah hadirnya hal-hal kecil, benda-benda yang terlalu gampang namun dengan kuat membentangkan “suasana”. Bahkan sejak di halaman-halaman awal, sudah terlihat betapa novel ini menjanjikan sejumlah cerita kecil yang dapat berdiri sendiri yang terbentuk oleh observasi dan pengetahuan yang tajam atas hal-hal yang tampak gampang itu. Larung dibuka dengan pikiran tentang waktu, dan isyarat tentang kematian. Di halaman pertama kita temukan kalimat-kalimat seperti berikut:
“Selalu ada aroma perjalanan pada rel dan subuh. Lampu sisa malam pada tembok muram dan tepi jalan. Kuning, semakin padam oleh langit. Ketika bau hangat matahari telah tercium di timur laut, sebelum warna terangnya terpantul pada atmosfir, burung bence segera menghentikan tur malamnya lalu menyusup ke sebuah ceruk yang tak diketahui cahaya. Dengarlah, kita hanya menangkap sisa-sisa gema triolnya, tinggi dan jauh, lalu hilang dalam dalam warna hitam dibalik gedung dan pepohonan. Ada makhluk-makhluk, seperti Kelelawar, yang tidak menyukai terang.”

            Dengan cara bertuturnya; dengan metafor, ritme dan liriknya, novel ini menyentuh banyak hal gampang, sehingga mengaktifkan imajinasi dan menghidupkan pengalaman orang. Ada beberapa bagian dari diri kita menjadi aktif kembali. Dan kita merasa terpaut dengan suasana tersebut, sebuah ruang waktu yang lain, yang terlupakan, atau yang terbayangkan. Ada sesuatu yang lain dalam diri kita. Ada imajinasi yang hidup, dan ingatan yang menyembuhkan kita dari ketumpulan dan ketidakpedulian. Benda-benda kecil konkret yang muncul disepanjang novel seperti ini, kembali menyelamatkan kita dari dunia yang terlalu disesaki oleh berbagai kata-kata kasar, yang membuat kita berjarak dari kehidupan yang berdaki dan berpeluh.
            Benda-benda konkret itu membantu indra dan tubuh kita menjadi lebih peka, menjadi pegangan kita untuk mengembalikan kesadaran kita ditengah banyaknya pengetahuan yang datang dan pergi bertumpang tindih. Tubuh adalah hal yang paling peka untuk mengecek kenyataan. Seni tampaknya memang selalu mengukuhkan kembali ikatan batin kita dengan hidup sekitar, dengan masa silam yang hampir sudah, dengan senja yang jingga dan uap tanah sehabis hujan, dan sebagainya. Selain mengukuhkan ikatan batin tersebut, ia juga memberikan kepada kita satu cara untuk mengetahui dan mendekati kenyataan yang tak dapat diperoleh lewat pengetahuan.
            Selain kenikmatan bahasa, Pada bagian pertama Larung, cerita ini berawal dari seorang cucu membunuh dan memotong-motong neneknya. Seorang nenek yang mengajari cucunya mencari pada senja Kumbang Merah yang muncul dari dalam tanah, yang membukakan arti kekosongan dari segala nilai ataupun harapan, yaitu keadaan dimana tak ada bahasa untuk mengerti. Seorang nenek berkata:
“Kau bukan cucuku, Larung. Kau adalah anak yang dipungut dari orang tua yang punya keturunan gila. Seperti Karena yang dibuang Kunti dalam suatu nasib sedih, engkau tumbuh sebagai satria yang dikhianati. Kau bukan cucuku, karena itu aku mencintaimu.”

            Saya menangkap tanda (atau lebih tepat, mengharap) yang lebih hebat ketika membaca sepotong kalimat di Larung, sebuah kalimat yang berat dan menjadi sumber pertengkaran di agama. Kalimat tersebut yaitu:
            “Alam tidak punya tujuan (hlm. 10).”
            Sayang bahwa kalimat ini tertinggal sebagai kalimat saja, dan cerita Larung tak berhasil menjadi cerita yang meyakinkan memaparkan betapa alam (yakni seluruh alam yang kita kenal) memang tak punya tujuan.
            Namun demikian, cerita Larung yang berliku-liku menyusuri masa silam neneknya, sampai ia membongkar dan mengobok-obok tubuh tua yang begitu mencintai kehidupan, tampil demikian mencekam. Dalam novel Larung ini juga menceritakan tentang hancurnya seorang perempuan, dan tentang perselingkuhan. Misalnya pada salah satu paragraf dari perkatan Shakuntala yaitu:
            “Kamu berbaring di sisiku dan kulihat air mengalir dari matamu ke arah rambut… seperti kepahitan dari tumpukan kekecewaan yang kamu coba sembunyikan. Kupeluk kamu.  Aku mengelus di punggung dan mencium di kening. Dan aku tidak pergi. Aku tahu kamu     belum pernah mengalami orgasme. Juga ketika bercumbu dengannya. Kini tak kubiarkan kamu menemui lelaki itu sebelum kamu mengetahuinya. Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri.”

            Tapi bagian ini bisa membantu kita bahwa perselingkuhan bukanlah cerita. Perselingkuhan mungkin adalah perasaan yang dibiarkan mengalir (Laila) atau semacam dendam masa silam yang bercampur aduk dengan aspirasi religius (Yasmin). Dititik ini pengertian tentang perselingkuhan menjadi tidak lagi memadai. Pengertian tersebut hanya datang dari pihak luar, bukan suara hati dari yang mengalami.
            Dibagian kedua Larung, penulis bisa dikatakan mereproduksi, dengan kekuatan yang menurun, apa yang sudah dituliskannya di novel Saman. Dibagian ketiga, ia mempertemukan Larung dan Saman dan menghadirkan peristiwa-peristiwa politik, lengkap dengan diskusi disekitarnya. Peristiwa dan diskusi politik ini bisa kita peroleh lebih baik, lebih rinci dan lengkap ditempat lain. Reproduksi Saman memang membuka ruang untuk “mendidik” para lelaki hidung belang yang dengan naif mengira bahwa hanya kaum laki-laki yang bisa memperalat dan bereksperimen dengan bermacam lawan jenis sekaligus, untuk mencari isi hati terdalam perempuan. Dibagian ketiga Larung, juga bercerita tentang “pendidikan”. Pendidikan itu mengambil bentuk pada ejekan terhadap perwira tinggi yang mengira dirinya seorang hebat tapi sebenarnya cuma seorang yang memperoleh kedudukannya dengan menipu. “Pendidikan” lain diarahkan kepada para aktivis muda, yang penuh dengan keinginan berkorban dan ketidaktahuan akan kegagalan atau rasa sakit.
            Beberapa hal, termasuk bertemunya Larung dan Saman, terasa tidak cukup meyakinkan jika dilihat dari keseluruhan cerita yang sudah tersusun sebelumnya. Orang memang bisa mempertanyakan kemasukakalan plot dibagian ini: bagaimana mungkin Saman, Larung, dan Anson, dan tiga aktivis mesti bertemu di Laut Cina Selatan, misalnya? Pertemuan mereka semua bukanlah resiko yang wajar dari apa yang sudah diceritakan sebelumnya.
            Jika dibagian sebelumnya, ceritanya bisa dikatakan agak hancur, dibagian ini, cerita itu malah menonjol kuat. Yang kita temukan adalah gambaran umum tentang tentara korup yang sebenarnya pengecut dan aktivis muda kiri yang sombong. Tokoh-tokoh baru yang muncul bukan lagi karakter yang kompleks dan mendapat penilaian umum, tapi tokoh-tokoh satu sisi. Untung bahwa gaya bertuturnya yang mirip cerita petualangan ini, dikerjakan cukup baik dan pembaca masih bisa merasakan ketercekaman sampai ke halaman akhir.
            Karakter-karakter baru yang dimunculkannya sungguh bisa menjadi bahan bagi novel besar lain, andai saja penulis bersedia untuk bertekun menggarap dan mengembangkannya. Dari sana dapat diharapkan tampilnya teks dengan tokoh-tokoh yang lebih dalam, lebih hidup dan kompleks. Bisa juga dikatakan, pada Larung, ada unsur-unsur luar sastra, katakan saja keterlibatan politik yang bekerja begitu dominan hingga merusak bentuk novel tersebut. Ketaksinambungan antara Larung dibagian awal dengan Larung dibagian akhir, adalah contoh bagaimana pengarang merusak bangunan novel itu, antara lain untuk memamerkan kepandaiannya bercerita dalam berbagai bentuk, termasuk bentuk petualangan (kemampuan yang memang ditunjukkan dengan sangat baik).
            Dalam novel Larung ini, terkadang sampai terasa bosan untuk membacanya. Tetapi, karena pengarang adalah seorang penyihir, ia mampu membuat saya tetap memegang novel ini hingga habis dalam waktu dua hari saja. Sebuah akhir yang tidak terduga, sekaligus sebuah momen puncak kemenangan yang seolah ingin terus diabadikan sehingga harus berakhir demikian.
            Ayu Utami memang bukan penulis biasa menurut saya. Pendekatan penulisannya sangat bagus. Cerita disampaikan dengan gaya yang bermacam-macam. Dari penuturan tokoh, catatan harian. Fakta-fakta yang berserakan pada akhirnya dirangkai menuju sebuah kesimpulan.
            (1). Tema utama dari novel tersebut adalah perlawanan terhadap budaya patriarki dan budaya yang mentabukan perbincangan soal seks dan seksualitas (2). Amanat atau maknanya dari novel ini adalah : a. Seks dan seksualitas harus menjadi wacana dialogis yang tidak perlu diperbincangkan dan ditutup-tutupi. b. Seksualitas tidak boleh menjadikan wanita sebagai penghibur laki-laki atau menjadi masyarakat kelas dua. c. Kekuasaan dan kekerasan harus dihentikan agar masyarakat dapat hidup secara demokratis. d. Agama hendaknya harus paham terhadap keadaan dan kondisi manusia penganutnya, agama sejatinya membebaskan bukan malah mengekang manusia. (3). Alur atau plotnya dalam novel ini bermacam-macam. Pada bagian pertama dan kedua pengarang menggunakan alur pemikiran. Artinya yang dipentingkan adalah pemikirannya dibandingkan dengan tokoh dan alurnya. Sedangkan pada bagian tiga pengarang menggunakan alur maju (progresif) yang terdiri dari beberapa tahap yaitu : pengenalan, tahap pengawatan, tahap puncak atau klimaks, tahap peleraian, dan tahap penyelesaian. (4). Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah: Larung, Saman, Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, Yasmin Moningka, Sihar Situmorang. Teknik pelukisan tokoh dan penokohan dalam novel ini menggunakan teknik dramatik atau teknik tidak langsung. (5). Latar yang digunakan pengarang dalam novel ini meliputi latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat misalnya, Jakarta, New York, Selat Philip; latar waktu, misalnya tahun 1996, 1 Juni 1996, 27 Juli 1996; latar sosial menyangkut status sosial tokoh dan keadaan atau situasi sosial ketika peristiwa dalam cerita ini terjadi. Status sosial tokoh, misalnya, kelas menengah ke atas dan situasi sosial, misalnya, keadaan politik era orde baru. (6). Sudut pandang novel ini pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama. (7). Gaya bahasanya menggunakan gaya bahasa langsung, gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa yang dipakai seolah-olah berjiwa, hidup, dan segar sehingga dapat menggetarkan hati pembaca atau pendengar. Pemilihan kata dalam sebuah novel berkaitan erat dengan bahasa kias yakni sarana untuk mendapatkan efek puitis dalam novel tersebut. Jadi unsur-unsur  instrinsik di atas digunakan untuk membangun suatu karya sastra yang utuh.

Profil Penulis:
Nama              : Amirah Diniati
NIM/ BP          : 00103 /2008
Jurusan           : Pend. Bahasa Indonesia dan Daerah
TTL                 : 29 Januari 1990
Alamat             : Komp. Singgalang B V No. 2 Tabing Padang
Kota Asal        : Bukittinggi
No. Telepon     : 081266350974

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog