Selasa, 03 Januari 2012

Essay 29 (Kritik Sastra)




MATERIALITAS DALAM DAUN-DAUN BERDZIKIR
Oleh Suci Amanda Septia

NOVEL Islami tentang persoalan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, yang bisa diatasi dengan cara menebar cinta itulah salah satu karya yang diciptakan oleh Taufiqurrahman Al-Azizy. Beliau pernah membaca sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa jihad yang terbesar dalam hidup adalah jihad melawan hawa nafsu. Hawa  nafsu yang selalu menyuruh pada keburukan, yang selalu memerintah pada kejahatan, yang selalu memaksa hati pada kemungkaran. Seperti hasrat pada umumnya, hawa nafsu selalu menghendaki agar dia dipenuhi. Semakin dipenuhi, semakin merasa harus dipenuhi lagi. Dan begitulah seterusnya.
Nafsu sulit sekali dipisahkan dengan cinta, sehingga sebagian orang menganggap bahwa keduanya-nafsu dan cinta-sangat sulit dipisahkan. Di dalam nafsu, kata mereka ada cinta. Dan didalam cinta, terdapat nafsu. Apakah masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan, sementara kita sebagai muslim selalu saja diajarkan oleh kebenaran yang mengatakan bahwa cinta itu suci karena berasal dari Dzat Yang Maha Suci?.
Karena pertanyaan itulah, kisah ini diangkat oleh beliau. Diawali dari perjalanan singkatnya ketika pulang ke Pedalaman Boyolali, menginjakkan kaki di desa sebelah, dan menikmati alamnya yang belum banyak berubah. Dukuh Gagatan, nama Dukuh tersebut, yang digunakan menjadi tempat kisah ini muncul. Gagatan menimbulkan kenangan tersenderi dibenaknya, khususnya tentang kesederhanaan warganya dan tentang anak-anak mudanya.
Ditengah ketenangan dan kedamaian kehidupan warga Dukuh Gagatan, tiba-tiba muncul ide dalam dirinya untuk menulis kisah yang mengerikan. Tentang cinta dan persahabatan. Tentang kesederhaan dan kemewahan. Tentang ketulusan dan kepura-puraan. Tentang harga diri dan kehormatan. Cinta dan persahabatan yang dimunculkan dalam kisah ini adalah terhadap persoalan cinta dan persahabatan yang akhir-akhir ini semakin bercampur dengan hawa nafsu. Masalah perbedaan status sosial, kaya dan miskin, tampan dan tidak tampan, semuanya menjadi alasan untuk menimbang cinta dan persahabatan.
Sering sekali kita mendengar bagaimana ada laki-laki yang bunuh diri karena patah hati? Ada pula perempuan yang melakukan hal yang sama karena patah hati? Apakah itu cara terakhir dan terbaik demi bisa mengatasi hati yang patah karena cinta? Memilih cinta atau persahabatan? Memilih orang yang kaya untuk menjadi idaman masa depan, atau orang yang baik dihadapan Tuhan? Serta ada pula pemuda-pemudi yang menggunakan cara jahat agar cintanya bersambut, seperti mereka mendatangi dukun atau paranormal untuk meminta bantuan demi bisa meraih cinta dan hasratnya.  Pertanyaannya, apakah seperti ini muda-mudi islam?
Dengan maksud menundukkan perkara pada tempatnya, bersikap adil menurut keadilan Ilahi (Islam), dan mengajak sahabat-sahabat muda untuk mengatasi persoalan cinta dan persahabatan yang akhirnya harus berakhir pelik, maka Taufiqurrahman Al-Azizy menulis kisah ini. Sebuah kisah tentang lima orang muda-mudi kota yang tengah mengadakan penelitian di Dukuh Gugatan, yang membawa mereka pada petualangan pikiran, hati, dan perasaan, tentang makna cinta yang sejati.
Menurut saya, ini adalah sebuah novel religius sangat inspiratif yang akan menuntun kita menemukan cinta berlandaskan kecintaan kepada Sang Maha Cinta. Karena hanya berbekal cinta kepada-Nya, hidup anda akan bahagia. Sekalipun cobaan terus menghantam, anda akan tetap teguh tegar, menatap dunia dengan optimis. Inilah kesaksian daun-daun pun berdzikir karya novelis muslim kawakan, Taufiqurrahman al-Azizy. Novel ini menceritakan seseorang yang telah bersahabat sangat lama, tapi hubungan persahabatan mereka terputus karena masyarakat sekitar beranggapan bahwa mereka mempunyai rasa cinta satu sama lainnya. Haydar dan Shofi telah lama bersahabat. Rasa sayang yang mereka punyai hanya rasa sayang terhadap sahabatnya. Tapi semua orang dikampung beranggapan mereka berdua pacaran, sehingga ibu Shofi melarang Shofi untuk bertemu dengan Haydar.
Materialitas yang dapat diambil dari novel daun-daun berdzikir ini adalah disaat Bram, seorang pemuda yang datang dari kota yang bermaksud melakukan penelitian dikampung jatuh hati pada Shofi, padahal banyak wanita dikampung itu mendambakan cinta seorang Bram, tapi Bram hanya mencintai Shofi. Tapi sayang, perasaan Bram tidak sama dengan Shofi, dia tidak mencintai Bram. Tidak hanya itu, cinta Bram pada Shofi telah diketahui oleh ibu Shofi dan ibu Shofi pun menyetujui cinta Bram pada Shofi. Dan ibu Shofi pun tidak tanggung-tanggung memarahi Shofi saat Shofi berusaha menetang ibunya tentang perasaannya pada Bram. Ibunya membanding-bandingkan Bram dengan Haydar, yang membuat Shofi tidak sanggup untuk mendengarnya. 
Pada saat ibunya Shofi membanding-bandingkan itulah adanya materialitas tersebut. Materialitas yang ditunjukkan oleh ibunya Shofi dengan cara lebih memprioritaskan harta dari pada agama. Dibanding dengan Haydar, Bram jauh lebih kaya, mapan, ganteng, pemuda yang berasal dari kota, berpendidikan dan baik. Sedangkan Haydar, pemuda itu baik, dan kuat agamanya tapi bila dibandingkan dengan Bram, sangat jauh perbandingannya. Haydar pemuda kampung yang paling miskin, pendidikannya hanya sampai kelas 6 SD.
Dalam novel ini, ibunya Shofi lebih setuju pada Bram karena dia kaya sedangkan Haydar adalah pemuda yang miskin. Kekayaan telah membutakan mata ibu Shofi bahwa Haydar jauh lebih baik dari pada Bram. Walaupun Haydar pemuda yang miskin tapi dia punya agama yang sangat kuat yang telah dia warisi dari ayahnya. Harta itu dapat dicari tapi agama yang berasal dari dalam jiwa itu sangat sulit dicari.
Tapi pada akhirnya Bram tersadarkan oleh perkataan Kiyai Ali yang menyebutkan sebelum kita mencitai orang lain kita harus membuat diri kita agar dicintai oleh Allah. Dengan perkataan tersebut, Bram merubah gaya hidupnya yang jarang shalat dan membaca Al-Quran, Bram belajar tentang agama kepada Kiyai Ali dan bukan itu saja, ia juga merubah penampilannya. Setelah semua itu ia lakukan, Bram berencana untuk pamit dan meninggalkan kampung itu. Bram menemui Shofi dan orang tuanya dan Bram meminta maaf pada Shofi dan kedua orang tua Shofi lalu dia permisi pamit. Mendengar perkataan yang diucapkan oleh bram tersebut, Shofi tersadar bawa ia juga mencintai Bram. Disaat Bram akan melangkahkan kaki untuk meninggalkan kampung itu, ia pun mendengar ada seseorang yang memanggilnya dan mengatakan ”karena Allah, aku pun mencintaimu,”ucap suara itu yang tidak lain dan tidak bukan keluar dari bibir Shofi.
Bram tidak dapat berkata apa-apa dan dia menarik nafas dalam-dalam. Sebuah suara yang sangat dirindukannya. Sebuah suara yang dicarinya selama ini kemana-mana. Sebuah suara yang menghentikan langkahnya, memejamkan matanya, mendebarkan detak jantungnya, menggemetarkan persendian tubuhnya. Sebuah suara yang tidak diduga-duganya. Akhir cerita novel ini sangat diluar dugaan, ternyata dengan melihat perubahan diri seorang Bram, Shofi menjadi tertarik pada Bram, padahal dulu Shofi tidak ada perasaan apapun pada Bram. Allah lah yang mengerakkan hatinya untuk mecintai Bram. Dan pada akhirnya shofi menerima Bram untuk menjadi pendamping disepanjang hidupnya.



RIWAYAT PENULIS
Nama : Suci Amanda Septia
NIM         : 04513/2008
Tempat/Tgl lahir : Jakarta/26 september 1989
Hobby : Nonton, Menari, Baca Novel
Cita-cita         : Jadi Dosen.
Alamat : Jalan Kubutanjung No 101, Tigobaleh Bukittinggi.
Motto         : Hidup adalah Perubahan Untuk menjadi yang terbaik.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog