Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 26 (Kritik Sastra)



CINTA, SEKS, DAN AGAMA DALAM SAMAN KARYA AYU UTAMI
Oleh Fitria Mailisda

KARYA sastra membicarakan manusia dengan segala kompleksitas persoalan hidupnya, maka antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra.
Karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya.

Oleh karena itu, isi dari suatu karya sastra biasanya tidak terlepas dari realita-realita yang ada dalam kehidupan masyarakat dimana pengarang itu berada. Fenomena dan peristiwa-peristiwa yang yang terjadi dalam kehidupan manusia terbaca oleh kepekaan hati serta pikiran pengarang dan terserap ke dalam batin dan jiwanya. Kemudian fakta-fakta itu diolah melalui proses fiksionalisasi sehingga menghasilkan suatu cerita rekaan yang tidak jauh dari kenyataan hidup yang ada. Jadi, karya sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang didalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan, perasaan, imajinasi, serta spekulasi mengenai manusia itu sendiri.
 Karya sastra juga disebut sebagai aktivitas psikologis, yaitu terlihat pada saat pengarang melukiskan watak dan pribadi tokoh yang ditampilkan atau dihadirkan. Melalui tokoh-tokoh inilah  seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan persoalan-persoalan atau konflik dengan orang lain ataupun konflik yang terjadi dengan dirinya sendiri. Jadi, terlihat di sini bahwa pengarang memegang peranan penting dalam penciptaan watak tokoh yang dilukiskannya dalam karya sastra.
Demikian juga yang terjadi pada Saman karya Ayu Utami. Novel yang bertemakan perjuangan ini bercerita tentang perjuangan Saman dalam membela penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor, Saman harus menyaksikan penderitaan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum penguasa Sei Kumbang melalui aparat militer. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Keadaan ini membuat Saman terpaksa menanggalkan jubah kepastorannya dan bersama teman-temannya mendirikan sebuah LSM yang menangani masalah perkebunan.
Akan tetapi, keterlibatan Saman tersebut membuat dirinya mendapat berbagai fitnah yang dilontarkan oleh aparat militer. Para aparat militer menuduh Saman telah mengajarkan ajaran yang beraliran kiri, yang membuat mereka akan menangkap Saman. Berkat bantuan teman-temannya Saman berhasil lolos dari kejaran aparat militer dan ia melarikan diri ke New York. Meskipun berada di New York, Saman mencari informasi mengenai keadaan di tanah air. Saman digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai rasa sosial tinggi, sopan, dan religius. Ia berusaha meringankan penderitaan yang dialami orang lain. Saman membangun lembaga sosial yang dimaksudkan untuk melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kelompok sosial yang lebih kuat terhadap kelompok yang lemah. Usaha tersebut akhirnya berhasil, tetapi hanya untuk beberapa saat saja.
Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja yang dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka. Saman menceritakan tentang persoalan antara perempuan dengan seksualitas. Jika laki-laki tidak pernah merasakan ada persoalan dengan seksualitasnya, perempuan sebaliknya, karena seksualitas perempuan selalu dipertanyakan jika dia ingin terjun ke sektor publik. Laki-laki dapat dengan lugas dan terbuka mengungkapkan hasratnya dan tentu saja tidak ada orang yang akan mempertanyakan termasuk pasangannya.
 Namun apa yang terjadi dengan perempuan. Untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja perempuan menemui kendala. Hal ini  terlihat dalam Saman, yaitu bahwa perempuan memiliki hasrat yang sama dengan laki-laki dan itu bukanlah sesuatu yang buruk. Saman berhasil menggambarkan pemberontakan hak seksual perempuan untuk menggunakan bahasa tubuh.
Novel Saman sangat menarik untuk dibaca karena membahas tentang perilaku seksual tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh tersebut yaitu Cok, Yasmin, Saman, Shakuntala, Upi, dan Laila. Cok mempunyai perilaku immoralitas. Yasmin mempunyai perilaku immoralitas dan perzinaan. Laila mempunyai perilaku perzinaan. Shakuntala mempunyai perilaku biseksual dan immoralitas. Upi mempunyai perilaku masturbasi dan mengalami perilaku perzinaan. Selain itu, novel yang berlatarkan di New York, di Pabrik Kilang Minyak di Lepas Pantai Laut Cina Selatan, dan di Indonesia ini juga meyajikan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan cinta kasih antara pria dan wanita, orang tua dengan anak, antar sesama manusia, dan hubungan seks antara pria dan wanita.
Saman merangkum persoalan seks dan perempuan, menggambarkan perempuan apa adanya, dan semua didefinisikan secara vulgar. Perempuan dalam novel Saman sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria. Bahkan perempuan juga bisa bertindak melebihi laki-laki. Hal ini dapat kita lihat pada saat Saman sebagai laki-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok. Saman menjadi buronan karena kegiatan-kegiatan LSMnya.
Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dan mengirimnya ke New York. Proses pelarian ini cukup berbahaya, bahkan Saman mengakui “Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap ketegangan sebagai petualangan.” Namun begitu, nasib perempuan masih saja mendapat ketidakadilan. Contohnya adalah Upi, gadis Lubuk Rantau yang menderita kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk merawat orang-orang seperti Upi dan juga tidak ada perlindungan hukum serta keadilan untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya, dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan mereka. Melalui tokoh Samanlah, pengarang mengkritik keadaan ini. Saman membuat rumah perlindungan yang lebih bagus untuk Upi dan selalu memikirkan keselamatannya hingga akhirnya ia mulai jatuh hati pada gadis itu.
Selain itu, novel Saman juga menceritakan mengenai perjuangan seorang pemuda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang ditindas oleh negara melalui aparat militernya. Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam novel itu antara lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin yang merupakan empat sekawan. Mereka muda, berpendidikan, dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam mendefinisikan seksualitas perempuan.
Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa beban. Dalam novel ini, pengarang mencoba memberikan gambaran mengenai realitas kehidupan dengan berbagai macam persoalan yang terjadi pada kehidupan manusia modern. Dalam karyanya, pengarang menampilkan tokoh wanita yang cukup banyak jumlahnya. Demikian juga pelukisan watak yang disandang oleh tokoh tersebut, sehingga tokoh ini mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Demikian pula dengan tokoh wanitanya sangat mewakili kehidupan para wanita zaman sekarang.
Pada novel ini, pembaca akan mendapat nuansa lain tentang cerita kehidupan bermasyarakat.  Pilihan kata yang digunakan dipilih dengan sangat teliti. Jalinan kalimat yang digunakan juga terkesan sederhana, bebas, dan apa adanya. Tidak hanya itu, ide pokok cerita yang ditampilkan juga sangat orisinil, meski tidak berada jauh dari kehidupan yang dijalani masyarakat sehari-hari. Bahasa yang digunakan memiliki nuansa sastra yang tinggi sehingga agak sulit dipahami. Selain itu, alur bolak balik yang sedikit agak membingingkan pembaca. Namun begitu, di sanalah letak tingginya nuansa sastra pada novel tersebut.
Dengan demikian, untuk memahami cerita tersebut, kita harus membacanya berulang kali. Berkualitas atau tidaknya seorang pengarang bergantung pada karya yang diciptakan. Semakin sulit sebuah karya sastra dipahami, semakin tinggi jiwa seni seorang pengarang. Selain itu, untuk mengungkapkan kritiknya, dalam novel ini pengarang juga menggunakan gaya bahasa yang khas hingga kata demi kata terangkai dengan indah. 
Bagi saya, novel Saman karya Ayu Utami ini sangat menarik dan enak untuk dibaca karena banyak sekali memberikan pelajaran berharga. Selain itu, amanat yang disampaikan juga tidak terhitung banyaknya. Untuk memperoleh pesan-pesan tersebut, tentu saja kita harus membaca dan memahami isi ceritanya. Hanya itu yang dapat saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Jika ada pihak yang tersinggung atau merasa terganggu dengan kehadiran tulisan ini mohon dimaafkan karena tidak ada manusia yang luput dari dosa. Sekian dan terima kasih.



Profil Penulis:
Fitria Mailisda, terkenal sebagai cewek pendiam dan pemalu ini lahir di Sikapak Hilir, 17 Mei 1989 dan besar di Pariaman. Merupakan anak bungsu dari pasangan Tarmizi Rahim (Alm.) dengan Siti Adamsir Djamal. Memiliki kepribadian manja, pemalu, melankolis. dan pendiam merupakan ciri khasnya. Ia berhasil menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 26 Sikapak Hilir. Tercatat sebagai murid yang cukup berprestasi dan disayangi guru-guru. Sering mengikuti berbagai perlombaan, seperti lomba cerdas cermat, lomba membaca puisi tingkat sekolah, tilawah, dan lain-lain.
Kemudian melanjutkan sekolah ke SMP negeri 1 Pariaman dan SMA 1 Pariaman. Namun, keberaniannya untuk mengikuti lomba-lomba mulai padam. Hal ini mungkin diakibatkan karena banyaknya saingan. Merasa kurang yakin akan kemampuan, telah menghantarkannya ke lembah kegelapan. Dia berubah menjadi seorang anak yang pendiam dan penakut. Kelemahan terbesar dalam hidupnya, yaitu kurang mampu mengemukakan pendapat di depan umum. Sekarang Fitri sedang menjalankan studi di Universitas Negeri Padang, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah pada semester lima.
Gadis yang menyukai tokoh Bollywood, Preity Zinta ini sangat membenci yang namanya ”dicuekin dan dipojokkan”. Bercita-cita ingin menjadi seorang guru yang profesional dan disayangi banyak orang serta dapat membahagiakan orang tua, kakak, dan seluruh orang yang ia cintai.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog