Hati Bunda
Oleh
Mella Sari
Ku tarik tubuh rentaku dari kasur
empuk yang di kirimkan oleh Anita beberapa bulan yang lalu. Ku arahkan
pandanganku pada jam dinding yang menunjukan pukul empat kurang seperempat, jam
tua itu sering membohongiku dengan ketidakakuran jarumnya yang kadang lebih
cepat atau malah lebih lambat namun aku sangat menyayangi jam pemberian
almarhum suamiku. Untuk memastikan pukul berapa sekarang, kuraih jam weaker
yang teronggok apik di meja di samping tempat tidur, “oh ternyata baru pukul
setengah empat”. Langakah kakiku kuarahkan menuju kamar mandi yang berada di
dapur, kubasuh mukaku dan mulai menyalakan api kompor Hook yang biasa ku pakai
untuk memasak sehari-hari.
Entah kenapa, aku berjalan menuju
sebuah kamar kosong yang lama telah di tinggal pemiliknya. Ya, Anisalah pemilik
kamar itu. Anisa putri bungsuku yang begitu manja padaku dan mengikuti kemanapu
aku pergi.
“Anisa, bangun nak! Sahur dulu,
nanti keburu imsak,” perlahan kubuka pelan pintu kamar itu dan memenggil gadis
kecilku itu untuk bangun. Seketika itu juga hatiku pilu saat melihat kamar itu
kosong tanpa ada penghuni. “Oh Tuhan kenapa begini,” aku membatin, aku sadar
Anisa jauh dariku tapi rasa kesepian yang begitu besar sebagai seorang ibu
telah membuatku lupa bahwa aku hanya sendiri di rumah ini.
Kupandangi gulai ikan yang tadi baru
kupanaskan, perutku yang kosong tak mampu memberontak melawan pikiranku yang
lebih kosong. Dulu saat Anita, Zikri dan Anisa masih berada di rumah tua ini,
mereka akan berebutan gulai ikan buatanku ini. Tak penting bagi mereka kalau
makanan ini adalah makanan dipanaskan kembali, yang penting bagi mereka adalah
untuk sahur perut terisi dan mereka akan berbagi. “Astagfirullah, kenapa jadi
melamun begini bisa keburu imsak.”
Angin terasa dingin saat kuberjalan
pelan menuju mesjid yang tak jauh dari rumah. Kembali aku teringgat akan
putra-putriku saat melihat seorang ibu muda berjalan menuju mesjid dan diiringi
anak-anaknya. Sama seperti beberapa tahun yang lalu, saat buah hatiku masih
dalam asuhanku dan mengiringiku menuju mesjid. Masih terngiang di telingaku
ocehan mungil mereka. “Zikri nggak mau biarin bunda jalan sendirian, diluar
masih gelap bunda,” Zikri memberi alasan saat kusuruh tetap dirumah karena dia
masih mengantuk. Saat itu dia masih delapan tahun, dia masih terlalu kecil.
“Tuhan, salahkah aku mengiginkan
mereka lagi, walaupun tugasku sebagai seorang ibu telah selesai”. Hati
menjerit, aku tak bisa menahan bendungan ini, meneteslah butir-butir bening
dari sudut mataku. Kuhela nafasku dalam-dalam, kubaca niatku dan kubasuhi muka
dengan air suci. Aku berharap, dengan menghadapmu ya Allah di subuh damaimu
ini, ku kan mendapatkan jawaban atas kegelisahan hatiku.
***
Mesjid mulai ditinggalkan jemaah
satu-persatu, tapi aku masih bersimpuh dalam dzikir. Air mata yang mengalir
seakan tak mau berhenti mengalir. Aku masih ingin di sini, jika aku pulang ke
rumah hatiku akan kembali sedih. Tak ada seorangpun yang menyambutku saat
dirumah, aku sendiri tanpa buah hatiku. Begitu lama aku menghabiskan setengah
waktuku di mesjid ini, kulirik jam dinding di tiang mesjid yang menunjukkan
pukul sepuluh seperempat. Ku putuskan untuk mengambil wudhu dan sholat dhuha
setelahnya aku pulang.
***
“Nek Idha mau dibantu?” seorang anak
kecil berniat membantuku yang dari tadi terlihat kesushan membuka kunci pintu
rumahku.
“ Iya silakan nak pintu ini memang
bandel dari dulu,” dengan tergesa anak kecil itu memutar-mutar kunci dan
terbuka sudah pintu rumahku
“Terimakasih nak kamu baik sekali,”
kataku sembari mengusap rambut pirang anak kecil itu.
“Kata mama, di bulan puasa harus
banyak berbuat baik. Saya pulang dulu ya nek,” sambung anak itu sembari
meninggalkanku yang masih terpana dengan kata-kata terakhirnya. Kata-kata yang
tak asing di telingaku, kata-kata yang dulu juga keluar dari mulut putra
kesayanganku. Zikri masih kecil ketika itu, dia baru belajar berpuasa dan aku
menyuruhnya selalu berbuat baik. “Kata bunda, Zikri harus banyak berbuat baik,”
kata-kata itu terucap dari bibir mungilnya saat memberikan baju biru kesukaanya
untuk disumbangkan. Rasanya baru kemarin saja hal itu terjadi, tapi sekarang
Zikri sudah tumbuh menjadi pria gagah yang mengejar cita-citanya.
Kurebahkan tubuhku pada kursi tua
yang jika diduduki kursi itu akan berdengik.
Aku tersenyum
lagi, ingatanku kini terarah pada putri bungsuku. Dia akan tertawa
sejadi-jadinya jika mendengar bunyi dengikan yang keluar dari kursi ini. Entah
apa yang lucu baginya, umurnya masih dua tahun saat kursi ini dibawa suamiku
dari tempat kerjanya. Anisa akan tertawa pada apa saja yang di anggapnya lucu
walaupun tak lucu. Namanya juga balita. Saat itu juga Anita dan Zikri
berlomba-lomba membuat bunyi dengikan pada kursi itu, agar adiknya tertawa dan
bagi mereka tawa Anisa adalah kelucuan yang juga membuat mereka terkekeh-kekeh.
Lamunanku lagi-lagi buyar oleh suara
telfon yang berdering dari ruang tengah. Akupun mengatur nafasku sebelum
mengangkat ganggang telfon. “Asalamaualaikum,” jawabku.
“Waalaikumsalam, ini Anita Bunda.
Tadi Nita telfon ke Handpone Bunda kok nggak di angkat?” suara gadis di
seberang sana sangat kukenal, anakku Anita. Seketika itu juga perasaanku
bercampur aduk, antara senang dan galau. Kenapa tidak? Anita sangat sibuk
sekali dengan tugasnya sebagai Bidan belum lagi mengurus suami dan anak-anaknya,
jarang sekali dia menelfonku tapi ada apa ini?.
“Bunda kan dari dulu bilang, nggak
bisa pake handpone yang kamu beliin,” sautku. “Gimana kabarmu? Kenapa tumben
sekali menelfon,” Aku bertanya sekedar melepas rasa gundah di hatiku. Di suatu
sisi aku sangat rindu pada putri sulungku itu, tapi di sisi lain ada sedikit
kekesalan di hatiku. Bagaimana tidak? sudah lama dia tidak memberi kabar padaku
dan sudah lima tahun pula putra-putriku tidak mengunjungiku. Biasanya mereka
mengunjungiku saat hari lebaran dan saat aku berulang tahun entah keberapa.
“Kabar Nita baik Bunda, maaf ya
Bunda Nita baru bisa menelfon sekarang, Nita kangen Bunda,” suara Nita seperti
merayuku agar aku tak marah, masih tak berubah.
“Kangen tapi kok nggak pernah ngasih
kabar, sekurang-kurangnya menelfon lima atau sepuluh menit saja kan tak susah,”
belaku.
“Bunda jangan marah ya, Nita
benar-benar sibuk Bun, Nita usahain lebaran ini pulang ya, tapi Bunda jangan
marah lagi,” kali ini rayuan Nita benar-benar meluluhkan hatiku.
“Bunda nggak marah, cuma sedikit
kesal anak Bunda nggak ada yang ngasih kabar, Bunda kan juga kangen sama
kalian,” balasku memberi alasan berharap Nita berusaha untuk pulang ke sini,
kerumah tua ini.
“Iya, nanti Nita usahain dapat tiket
lebih cepat. Bunda Nita nggak bisa lama-lama nelfon masih banyak kerjaan.”
“Ya sudah, usahakan dapat tiket ya
nak, ingat lebaran empat hari lagi. Salam buat suamimu dan cucu bunda.”
Akhirku. Begitulah jika Nita menelfonku,
selalu tergesa-gesa dengan alasan kerja, kerja, kerja.
***
Kembali kurebahkan tubuhku pada
kursi kenangan ini, hatiku masih resah dalam kerinduanku pada buah hatiku yang
tak kunjung datang menengokku. Anita dulu pernah mengajakku untuk tinggal bersamanya.
Biar aku tidak sendirian dirumah ini dan aku juga bisa sesekali di kunjungi
Zikri disana. Anita tinggal bersama suaminya yang bertugas di Jakarta,
sedangkan Zikri juga tinggal di Jakarta namun tugasnya di DPR membuatnya jarang
di rumah. Aku tak mau meninggalkan bahkan menjual rumah yang susah payah
dibangun oleh mendiang suamiku. Rumah ini sangat berati bagiku. Kubesarkan
anak-anaku di rumah ini. Aku ingin menghembuskan nafas terakhirku disini,
itulah sebabnya aku memilih untuk tidak ikut mereka.
Pandanganku terhenti cukup lama pada
sebuah kelender yang bergambarkan foto keluarga. Kalender itu menujukkan bulan
dan tanggal hari ini. Dengan menyipitkan mata kulihat kalender itu dekat-dekat.
Ada tanggal yang dilingkari dengan tinta merah, tanggal itu adalah besok. Di
kalender yang dikirimkan oleh Anisa beberapa bulan lalu tertulis, ‘Ulang Tahun Bunda Ke-60 Love U Bunda’.
“Oh Tuhan, putri bungsuku,” hatiku kembali menjerit sedih. Tulisan yang dibuat
Anisa membuatku rindu akan senyum manis dan tingkah manjanya.
Diantara ketiga buah hatiku Anisalah
yang paling manja padaku. Kemanjaanya semakin menjadi-jadi padaku setelah
ayahnya meninggal dunia. Usia Anisa masih terlalu kecil untuk kehilangan kasih
sayang dari ayahnya, dia baru lima tahun. Anisa masih membutuhkan ayahnya kala
itu, dia lebih dekat dengan Mas Adi ketimbang aku. Masih juga kuingat isak
tangisnya sehari setelah kematian Mas Adi. Dia mencari-cari ke seluruh sudut
rumah tapi tak menemukan Ayahnya. Hatiku seperti disayat-sayat belati. Aku tak
bisa berbuat apa-apa selain memeluk gadis kecilku itu dan disaat itu juga
kulihat kedewasaan dan ketabahan Anita sebagai seorang kakak. “Dek, jangan
nangis terus ya, nanti ayah di surga jadi sedih lihat adek nangis. Adek nggak
mau lihat ayah senang?” kata-kata Anita bagai menghapus segala kesedihan Anisa.
Gadis kecil itu diam di pelukku. Aku berjanji pada diriku untuk membesarkan
mereka hingga mereka menjadi seperti apa yang aku dan Mas Adi harapkan.
***
Suara azan membangunkanku yang tertidur di kursi tuaku. Aku letih dengan
hidupku ini sampai kapan aku harus menuggu hal yang tak pasti, menuggu buah
hatiku yang tak kunjung kembali kepelukanku. Apa mereka akan kembali lagi atau
mereka akan kembali saat aku telah terkujur kaku tanapa nyawa dan hanya tangis
sesal yang akan mengantarkanku ke peristirahatan terakhirku. Pertanyaan itu
terus-terus menggerayang di hati kecilku. “Ah sudahlah”
***
Kembali kubasuhi wajahku yang kaku oleh air mataku sendiri. Kugelar
sholat dengan niat yang masih sama yaitu jawaban atas kegalauan hatiku. Dalam
sujudku tak henti-hentinya bendungan yang telah hancur ini mengaliri butiran
bening. ”Ya Allah, tubuhku telah renta. Sudah lama aku hidup di bumimu ini,
telah kubesarkan anak-anakku sesuai perintahmu ya Allah. Mereka kini telah menjadi
umatmu yang beriaman dan berilmu, jika benar tugasku sebagai seorang ibu telah
selesai maka aku ikhlas menemui ajalku. Hanya ini keinginanku, ampunilah dosaku
dan dosa buah hatiku biarkanlah aku berjumpa dengan mereka sebelum engkau
memangilku ya Allah. Amin ya robbal alamin”.
Kututup mataku dengan kedua telapak tanganku. Sejenak aku terpaku dengan
keadaan seperti itu. Banyak bayangan yang terlintas dibenakku, bayangan
putra-putriku dan bayangan Mas Adi. Pikiran buruk kembali mengerayang
dibenakku. “Mas Adi, mungkin tak lama lagi aku kan menyusulmu,” kata-kata itu
melintas dipikiranku. Kesepian, kerinduan dan kesendirian membuatku putus asa.
Membuatku menyerah pada nasibku sebagai seorang ibu tua yang telah renta.
***
“Kringg...,” dering telepon membuatku terhenyak dari sujudku. Segeralah
aku beranjak dari sudut sujudku. ”Asalamualaikum Bunda,” sapa suara yang tak asing lagi bagiku.
“Waalaikumsalam Nak. Anisa ya?”
“Iya Bunda. Bunda apa kabar?” suara Anisa membuat perasaanku sama seperti
saat aku mendapat telepon dari Anita. “Kabar Bunda baik, kamu kenapa baru
nelepon Bunda? nggak ingat sama bunda ys?” aku mulai menaikan nada bicaraku
pertanda kekesalanku.
“I’m sorry Bunda. Nisa lagi
masa-masa ujian di sini, jadi belajar Nisa diperketat,” jawab Nisa menjelaskan
alasanya.
“Oh, terus kamu nelepon Bunda ada apa? Bukannya nelepon antar negara tu
mahal Nak?” aku bisa memahami kenapa Nisa jarang sekali menghubungiku. Bukan
karena sibuk atau banyak pekerjaan tapi karena biaya nelepon antar negara mahal
sekali. Anita pernah ingin membelikanku laptop agar bisa berhubungan dengan
adiknya Anisa tanpa takut kemahalan, tapi aku tak bisa mengunakan barang-barang
canggih seperti itu. Mengunakan HP saja tanganku kaku apalagi itu yang namanya
laptop. Aku bukanlah nenek gaul seperti kebanyakan wanita sebayaku yang tinggal
di kota besar.
“Nisa kangen sama bunda, tadi Nisa sudah nelepon bang Zikri minta
dikirimi uang buat beli tiket pulang, kan sebentar lagi Bunda juga ulang
tahun,” rengek Nisa tanpa mempedulikan perkataanku masalah mahalnya biaya
telepon.
“Apa kamu sudah libur? lalu Zikri bilang apa?” tanyaku lagi. Aku ingin
mempersingkat waktu agar Nisa tak menghabiskan uang sakunya untuk meneleponku.
“Nisa sudah libur dari kemaren Bun. Kata bang Zikri dia usahain cari duitnya,
bang Zikri juga bilang mau pulang. Dia dapat jatah libur satu minggu,”
jelasnya. Apa yang dikatakan Nisa membuat hatiku begitu bahagia, Darahku
berdesir dan aku terdiam sesaat. Ternyata anak-anaku masih mengingatku dan
berusaha pulang ke padaku setelah lima tahun tak bisa pulang. Aku menyesal
sekali telah berfikiran buruk pada anak-anakku. Aku merasa sangat berdosa.
“Bunda masih disana kan?” panggilan Nisa mebuyarkanku yang larut akan
perasaan sesalku.
“Ya nak, Bunda masih disini. Apa kamu benar-benar bisa pulang nak?
Australia ke Indonesia nggak dekat,” tanyaku.
“Nggak masalahlah Bunda. Sudah lama Nisa nggak pulang. Nisa libur juga
lama kok, sekitar dua minggu jadi Nisa bisa lebih lama di rumah,” jawab Nisa.
“Bunda harap kamu dapat kiriman lebih cepat ya. Sudah tutup teleponnya
nanti kemahalan kamu bayarnya.”
“Ya Bunda. Asalamualaikum,” Nisa mengakhiri.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
***
Betapa bodohnya aku befikir buruk pada mereka. Sesunguhnya mereka juga
sedang berusaha dengan nasib mereka sendiri. Anita bekerja keras untuk
keluarganya. Sikap tanggung jawabnya dari dulu tak bisa lepas dari pribadinya,
bahkan dia selalu berusaha membahagiakanku. Zikri berusaha keras mengejar
cita-cita menjadi pemimpin. Itu sebabnya aku membiarkan dia pergi ke Jakarta dan
sedikit-demi sedikit dia telah mengapai apa yang dia inginkan. Setidaknya Zikri
menjadi pemimpin bagi saudarinya. Sedangkan Anisa, dengan biaya dari
kakak-kakaknya dia juga berjuang demi cita-citanya. Ia ingin mempelajari bahasa
dunia agar tak tertinggal dari bangsa asing. Tapi aku tak bisa pungkiri lagi,
rasa kerinduan dan kesepian membuatku merasa kehilangan mereka seutuhnya.
“Maafkan bunda,” batinku berkata.
***
Dua hari menjelang lebaran. Aku mulai membuat sarang ketupat yang nanti
akan ku masak jadi ketupat. Makanan kesukaan anak-anakku. “Tapi kenapa mereka
belum datang juga?” pikirku. Aku tak boleh berpikiran buruk lagi. Kutinggalkan
pekerjaanku dan kulangkahakan kaki menuju pintu dan kuliahat suasana diluar
ramai sekali. Semua anggota keluarga sibuk mengecat rumah mereka dan para ibu
membuat sarang ketupat bersama anak gadis mereka. Aku dulu juga begitu bersama
anak-anakku. “Huff, kenapa mereka belum datang?” upatku lagi. Apa mereka tidak
bisa pulang lagi tahun ini. Mereka melewatkan hari ulang tahunku.
Rasa kesepian kembali menggerayangiku. Sekarang adalah puasa terakhir dan
nanti malam tepat malam takbiran. Mereka masih belum datang. Biasanya mereka
datang beberapa hari sebelum malam takbiran. “Oh tidak,” aku tak bisa membendung air mataku lagi.
Mungkin aku memang hanya seorang nenek tua yang kesepian.
“Tidak, kumohon jangan rasuki pikiranku lagi. Mereka pasti datang,” hatiku lagi-lagi membatin sedih.
“Tidak, kumohon jangan rasuki pikiranku lagi. Mereka pasti datang,” hatiku lagi-lagi membatin sedih.
***
“Allahuakbar Allahuakbar walilllah ilham”.
Kini harapan sudah sia-sia. Buah hatiku tak kembali ke pelukanku. Di sini
aku masih berdiri. Di ambang pintu menuggu entah sampai kapan?. Mereka masih
belum datang. Mataku jauh memandang ke jalan raya di depan rumahku. Hatiku
sangat sedih. Ini kali ke enam aku merayakan lebaran sendiri di rumah tuaku. Langkah
kakiku yang hendak masuk ke dalam terhenti saat taksi berwarna kuning berhenti
di halaman rumahku. Bukan hanya satu taksi tapi dua taksi. Inikah mereka?
“Assalamualaikum Bunda. Kami pulang,” Sapa mereka.
Seremapak ketiga anakku berlari memelukku. Mereka datang. Ya Allah engkau
kabulkan doa hamba. Anita, Anisa dan Zikri serta kedua cucuku Zifa dan Zaki,
mereka kini di pelukkanku.
“Bunda maaf ya kami datang terlambat. Susah dapat Tiketnya. Pada penuh
Bun,” kata Zikri sambil menyalamiku.
“Iya Bunda penerbangan Nisa sempat ditunda karena cuaca buruk,” si bungsu
ku ini tak mau kalah berceloteh.
“Nggak apa-apa, yang penting kan kalian pulang. Ayo masuk Zifa sama Zaki
juga ayo di dalam nenek ada ketupat,” ajakku.
“Ya nek,” balas mereka.
“Bunda, maaf Mas Bobby nggak bisa datang. Dia juga pulang ke Jogja
kerumah orang tuanya,” jelas Anita saat kutanyai kenapa suaminya tidak datang.
Alhamdullilah ya Allah. Terimakasih engkau kabulkan segala doa hamba.
Kini buah hatiku telah pulang kembali padaku dan ini akan menjadi hari yang
benar-benar fitri bagi hamba. Dan hamba tak akan gundah lagi. Hamba tak akan
begitu sedih jika suatu hari nanti engkau memanggil hamba. Aku akan ikhlas demi
putra-putriku ya Allah.
Profil Penulis:
Mella
Sari
terlahir sebagai anak ke- 3 dari Kasmaboti.
Sebuah
desa di pinggiran kota Padang merupakan saksi bisu kelahiran gadis ini. Dua puluh satu tahun yang silam gadis ini terlahir
ke dunia fana, 22 Januari 1990. Gadis munggil nan periang menjalani hidup
dengan motto “Bermental Besi Bertekat Baja”.
Lesuik, Begitulah teman-teman memanggilnya. Semasa
Diniyah Puteri ia pernah menulis cerpen dan terpilih sebagai juara harapan 1 tingkat
Kodya Padang Panjang. Bakat itu ia lanjutkan dengan kuliah di jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang. Pernah aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Sastra dan Seni, sekarang dia aktif di Badan Eksekuti Mahasiswa (BEM) FBS UNP.
Gadis yang menyukai warna kuning dan jeroan ini
merupakan jebolan MAN 2 Padang. Semasa di MAN ia tetap menulis walaupun hanya
untuk disimpan dalam buku hariannya. Hidup selalu dijalaninya dengan ceria dan
penuh semangat. Ia selalu hidup dengan motto hidupnya. Jalin kerjasama dengan
penulis HP 085274616919 atau email: Iya.spongebob@yahooo.co.id.
0 Komentar:
Posting Komentar