Selasa, 03 Januari 2012

Essay 45 (Kritik Sastra)



PERKARA SIANG DAN MALAM YANG SANGAT  
MEMBINGUNGKAN DALAM CALA IBI
Oleh Novia Okta Viari  

CALA Ibi merupakan tulisan yang sulit dicerna atau dipahami, aplagi seperti saya yang pemula dalam membaca novel seperti Karay Nukila amal. Nukila melikiskan makna dari pengalaman manusia yang memang tidak sederhana, berhasil menunjukkan bahwa pengalaman manusia itu sesungguhnya tidak logis, tapi metaforis seperti mimpi. Akan tetapi itulah yang menarik dari cerita ini, menguak kisah dibalik semua  mimpi-mimpi yang terjadi.
Cala Ibi karangan  adalah sebuah novel yang memperkarakan hakikat nama, dari peristiwa, dan cerita, maya dan nyata, diri dan ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu sendiri. Novel ini berkisah tentang satu tokoh dalam dua dunia yang berbeda. saat pagi datang, sebagai Maya dengan kesibukannya layak wanita karir di Jakarta. Namun bila malam telah tiba namanya bukan lagi Maya tapi Maia. Dalam malam-malam itulah Maia dibawa sang Naga (cala ibi) menembus batas ruang dan waktu mengarungi lautan mimpi tak bertepi.
Namun sejauh yang saya pahami, Cala Ibi mengungkapkan berbagai macam makna-makna, perlambang yang jalin-menjalin, dan juga tanda-tanda, yang kita jumpai saat kita mencoba memahami misteri, peristiwa, rahasia alam semesta. Satu makna bisa mengandung makna yang lain, demikian pula dengan pertanda, lambang, konsep, penjelasan. Satu makna mungkin perlu diulang-ulang, untuk membuat kita paham dan untuk mengingatkan. Cala Ibi kadang seperti menjelaskan asal muasal pengetahuan manusia, epistimologi. Manusia dapat belajar dari rasio dan juga imajinasi bahkan mimpi. Keduanya saling melengkapi, dua sisi kesadaran manusia. Pertanda, makna, perlambang dapat muncul dari mana saja. Kita harus menajamkan rasa, mencerap semua pengalaman.
Yang menarik sebenarnya adalah cara penceritaan Nukila yang simbolik, kompleks, dan syarat dengan permainan kata, dengan bahasa-bahasa liris, padat dan metaforis membuat novel ini demikian  rumit dan menguras pikiran. Menurut saya pengarang ini adalah wanita yang pintar ia pandai meramu kata hingga berpendar, memancar, menjangkau berbagai makna. Seperti punya sumber yang tidak habis-habisnya. Seperti ketika ia menceritakan sekumpulan pekerja…, di hotel  berbintang
“Wajah-wajah. Jeruji-jeruji dari duka lara, membujur turun dari dahi ke dagu, dari maskara ke gincu, berbedak kebanggaan tebal-tebal, mengubur luka dalam-dalam. Mengerumuni kenyamanan, mencandu kesibukan. Aku melihat kaki-kaki mereka berseliweran, sepatu-sepatu tidak berdebu”.
Nukila berhasil melukiskan bagaimana makna dari pengalaman manusia yang memang tidak sederhana, berhasil menunjukkan bahwa pengalaman manusia itu sesungguhnya tidak logis, tapi metaforis seperti mimpi. Pada bagian pertama Bapak menamaiku, ibu memimpikanku,  Novel ini diawali dengan cerita biografis tentang asal usul Maya dari keseluruhan cerita tentang kehidupan Maya di Jakarta. Nukila menggunakan kata ganti orang pertama “aku” untuk subyek Maya. 
Dibagian lain ketika Maya telah berubah nama menjadi Maia, Nukila menggunakan kata ganti orang kedua “kamu atau kau” untuk subyek Maia. Demikian seterus nya novel ini mengalir bolak balik antara Maya di siang hari dan Maia di malam hari, Maya yang bermimpi menjadi Maia yang resah menunggu terbitnya pagi sempurna.
Dalam novel ini saya cukup suka dengan tokoh utamanya, Maya, digambarkan sangat rasional sebagaimana ayahnya. Bersama rasionya, Maya mengalami kebekuan, kebuntuan. Ia terjebak dalam rutinitas pekerjaan dan terkurung di kota Jakarta yang digambarkan telah sangat tidak manusiawi. Menurut saya, novel ini sangat kaya, meskipun tidak menganut cara bercerita yang biasa. Seperti tuturan seseorang yang sedang merenung, tercenung, menyelam ke dalam, berjalan-jalan sendiri dan sering juga bicara pada diri sendiri. Meskipun banyak dari pemakaian kata-kata yang kurang saya mengerti tapi pada inti dari novel ini sendiri sangatlah menarik. Ketika memperdebadkan arti sebuah nama yang di anggapnya tidak penting. Meskipun begitu ia sadar sejarah yang ada di balik namanya itu.



RIWAYAT PENULIS
Novia Okta Viari  seinsan wanita yang lahir di Bali tanggal 9 Oktober 19 tahun yang lalu. Di besarkan di pulau Tiara Dewata, Bali sampai menginjak usia 8 tahun. Lalu melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di Kupang, NTT. Kemudian kelas 5 SD pindah ke Sumatera Barat (Kenagarian Muaro Bodi, Kab. Sijunjung).
Di Sijunjung itulah ia menamatkan pendidikan sampai SMA, dan sekarang menduduki bangku perkuliahan di Universitas Negeri Padang. Perempuan yang satu ini suka mendengarkan musik disaat hati sedih ataupun senang. “Besikap baiklah kepada orang yang telah menyakiti kita, serta kita harus maju dalam prestasi dan tauladan dalam prilaku”, itulah Motto hidupnya.

Essay 44 (Kritik Sastra)



SAMAN DALAM SAMAN
Oleh Yowanda Kalsum

MEMBACA Saman barangkali adalah membaca kemungkinan sebuah sisi manusia. Manusia dengan belenggunya sendiri. Setidaknya, dalam perspektif Ayu Utami yang mendedah karakteristik Saman dalam novel Saman.
Di dalam Saman, gambaran kaum intelektual seperti Saman dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, serta seorang pastor yang seharusnya membimbing umatnya ke jalan yang benar, malah melakukan perzinaan dengan seorang wanita “Yasmin” yang merupakan isteri dari orang lain. Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek.
Kehidupan Saman digambarkan penuh belenggu. Penuh kontradiksi; di satu sisi sewaktu kecil ia telah merasakan hal yang begitu aneh bagi anak- anak seumurannya, selalu dihantui oleh suara tangisan bayi yang sebenarnya sosok bayi itu tidak ada, di sisi lain ia merasa aneh saat Ibunya hamil, bayi Ibunya selalu hilang sebelum lahir pada waktunya di dalam kandungan Ibunya.
Ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang pastur di tempat ia pernah menghabiskan masa kecilnya, yaitu di Perabumuluih (Palembang). Ia memutuskan untuk membantu Upi seorang gadis yang memiliki keterbelakangan mental, yang membuatnya terjebak dalam situasi yang sangat genting. Di satu sisi ia harus membantu warga perkebunan untuk mempertahankan perkebunan mereka yang membuat ia berada posisi yang sangat berbahaya, di sisi lain ia memang harus melakukan semua itu lantaran agar Upi bisa dirawat secara layak oleh keluarganya dengan biaya perkebunan yang dianggap sudah mulai membaik.
Ketika memutuskan untuk kabur ke luar negeri (New York), dengan bantuan teman- temannya ia sama sekali merasa tidak bahagia. Ia merasa bersalah terhadap teman- teman yang telah ia tinggalkan di Perabumuluih, karena mereka harus menderita menanggung beban tanpa keterlibatan dirinya. Di sisi lain, ia harus meninggalkan Indonesia karena itu adalah jalan yang terbaik yang harus ia tempuh pada saat itu. Benar- benar berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menggunakan pilihan.

Begitu juga dengan rasa bersalah yang bergelantung di hatinya terhadap Bapak di Jakarta. Ia telah membuat Bapaknya sulit menyesuaikan harapan dengan keputusan- keputusan yang diambilnya. Ia telah membuat keturunan Bapaknya berhenti saat ia memutuskan untuk menjadi seorang pastor. Bahkan sekarang Bapaknya jauh lebih merana akibat pemberitaan yang menuding dirinya dengan sangat tidak adil. Sebab ia tahu, orang tua selalu merasakaan kesusahan anaknya dengan berlipat, terlebih-lebih Bapaknya tidak mengetahui keberadaannya pada saat ini.
Di sinilah tragik cerita yang rumit itu. Rumit bersebab Saman harus melangsungkan kehidupan di luar negeri di (New York) dengan membawa rasa bersalah yang begitu besar terhadap teman-temannya yang telah ia tinggalkan di Perabumuluih serta Bapak yang harus menderita akibat pemberitaan-pemberitaan yang selalu menuding anaknya dengan sangat tidak adil. Sementara itu, ia tidak berhenti memendam angan-angan untuk bisa bertemu degan pujaan hatinya “Yasmin” yang telah membuat dirinya menjadi seorang intelek serta seorang pemuka agama  yang tidak bermatabat di mata masyarakat banyak. Serta menghancurkan kepercayaan masyarakat banyak terhadap kaum intelek, yang sebenarnya mungkin tidak semua kaum intelek berbuat seperti yang dilakukan oleh Saman.
Pembangunan cerita dilakukan Ayu dengan cukup dramatis. Hampir di sepanjang kisah, Ayu memperlihatkan konflik dalam diri Saman. Melalui gambar-gambar scenik yang filmis (yang kerap melompat berpindah ruang dan waktu) dan lewat teknik bercerita berbentuk monolog interieur, Ayu mendedah betul detil benak Saman dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga seolah Ayu hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia yang tengah dibacanya, sehingga Saman yang memang ada itu teridentifikasi dengan seksama.
Juga Ayu dengan cerdas memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bertaburan dalam benak Saman secara berulang-ulang. Bahkan juga lewat permenungan di benak Saman. Seperti pertanyaan: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, ternyata Tuhan tidak selalu adil, dsb. Dan oleh Ayu, daftar pertanyaan yang mengindifikasikan kegelisahan jiwa (manusia-manusa yang dihadapkan pada zaman yang mulai beranjak melaju dengan cepat sebagai era modern-kontemporer) itu, ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah dicari jawabannya. Tidak serta merta gampang ditemukan pemuasnya yang meredakan, menentramkan.
Seperti Saman yang harus melarikan diri ke luar negeri (New York) dengan bantuan empat orang temannya, ternyata tidak menjadikan Saman lantas merasakan kebahagiaan sejati. Belenggu bagi Saman tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah berada di tempat yang aman untuk keselamatan dirinya, ia dibelenggu oleh angan-angannya untuk kembali ke negaranya Indonesia, bahkan keinginan yang kuat untuk bertemu dengan pujaan hatinya.
Sejalan dengan modernisme dan gagasan kebangsaan, ide aktivis mulai banyak dibaca dan dikaji oleh masyarakat banyak pada masa itu. Dari tokoh Saman, bisa menjawab keingintahuan masyarakat bagaimana bentuk kehidupan seorang intelektual yang merangkap sebagai seorang aktivis dan pastor.
Dalam Saman, seorang pria yang disiratkan Ayu melalui Saman adalah seorang intelek yang memutuskan untuk menjadi seorang pastor namun harus memutuskan harapan Bapaknya untuk mendapatkan keturunan darinya. Di sisi lain ia telah membantu seoarang gadis yang yang memiliki keterbelakangan mental serta membantu warga perkebunan agar tidak diperbodoh oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, yang menyeret dirinya masuk ke dalam situasi yang membahayakan dirinya sendiri. Dan disaat ia memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri ia malah sempat berzina dengan salah seorang temannya yang sudah memiliki suami.
Jelas di sini bahwa ketidakmungkinan menggunakan pilihanlah yang menerbitkan belenggu pada Saman, menjadi perkara utama yang mendorong Saman menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis.
Ulasan atas belenggu agaknya penting dikemukakan. Yang mempertanyakan gambaran Saman yang didedah Ayu dalam Saman yang ditampilkan begitu dahsyat. Benarkah ia serendah itu, serapuh itu jiwanya, sejatuh itu moralnya? Tentu masyarakat tidak suka melihat yang demikian itu. Namun, pembaca harus memandang diri sendiri, benarkah seperti yang dilukiskan itu. Sebab, pengarang akan membuat manusia kenal kembali akan dirinya, agar mau mengkritik dirinya sendiri atau zelfcorectie. Itulah yang mau dikemukakan pengarang. Manusia supaya mengenal dirinya kembali untuk memperbaiki dirinya.
Akan halnya pungkasan cerita yang dibuat menggantung bagi Saman (pada akhirnya tidak ada tempat untuk ia pegang, semua terlepas, ia harus mencari), hal ini merupakan gambaran orang di zaman pancaroba. Atau Saman yang hidup dalam ambiguitas terperangkap antara sikap yang individualistik dan pandangan sosial. Ia berada dalam satu dilema disebabkan oleh sikap yang ambigu. Ia sadar semua yang dilakukannya selalu bertentangan, tapi harus dilakukannya.
Barangkali kita bisa menyebut Saman sebagai “romantika gelap gulita”, sebab membaca Saman mungkin dapat melemparkan pembaca pada kondisi kekosongan jiwa yang labil. Namun realitas tokoh Saman itu memang beranjak dari realitas faktual, betapa pun hendaknya masyarakat hendak mengelakkannya. Tidak berlaku hanya pada masa- masa itu saja.
Saman menyodorkan realitas masyarakat Indonesia yang sebenarya dibelenggu oleh dirinya sendiri kita masih mudah menyaksikannya di sekitar kita, jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, imajinasi yang pendek. Hingga zaman berlari begitu kencang seperti saat sekarang ini, karakteristik Saman  ternyata masih ada, belum lerai juga bila bukan kian sengit dan kuat keberadaannya, sebab makin tampak samar dan wajar saja semua belenggu itu kini kita dapati.
Wallahu alam, ketidakberdayaan untuk mengambil sebuah keputusan pada situasi yang sangat genting, memang sesuatu pilihan yang sangat sulit untuk diambil. Namun sebaiknya dengan iman yang dimiliki sebaiknya janganlah membawa kita ke dalam lubang yang menyesatkan, seperti halnya berzina. Semua itu bisa membawa pandangan yang negatif dari kalangan masyarakat terhadap kalangan intelektual apalagi Saman yang juga merangkap sebagai seorang pastor.
Jadi dapat disimpulkan, belenggulah yang mendominasi karakteristik Saman. Belenggulah yang membuatnya untuk tidak bisa mengambil keputusan yang sangat penting di dalam hidupnya. Karena belenggulah yang menyebabkan ia masuk ke dalam kehidupan yang penuh problematis. Yang menyebabkan ia harus terdampar ke luar negeri (NewYork), membuat Saman merasa bersalah terhadap teman-temannya yang ia tinggalkan di Perabumulih, membuat Bapaknya tersiksa terhadap pemberitaan yang memberitakan ketidakadilan terhadap dirinya.
Karena hidup yang penuh problematis, telah membawa Saman keluar dari sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang yang begitu religi. Ia menganggap bahwa Tuhan tidaklah adil, karena Tuhan tidak menolongnya keluar dari masalah yang sedang ia hadapi. Padahal suatu masalah yang sedang dihadapi akan menghasilkan jalan keluar yang membawa kita bahagia pada waktunya.
Begitulah Saman, belum terlalu mengerti dengan arti kehidupan, karena kehidupan adalah sebuah pilihan.



RIWAYAT PENULIS
Yowanda Kalsum  lahir di Solok (Sumbar) tanggal 20 Juli 1991. Biasa dipanggil Wanda, yang saat ini berusia 19 tahun. Merupakan anak ke dua dari tiga orang bersaudara, dan berkampung halaman di Nagari Muaro Paneh, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok.
Setelah menyelesaikan masa kanak- kanak di TK Al- qur’an Nurul Usmany Muaro Paneh Kabupaten Solok (1997), masa anak- anak di SDN 01 Muaro Paneh Kabupaten Solok (2003), masa ABG di SMPN 1 Muaro Paneh Kabupaten Solok (2006), dan masa remaja di SMAN 1 Muaro Paneh Kabupaten Solok (2009), sampai akhirnya diterima di perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Negeri Padang (UNP) pada saat ini.
Diterima sebagai mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) pada Jurusan pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni. Saat ini sedang menjalani semester tiga (semester ganjil), dalam membuat esai satra sebagai tugas dari mata kuliah Kritik Sastra.

Essay 43 (Kritik Sastra)



RESINTENSI SPIRITUALITAS NOVEL BILANGAN FU KARYA AYU UTAMI
Oleh Yunita Andriana

MANUSIA cenderung untuk melakukan hal-hal baru. Namun, sesuatu yang lama tidak begitu saja ditingggalkan. Itulah resistensi. Bahwa setiap zaman, selalu terdapat tarik ulur di antara gaya hidup konvensional dengan ghaya hidup modern. Gaya hidup pada tataran ini menyangkut segala bentuk tata cara dan perilaku manusia pada umumnya. Satu diantara tata cara itu ialah pada laku spritualitas, yakni bentuk-bentuk ketaatan keagamaan. Laku spritualitas ini juga tidak terlepas dari adanya resistensi. Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami, menyajikan bentuk resistensi spiritualitas di dalamnya. Makalah ini akan mengkaji resistensi spritualitas tersebut dengan pendekatan sosiologi sastra.
Resisitensi selalu muncul dalam kehidupan manusia. Itu menjadi hal yang wajar mengingat manusia selalu mencari hal-hal baru. Namun, di tengah pencariannya itu, keinginan untuk meninggalkan yang telah ada, juga tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Atinya, selalu ada tarik-ulur dalam mempertahankan nilai-nilai budaya lama dengan keinginan untk menerapkan nilai-nilai budaya baru. Itulah yang kemudian menimbulkan resistensi yakni sebuah perlawanan. 
Bentuk-bentuk perlawanan dalam kehidupan manusia, mengewajantah ke dalam karya sastra. Itu tidak terlepas dari kehadiran pengarang sebagai anggota masyarakat. Artinya, bentuk-bentuk resistensi yang terjadi dapat dimasukkan ke dalam karya sastra. Itu juga berarti bahwa pengarang menjadi mediator dalam penyampaian gagasan (resistensi) antara dunia real (kenyataan) dengan dunia rekaan (sastra). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat (Endraswara, 2004:77). Maka, tidak ayal bahwa karya sastra menjadi cerminan realitas sosial.
Resistensi yang terjadi dalam karya sastra, kali sering dikaitkan dengan hubungan sosial, baik itu menyangkut hubungan antar personal, personal dengan lembaga, maupun antyar lembaga. Maka, kajian sosiologi sastra menjadi pendekatan yang sangat tepat. Tidak lain, itu disebabkan bahwa dalam sosiologi, fokus pembahasan yang dijadikan objeknya ialah interaksi sosial. Itu berbeda dengan kajian antropologi sastra yang lebih menengahkan kajian artefak budaya sebagai objek kajiannya.
Bilangan Fu karya Ayu Utami merupakan karya yang sarat dengan muatan interaksi sosial. Satu diantaranya ialah tentang interaksi antara tokoh Kupu-kupu dengan tetua desa. Interkasi diantara keduanya terjadi resistensi, yakni penolakan satu sama lain tentang laku spritualitas. Makalah ini akan membahas resistensi perilaku diantara kedua tokoh tersebut dengan pendekatan sosiologi sastra.
Perlawanan tidak sekadar terjadi pada tataran fisik, namun terjadi juga pada tataran ideologis. Pada dunia seni rupa, resistensi fisik dapat diamati dari perubahan-perubahan pakem dalam penggarapan ruang dan bidang grafis. Lahirnya karya-karya seni rupa dalam bentuk-bentuk absurd dan kontemporer merupakan sebuah contoh adanya resistensi fisik. Selain itu pula, resistensi ideologis pun terjadi di dalamnya, yakni hadirnya pemaknaan-pemaknaan baru lewan bentuk-bentuk baru. Bentuk-bentuk baru itulah yang merupakan ide resistensi.
Pencapaian perlawanan tidak sekadar pada proses penolakan begitu saja. Namun, masih ada proses penegndapan di dalamnya. Artinya, diperlukan semangat untuk berubah pada kondisi yang dialami. Maka, ketika keinginan itu telah mencapai puncak, resistensi pun muncul.
Kehidupan spritualitas, kali sering melahirkan resistensi-resistensi baru pula. Pencapaian ibadah yang sekadar mengikuti aturan-aturan baku, kali sering dianggap kurang meningkatkan keimanan. Maka, ditempuhlah cara-cara yang dapat meningkatkan kadar keimanan. Dan pada konteks ini, penentuan cara dilakukan dengan jalan berpikir reflektif. Artinya, terjadi proses dialog antar diri sendiri. Dan pada sebagian orang, inilah yang dinamakan wahyu.
Kelompok-kelompok ini menjadikan kepercayaan keagamaan sebagai landasan kehidupan sosial. Mereka mengatur sstem objek dan sistem simbolnya sendiri ketimbang diatur oleh sistem-sistem objek dan gaya-gaya hidup yang bersumber dari diskursus kapitalisme. Mereka membentuk bahasa estetis sendiri, ketimbang mengikuti dunia glamour fashion dan komoditi mode. (Piliang, 2006:308).
Pengaruh resistensi spritualisme itu pada akhirnya tidak jarang menimbulkan sikap fanatisme sempit. Artinya, menganggap bahwa bentuk spritualistas yang baru, sebagai sebuah bentuk kekufuran. Tidak lain itu diakibatkan pada pemaknaan teks (budaya) yang menganggap kebakuan ialah yang telah diwarisi oleh nenek moyang. Maka, ketika terjadi proses budaya yang tidak mengikuti cara-cara yang telah diwariskan oleh nenek moyang, kekufuran pun dicap kepada mereka yang menolak. Di sinilah interaksi sosial mengalami pertentangan. Hubungan harmonis pun dapat menjadi pudar dengan sendirinya. Tidak lain, itu diakibatkan sikap egosime mempertahankan ideologis spritualitas yang dipegang teguh.
Spritualisme pada konteks ini, menjadi sebuah gaya hidup. Tidak lain itu disebabkan tata cara dalam berperilaku pada konteks-konteks tertentu, dimaknasi sebagai gaya hidup. Gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu (Chaney, 1996:41).
Kisah dalam Bilangan Fu diceritakan dari perspektif Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang gemar bertaruh, bersikap skeptis, sinis dan melecehkan nilai-nilai masyarakat. Tetapi menurut Yuda, sang narator, kisah ini ditulis ulang oleh seorang penulis yang dikenalnya di acara Ruwatan Bumi, yang tidak lain, adalah Ayu Utami, penulis novel ini (hlm. 463).
Mengambil seting utama daerah di selatan Jawa, daerah Sewugunung dengan perbukitan gamping bernama Watugunung, Ayu Utami memperkenalkan Yuda, seorang pemanjat tebing yang menggunakan pemanjatan artifisial dalam aktivitasnya. Ketika membuka jalur pemanjatan baru di Watugunung, Yuda bertemu dengan Parang Jati, warga Sewugunung yang hendak mengadakan penelitian arkeogeologi di perbukitan gamping ini. Parang Jati dilanda kekuatiran akan nasib pegunungan gamping 
Watugunung yang akan habis suatu hari gara-gara penambangan kapur dan penebangan pohon yang tidak terkendali. Parang Jati yakin, akan tiba saatnya orang akan kehilangan pemandangan indah Watugunung, geolog kehilangan dokumen, pemanjat kehilangan tebing, dan masyarakat kehilangan matair (kawasan gamping adalah spons alam tempat air disimpan dan disuling menjadi sumber-sumber air jernih). Parang Jati tidak ingin Watugunung mengalami nasib yang sama dengan Bukit Citatah.
Bagi Yuda, Watugunung adalah Batu Menyanyi. Di bagian hidung Watugunung, ada sebuah lubang tebing yang menyiulkan angin dengan suara magis dan syahdu, seperti fu, alat musik orang Asmat. Yuda menamakan tebing itu sebagai Sebul yang menjelma makhluk cantik bertubuh manusia dengan kepala dan kaki serigala yang menyebabkan Yuda ketindihan dan mimpi basah.
Tetapi Parang Jati membuka mata Yuda bahwa Watugunung laksana vagina raksasa. Maka, Yuda harus menggunakan cara lain untuk 'ibundanya' dan bukannya memaku dan mengebor seperti yang dilakukan Yuda di ranjang dengan kekasihnya, Marja. Dengan kata lain, Parang Jati menghendaki Yuda untuk mengubah agama pemanjatannya, dari pemanjatan artifisial (yang disebut Parang Jati sebagai pemanjatan kotor/dirty climbing) menjadi pemanjatan bersih (clean climbing). Bagi Yuda, hanya ada dua jenis pemanjatan, pemanjatan bersih dan pemanjatan artifisial. Pemanjatan bersih adalah pemanjatan tanpa menggunakan alat bantu untuk menambah ketinggian, sedangkan pemanjatan artifisial adalah pemanjatan dengan menggunakan peralatan untuk sesekali menderek badan ke atas. Kedua pemanjatan ini mengizinkan pemanjat mengebor gantungan pada tebing baik untuk pengamanan maupun untuk mengatrol. Tetapi pemanjatan bersih menurut Parang Jati adalah pemanjatan suci (sacred climbing), tidak ada pemanjat yang boleh melukai tebing. Dalam pemanjatan jenis ini tidak boleh ada bor, piton, paku maupun pasak, hanya boleh ada pengaman perangko, penahan, sisip, pegas, dan tali-tali ambin. Pengaman untuk jenis pemanjatan ini bahkan hanya dipasang sesuai dengan sifat batu tanpa merusaknya sama sekali. Menurut Parang Jati, sudah saatnya alam raya dikasihi. "Menyetubuhinya tanpa memaksakan diri kepadanya. Memasukinya hanya jika ia membuka diri dan membiarkan ia melahap ujung-ujung tubuh kita..." (hlm. 82).
Diawali dari perpindahan agama yang terjadi dalam diri Yuda, hubungan mereka menjadi dekat seperti saudara. Parang Jati bagaikan malaikat jatuh bagi Yuda, lelaki bermata polos seperti bidadari yang harus dibebaskan dari tanggung jawab yang ditaruh pada dirinya oleh Suhubudi, sang ayah angkat. Sesuai kehendak Suhubudi, Parang Jati tergabung dalam sirkus orang aneh yang disebut Saduki Klan di mana dia berteman dengan berbagai makhluk aneh seperti manusia gelembung, manusia gajah, manusia badak, macan jadian, manusia kadal, manusia gendruwo, tuyul, dan manusia pohon. Sementara itu, Parang Jati harus berhadapan dengan adik yang tidak pernah diketahuinya, Kupu-kupu yang telah mengganti namanya menjadi Farisi, di tengah-tengah kegemparan menghilangnya orang mati dari kuburnya-yang dianggap telah bangkit dari kubur. Dan dalam pengungkapan misteri menghilangnya orang mati yang hilang dari kuburnya, tanpa sengaja, Yuda telah menyeret Parang Jati menghadap ajal dan mengandaskan hubungan cintanya dengan Marja. 
Masyarakat memiliki sistem adat tersendiri. Dalam menjalankan proses adat tersebut, terdapat aturan-aturan khusus. Aturan itulah yang pada akhirnya menjadi sebuah struktur hirearkis masyarakat. Dan pada konteks ini, struktur tersebut tidak ubahnya dengan adat-istiadat atau norma masyrakat itu sendiri. Penolakan atau penambahan struktur yang telah tetap, dan berlangsung lama, pada akhirnya akan membawa permasalahan dalam masyarakat.Munculnya sikap konservatif dan progresif merupakan salah satu diantaranya. Pertentangan kedua sikap itulah yang kemudian menimbulkan resistensi.
Bagi sikap konservatif, pemertahanan struktur masyarakat yang telah terlembagakan, serta menjadi turunan dari nenek moyang, merupakan sikap yang patut dijunjung dan dilestarikan. Bagi sikap ini, yang menolak dan tidak mengindahkan aturan yang telah diwariskan dari nenek moyang, merupakan tindakan yang melanggar struktur. Maka, hukum masyarakat pun dapat bertindak tegas pada konteks ini. Tindakan tersebut beranekaragam menurut konvensi masyarakat.
Sikap konservatif ini dihadapkan pada sikap progresif, yakni sikap yang menginginkan perubahan. Sikap ini menjadi sebuah lawan dari sikap konservatif. Sikap progresif selalu menuntut adanya perubahan dan cenderung menolak cara-cara yang sekadar berupa warisan. Akibat sikap inilah maka kehidupan dalam masyarakat selalu menemui resistensi. Selalu ada pergokalan diantara kedua sikap tersebut.
Permasalahan resistensi dalam Bilangan Fu muncul salah satunya dari sikap pelaksanaan spritualitas. Bentuk spritualitas tersebut berupa nilai spritualitas agama Islam. Itu dapat dilihat dari tuturan dan konteks yang terjadi antara tokoh Kupu-kupu dan tetua adat. Dalam tuturan tersebut, ungkapan ‘Gusti Allah’, ‘musyrik’ dan ‘muslim’ misalnya, menjadi data bahwa konteks pritualitas yang dimaksud ialah agama Islam. Resistensi yang terjadi pada Bilangan Fu dapat dilihat dari pergolakan-dialog antara kedua tokoh tersebut. Bahwa Kupukupu dengan pengetahuan yang dimilikinya, menentang tata cara (struktur adat) dalam merawat jenasah. Bagi Kupukupu, sorang musyrik tidak perlu dirawat sebagimana jenasah orang Islam, yakni disholatkan. Di sinilah timbul resistensi. Sebab, bagi tetua adat, persoalan merawat jenasah merupakan hal yang sudah menjadi kehendak warga. Artinya, hal tersebut telah terlembagakan, menjadi budaya dan membentuk nilai sosial. 
Tapi Kupu-kupu mengutip, “Janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan jenazah orang musyrik...” “Ya, ya. Bapak ini juga tahu ayat itu,” kata penghulu Semar. “Tapi hal demikian itu menjadi pengetahuan Gusti Allah semata. Lagi pula, kita ini warga desa. Seluruh warga desa ikhlas untuk menyembahyangkan almarhum, Nak.”
“Ustadz jangan menyebut dia almarhum. Almarhum hanya untuk orang muslim. Dia telah musrik.”
Suasana menjadi tegang karena Kupu-kupu tidak mau membiarkan orang-orang bersembahyang. Diantara pelayat, aku melihat dua tiga orang yang mulai setuju pada perkataan Kupukupu, meskipun mereka tidak mau berbicara dengan keras. Tanpa pendukung pun, kekerasan hati Kupu-kupu untuk menghalangi pemakaman cukup membuat keadaan semakin genting. (Utami, 2008:97).
Struktur masyarakat yang telah terlembagakan, yakni mensholatkan jenazah, telah menjadi pemicu terjadinya resistensi. Pada satu pihak, yakni tetua adat, merupakan pihak yang berada pada posisi konservatif. Itu akibat pendapatnya mempertahankan argumen untuk menyolatkan jenasah berdasar pada perwakilan kolektif, yakni mengatasnamakan warga desa. Berbeda dengan tetua adat, posisi Kupukupu lebih kepada sikap yang progresif dengan memberi pendapat yang berbeda dengan tetua adat, yang itu berarti berbeda pula dengan sikap warga. Di sinilah resistensi itu muncul.
Resisistensi yang kemudian muncul tersbeut lebih menekankan pada aspek spritualitas. Itu disebabkan adanya nilai-nilai agama Islam yang dikemukakan. Pada kontes tersebut, nilai spritualitas yang terjadi, dalam konteks Islam, ialah tentang tasawuf dan syariat. Sebagai bentuk spritualitas Islam, tasawuf pada mulanya muncul sebagai gerakan zuhud, yaitu sikap mengingkari gejala kemewahan dan materialisme yang berlebihan dengan memperbayak ibadah (W.M., 2004:138). Tasawuf diwakilkan pada tokoh tetua adat yang lebih mementingkan sikap untuk berbuat baik kepada manusia. Dan dalam hal ini, nilai humanisme menjadi faktor kunci. Dan itu tidak terlepas dari konsep ajaran tasawuf yang lebih mengedepankan pada masalah moral. Di satu sisi, Kupu-kupu mewakili tokoh yang menekankan pada syariat Islam. Hal yang menojol tentang ini ialah dikutipnya ayat yang mengatakan tentang tidak bolehnya menyolatkan jenasah orang musyrik, “Janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan jenazah orang musyrik...”. Pada posisi inilah pemantapan pada bidang syariat menjadi hal yang menonjol.
Permasalahan resistensi ini pada akhirnya menimbulkan pertentangan fisik. Itu disebabkan tidak adanya sikap untuk saling bertoleransi. Yang ada hanyalah sikap untuk memaksakan diri terhadap idiologi dan keyakinannya sendiri. Inilah yang kemudian menjadi sesuatu yang dapat menyebabkan pertentangan. Pada hubungan Kupu-kupu dan tetua adat (masyarakat), tindakan yang terjadi hingga berupa tindakan fisik, yakni dengan cara mengobrak-abrik acara ritual adat. Ini menjadi sesuatu yang sangat disayangkan. 
Penyangan tersebut tidak terlepas dari unsur yang lebih mengedepankan pada simbol Islam yang kontadiktif. Artinya, melalui tokoh Kupukupu, Islam dimunculkan sebagai bentuk kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan diskonsepsi tentang Islam. Kekerasan yang dimunculkan ialah dengan cara menendang nyiru dan menyebabkan kepala korban terlontar dan jatuh terburai hingga terdengar orang-orang menjerit. Maka, ketika hal itu terjadi, banyak masyrakat yang tidak percata dan merasa sayang atas perbuatan seperti itu. Itulah yang merupakan bentuk diskonsepsi Islam pada akhirnya. Sebab, yang melakukan itu ialah orang-orang yang mengerti tentang syariat Islam.
Salah satu diantara mereka telah menendang nyiru dan menyebabkan kepala korban terlontar dan jatuh terburai. Terdengar orang-orang menjerit, tidak percaya bahwa sekelompok pemuda bersikap lancang terhadap upacara yang telah turun-temurun dilakukan. Ibu-ibu menyanyangkan kerajinan tangan mereka yang kini lengkat di tanah tanpa bentuk.
(Utami, 2008:142).
Akibat sikap Kupukupu yang dinilai tidak sesuai dengan struktur adat masyarat, pada akhirnya mendapat perlawanan dari masyarakat itu sendiri. Di sinilah konflik sosial terjadi. Dan konflik yang terjadi tersebut tidak sekadar pada tataran ideologis, namun telah merambah ke masalah fisik. Itu terlihat dari sikap beberapa laki-laki dengan sikap menantang Kupukupu. Sikap itu ditunjukkan oleh mereka sebab mereka merasa dihina oleh Kupu-kupu. Itu merupakan bagian dari adanya risistensi sosial. Dan dalam hal ini, resistensi yang terjadi berada pada wilayah spiritual agama. Makna spiritual agama di sini ialah pemaknaan tentang tafsir agama, yakni agama Islam.
“He, anak kecil! Kamu mau mengancam orang tua, ya!” Kini tetua Sang Resi Bima maju sambil menyingsingkan lengan sorjannya. Bersamaan dengan itu beberapa lelaki mulai memasang kuda-kuda. Resi Bima maju sambil melanjutkan petuahnya. “Dasar! Tidak tahu tata-krama. Ngaku-ngaku beragama tapi tidak punya sopan-santun!” (Utami, 2008:143).
Timbulnya bentuk perlawanan dari para pemuda yang menentang Kupukupu, tidak lain merupakan sikap mereka dalam melihat permasalahan yang berbeda. Perbedaan itu tidak diimbangi dengan sikap menghadirkan nilai-nilai tolerasni. Akibatnya, pertentangan pun muncul bukan pada tataran ideologis semata, namun juga pada tataran fisik. Ini sangat disayangkan mengingat perlawanan atau resisitensi yang terjadi berpijak pada nilai-nilai agama, yakni Islam. 
Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami ini menyajikan sebuah konsep tentang konflik masyarakat antara sikap konservatif dan progresif. Sikap konservatif ditunjukkan oleh tetua adat, sedangkan sikap progresif ditunjukkan oleh Kupukup. Kedua sikap tersebut pada kahirnya memicu terjadinya perbedaan. Perbedaan itulah yang dimaknai sebagai sebuah resisitensi.
Perbedaan sikap antara Kupukupu dan tetua adat di atas merupakan bentuk dari resistensi dalam menginterpretasikan sekaligus melaksanakan konsep religiusitas. Konsep religius itu ialah tentang pemaknaan pada agama Islam. Perbedaan tersebut merupakan sebuah resistensi yang pada akhirnya menimbulkan bentuk perlawanan fisik. Inilah salah satu dampak dari adanya resisstensi religiusitas yang tidak diimbangi dengan kemampuan untuk menempatkan nilai-nilai tolerasni.



RIWAYAT PENULIS
  Yunita Andriana terlahir di Tangerang, 4 Juni 1985. Anak pertama dari pasangan  Noer dengan Ibu Hasdiati. Ria sebagai Panggilan sehari-harinya ini berdomisili di Tangerang sejak lahir sampai tahun 1996. Kemudian pindah ke kampung halaman mengikuti orang tuanya di Payakumbuh dan melanjutkan pendidikan sampai tamat SLTA.
Setelah itu, melanjutkan pendidikan kejenjang Universitas Negeri Padang. Mendapatkan jodoh dan melangsungkan pernikahan pada tahun ke-2 dimasa kuliahnya. Namun dia tetap melanjutkan perkuliahan walaupun sudah memiliki seorang anak perempuan. 

Essay 42 (Kritik Sastra)



EMANSIPASI WANITA DALAM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
Oleh Juvrizal

NOVEL yang satu ini begitu mengharukan serta mampu membuat pembaca atau penonton ikut larut dalam rangkaian cerita yang disuguhkan oleh Hanung Bratmantyo yang berjudul perempuan Berkalung Sorban tentang perjuangan muslimah. Membaca novel ini membuat pembaca jadi penasaran lalu kemudian ingin menonton atau menyaksikan filmnya supaya pembaca lebih tahu jalan ceritanya dan adegan yang dibawakan oleh penokohannya. Di dalam isi cerita hal yang terjadi yaitu tentang seorang perempuan yang ingin dapat kebebasannya, tetapi tidak disetujui. Kemauannya itu ditentang oleh keluarganya sendiri misalnya saja ketika Annisa kecil dipilih menjadi ketua kelas, Kyai Hanan secara tidak langsung mengganti Annisa dengan murid laki-laki, juga ketika Annisa ingin belajar naik kuda layaknya laki-laki. Annisa selalu diajarkan bagaimana menjadi wanita yang bisa melayani laki-laki sehingga Annisa berpikir bahwa wanita sama sekali tidak mempunyai kebebasan layaknya seorang laki-laki.
Pemikiran ini semakin nyata ketika Annisa mendapatkan beasiswa kuliah ke Yogyakarta, lagi-lagi Kyai Hanan melarang Annisa dengan alasan tidak boleh wanita pergi keluar rumah tanpa ditemani muhrimnya. Lagi-lagi Annisa hanya bisa pasrah karena Kyai Hanan selalu menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun Hadist untuk memperkuat alasannya.
Sebenarnya ada seorang laki-laki yang selalu menghibur Annisa ketika ia sedih, laki-laki yang bernama Khudori (Oki Antara) yang masih merupakan kerabat Kyai Hanan ini ternyata lebih bijak menyikapi Annisa karena kedekatannya itulah maka timbul benih cinta antara Khudri dan Annisa. Tetapi Khudori kemudian benih cinta itu dengan pergi ke Kairo.
Sementara itu disaat penentuan jodohpun selalu diatur oleh orang tuanya sendiri, Annisa sudah ada pilihan hatinya Khudori, tapi rasa itu tidak diungkapkan Khudori, sebab Khudori ingin meraih cita-cita, kisah percintaannya itu selalu terombang-ambing. Ayah Annisa pun menjodohkan Annisa dengan pilihan Kyai Hanan yang bernama Samsudin (Reza Rahadian) anak seorang Kyai yang mempunyai pondok pesantren Salifiah besar di Jawa Timur. Ternyata Annisa tidak dapat kebahagiaan ketika bersama Samsudin yang ternyata adalah seorang yang bersifat kasar. Bahkan Annisa korban poligami yang dilakukan Samsudin.
Annisa sangat terpukul dengan perlakukan Samsudin ia ingin bebas dari cengkeraman rumah tangga yang penuh siksaan batin. Lalu dengan rasa iba dan sedih Annisa diam-diam menemui Khudori. Tetpai samsudin mengetahui hal tersebut, ketika Annisa bertemu diam-diam disuatu tempat hal tersebut diketahui oleh Samsudin. Samsudin pun memfitnah Khudori bahwa dia telah berzina dengan Annisa. Annisa dan Khudori diusir dari Pondok Pesantren. Hal ini menyebabkan Kyai Hanan sakit hingga akhirnya Kyai Hanan meninggal dunia.
Selanjutnya novel ini atau filmnya Perempuan Berkalung Sorban ini menceritakan tentang Annisa yang pergi belajar keYogyakarta setelah dia diusir dari pondok. Khudori sendiri tidak jelas berada dimana. Annisa mulai dengan kehidupan barunya dan mempunyai pekerjaan disamping sebagai penulis cerpen. Setelah beberapa lama menghilang, Khudori kembali muncul dihadapannya.
Rasa cinta itu timbul disaat Khudori bertemu Annisa. Khudori melamar Annisa. Pernikahan mereka berlangsung dan Annisa kembali ke pondok pesantren bersama dengan Khudori. Dipesantren mempunyai niat untuk mencoba membuat perpustakaan di Pondok Pesantren. Tetapi hal ini mendapatkan pertentangan keras dari kakak-kakak Annisa yang menjadi pengurus pesantren setelah meninggalnya Kyai Hanan. Lalu kemudian Annisa tetap ngotot ingin membuat perpustakaan di Pondok Pesantren. Tetapi Annisa akhirnya mengurungkan niat membuat perpustakaan ketika Khudori meninggal dalam sebuah kecelakaan. Annisa kembali ke Yogyakarta dan menjadi konsultan lembaga bantuan hukum khusus perempuan. Ternyata ada tiga santri yang kagum dengan Annisa dan menyusul Annisa ke Yogyakarta. Annisa kemudian kembali kepesantren dan berhasil mendapatkan pengakuan haknya dari kakak-kakaknya.
Pengembangan tokoh dalam tokoh sangat jelas beserta watak dan fisik yang dimilikinya. Terkadang pembaca  ikut marah, geram, kagum, semangat dan luapan emosi lainnya hadir melalui tokoh-tokoh yang diceritakan. Hanung Bratmantyo berusaha memaparkan tokoh-tokoh dalam cerita perempuan berkalung sorban ini, Hanung mencoba mengkritik pembatasan-pembatasan terhadap perempuan dalam agama Islam.
Ketegangan memuncak dialami tokoh Annisa ketika Annisa ingin melanjutkan cita-citanya tetapi ayahnya Kyai Hanan melarangnya, dan pada saat membina rumah tangga dengan Samsudin, Annisa diperlakkan oleh Samsudin rendah, kemudian pada saat Annisa ingin membuat sebuah perpustakaan di pesantren ayahnya malah ditentang oleh kakak-kakaknya.
Sebuah novel yang sarat dengan amant atas pelajaran. Pengarang mencoba memberikan pelajaran bagi setiap perempuan atas kebebasan hak-haknya yang direndahkan. Setiap kemauan anak yang bersifat positif, jangan dibedakan oleh jenis kelamin karena perempuan sudah diperjuangkan martabatnya oleh R.A Katini
Pengarang begitu teratur mengisahkan cerita ini, namun menarik untuk dibaca ceritanya. Penggambaran terhadap perjuangan seorang perempuan atas hak-haknya yang belum didapati. Pengarang berupaya memberi pencerahan baru pada pemikiran manusia yang masih suka menggangap kaum wanita rendah derajatnya.



RIWAYAT PENULIS
Juvrizal, dilahirkan di Ladang Panjang pada tanggal 10 juni 1988, sekarang sedang kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Riwayat pendidikan adalah SDN 01 Pasar Ladang Panjang, SMP N 01 Kecamatan Tigo Nagari, SMA N 01 Kecamatan Tigo Nagari. Alamat Jalan Lintas Padang Sawah Kumpulan.

Essay 41 (Kritik Sastra)



SEKSUALITAS DALAM LAILA: TARIAN PENGORBANAN
Oleh Raili Irva Dilla

DALAM cerpen Laila Tarian Pengorbanan ini terdapat cerita yang sangat menarik. Rintangan demi rintangan dilalui oleh Laila, demi kesembuhan ibunya Laila rela melakukan apapun. Laila pernah mencoba melamar kerjaan ke mana-mana dengan ijazah SMA yang dia punya tetapi iya tidak juga mendapatkan pekerjaan yang layak. Demi kebahagiaan Laila rela berkorban apapun untuk orang yang ia sayangi. Asalkan ia bisa berkumpul dan bercanda ria bersama keluarga yang sangat ia sayangi. Karena  keluarga itu sangat penting dalam hidupnya. 
Laila sedih sekali melihat ibunya sakit-sakitan. Ia sudah membawa ibunya berobat kemana-mana namun penyakit yang diderita ibu Laila tidak sembuh juga. Hari demi hari penyakit ibunya semakin bertambah parah, Laila tidak tahu harus berbuat apa lagi, Laila rela melakukan apa saja demi kesembuhan ibunya. Penyakit  yang diderita ibu Laila semakin parah, sehingga Laila kehabisan uang untuk membiyai rumah sakit ibunya. Laila bertambah bingung dan putus asa. Laila menjadi kebingungan kemana ia harus mencari uang untuk membeli obat ibunya. Karena himpitan ekonomi yang dialami Laila, ia akhirnya memutuskan bekerja sebagai pelacur dan dari pekerjaannya itulah Laila bisa membayar biaya rumah sakit ibunya.
Setiap malam Laila bekerja dari hotel yang satu ke hotel yang lain, Laila harus bekerja keras demi kesumbuhan ibu yang sangat ia sayangi. Padahal ibu Laila pernah berpesan kepada Laila “apapun yang terjadi, berjanjilah pada ibu untuk tidak terseret ke lembah hitam. Lebih baik miskin terhormat dari pada  kaya raya tapi harus menjual diri”. Tetapi apa daya demi kesembuhan ibunya Laila harus mengingkari janjinya kepada ibu yang sangat ia sayangi.
 Demi memuaskan pelanggannya Laila menciptakan sebuah tarian yang sangat menyiksanya. Tarian itu ia namakan “Tarian Pengorbanan” mengapa dinamakan tarian pengorbanan?
 Karena tarian tersebut melibatkan seluruh panca indranya dan terkadang tangan kasar pelanggannya memperlakukan Laila dengan tidak senonoh. Pelanggan Laila sering mencakar kulit Laila. Tetapi pekerjaan tersebut harus ia kerjakan demi kesembuhan ibunya harta yang sangat berharga dalam hidupnya.
Dari hasil melacur rupiah demi rupiah dikumpulkan oleh Laila untuk membayar rumah sakit ibunya, dengan perasaan bahagia membayangkan ibunya segera sembuh. Laila harus mencari uang sendiran karena ayah Laila sudah lama meninggalkan. Ayah Laila meninggalkan keluarganya karena tidak tahan melihat sakit yang diderita ibunya. Ayah Laila sangat jijik karena penyakit bisul bau dan bernanah yang diderita ibu Laila semakin hari semakin parah. Bagaimana mungkin Laila sanggup memikul beben ini sendirian, tapi dia harus kuat demi kesembuhan ibunya.
Sedangkan kakak Laila juga tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Ibu Laila menderita penyakit yang sulit disembuhkan, akibat penyakit tersebut ibu Laila harus dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang mahal. Kakak Laila yang bernama Mbak Ning sangat marah saat mengetahui Laila bekerja sebagai pelacur.
Mbak Ning menyuruh Laila berhenti bekerja sebagai pelacur, untuk menutupi biaya rumah sakit ibunya Mbak Ning menjual organ tubuhnya secara ilegal. Atas perbuatanya tersebut Mbak Ning harus kehilangan nyawanya sendiri. Laila dan ibunya sangat terpukul atas kejadian yang dialaminya, Laila tidak menyangka harus mengalami kejadian yang sangat menyakitkan ini.
Akhirnya ibu Laila juga mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, kemudian tinggallah Laila sebatang kara tanpa seorangpun yang menemaninya.



RIWAYAT PENULIS
Raili Irva Dilla lahir di Painan Kabupaten Pesisir Selatan pada tanggal 28 September 1990. Memulai pendidikan di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di Lakitan Kec. Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan. Sekarang dia sedang melajutkan studinya di perguruan tinggi Universitas Negeri Padang.

Essay 40 (Kritik Sastra)



NILAI KEPERCAYAAN DALAM MOKSA
Oleh Wahyu Saputra

KEHIDUPAN zaman edan saat ini sebagian orang banyak mengabaikan kebenaran. Bahkan banyak orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah merajalela dimana-mana, kebenaran dan keadilan sudah langka. Orang sudah tidak mengenal budaya malu, anak tidak lagi menghormati orang tuanya, dan orang tua bahkan tidak tahu-menahu tentang anaknya sendiri. Semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal, padahal semuanya telah disusun rapi oleh agamanya masing-masing. Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek kepercayaan dan keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Kepercayaan tersebut diyakini dengan mentaati, menjalani, mengaplikasikannya dalam kehidupan akan membawa hidup yang lebih baik, bahagia dalam kehidupan dunia maupun akhirat. 
Namun disisi lain, arti kepercayaan sangatlah luas. Bukan hanya hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta semata, tetapi juga adanya hubungan antara sesama makhluk ciptaan-Nya itu sendiri. Dalam keseharian kita menjalani suatu kegiatan baik itu perorangan, kelompok maupun lembaga, pasti ada tanggung jawab yang dipikul, hanya saja kapasitas tanggung jawabnya yang berbeda. Jika besar tugas yang dibebankan maka tanggung jawabnya pun besar begitu pula sebaliknya. Dalam aplikasi pertanggungjawaban akan memunculkan suatu embrio yang baru yaitu “Kepercayaan” (kepercayaan antara manusia dengan manusia). 
Di dalam cerpen Moksa buah karya Putu Wijaya ini menyajikan sebuah nilai kepercayaan itu tersendiri. Melalui karya sastranya, Putu Wijaya berhasil mengungkapkan ide dan gagasannya tentang fenomena yang sering terjadi pada kehidupan sekarang, yaitu hilangnya sikap saling percaya. Cerpen ini mengupas nilai kepercayaan dalam kehidupan keluarga, yang diperan oleh seorang dokter yang mempunyai istri dan seorang anak bernama Moksa, mahasiswi yang indekos di daerah Depok. 
Nilai kepercayaan dalam cerpen ini merupakan bentuk proposisi-proposisi umum yang bersifat abstrak. Proposisi ini dapat dikaitkan dengan proposisi suatu konteks tertentu. Misalnya hubungan proposisi antara bapak dan ibu Subianto bersifat saling menyangkal antara keduanya. Hubungan itu dapat terbangun karena proposisi keduanya dapat diakses oleh tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Terlihat dengan bahasa yang sederhana cerpen Moksa telah mengangkat tema-tema aksesbilitas, reabilitas, sirkulasi dan transmisi pengetahuan mengenai hakikat kehidupan maupun nilai kepercayaan. Mampu mengangkat tema-tema yang dapat diakses atau dipahami dengan baik oleh pembaca. Hal ini karena cerpen Moksa dalam penyajiannya menggunakan setting, tema dan konflik yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan bahasa yang singkat dan jelas. Seperti, mengangkat konflik tentang kepercayaan seorang ayah atau orang tua kepada anaknya. 
Dokter Subianto, yang berharap agar anaknya dapat terdidik menjadi anak yang lebih baik, mandiri ketika jauh dari orang tuanya. Disini sangat jelas bahwa seperti apa nilai kepercayaan orang tua kepada anaknya, karena Dokter Subianto berani melepas anaknya tinggal di daerah lain dengan jarak yang cukup jauh. Walaupun Moksa adalah seorang perempuan, namun sebagai orang tua, dia dan istrinya tetap berhati besar, baik dan sabar, serta memberi kepercayaan penuh terhadap buah hatinya tersebut.
Namun dibalik semua itu, kepercayaan yang telah diberikan orang tuanya tersebut belum bisa dipertanggungjawabkan oleh Moksa dalam kehidupannya untuk mencapai kedewasaan. Orang tuanya sangat mengharapkan anaknya bisa berhasil, sukses, terdidik, dan mendiri. Namun semua itu berkata lain, karena anaknya bernama Moksa yang indekos di daerah Depok tersebut malahan menjadi anak nakal. Hal-hal seperti ini sebenarnya banyak terjadi di dalam kehidupan nyata.
Perspektif mengenai nilai kepercayaan dalam cerpen Moksa ini terjadi diakhir cerita. Ketika pandangan seorang Ayah yang berbeda dengan anaknya. Seperti yang kita ketahui kepercayaan adalah keyakinan akan sesuatu yang dianggap sesuatu itu benar. Namun dalam cerpen ini terjadi perbedaan pandangan tentang nilai kepercayaan itu tersendiri. Hal ini terjadi diakhir cerita yang menjadi klimaks. Dokter Subianto yang sedang berusaha mengendalikan amarahnya, Moksa menemuinya untuk menanyakan apakah ayahnya marah dan masih percaya padanya. Sang ayah menjawab tidak. Namun jawaban itu tidak membuat hati Moksa lega, justru kebalikannya. Moksa menangis seketika dan ia kembali bertanya. Jawaban yang diberikan ayahnya tetap sama. Moksa mengaku malu, dan ia meminta ma’af karena ia tidak bisa menjaga kepercayaan sang ayah. Moksa berpikir bahwa ayahnya tidak akan percaya lagi padanya, namun ternyata Moksa keliru. Itulah yang membuat Moksa malu terhadap ayahnya. Kemudian Moksa meminta ayahnya memberikan kesempatan dan kepercayaan bahwa ia akan berubah menjadi lebih baik. Pak Subianto yang berprofesi Dokter tersebut akhirnya sangat senang dan setuju dengan hal tersebut.
Di sisi lain, Dokter Subianto mempunyai perbedaan pandangan tentang nilai kepercayaan dengan istrinya. Ibu Subianto tidak ingin anaknya diberikan kepercayaan karena ia takut anaknya menjadi anak yang lebih parah kenakalannya. Tetapi Pak Subianto tetap akan memberikan anaknya kebebasan dan ia percaya anaknya dapat melewati persoalan dalam hidupnya dengan kepercayaan itu. Akhirnya dia berusaha melawan keegoisan dirinya sendiri, ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. Dia tahu dengan kepercayaan Moksa dapat melawan semua itu dan kepercayaan itulah yang akan membantunya menyelesaikan persoalannya. Perdebatan mengenai perbedaan ini terjadi pada dialog seperti yang tertera di bawah ini:
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!" Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!" Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam. 
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan." Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan." 
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya.
Di dalam cerpen ini bisa kita tarik bahwa bukan hanya ma’af yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah tetapi memberinya kesempatan dan kepercayaan agar mampu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Semakin sering atau semakin banyak beban tugas yang kita pertanggungjawabkan berarti kepercayaan orang kepada kita sangatlah besar, dan itu musti kita syukuri, karena kemampuan yang besar akan melahirkan tanggung jawab yang besar. Namun bagaimana kita bisa mempertahankan suatu “kepercayaan” itu sehingga ia bisa melekat dalam diri kita? Padahal menerima suatu kepercayaan lebih sulit dibandingkan memberi suatu kepercayaan. Ketika suatu kepercayaan itu kita terima dari orang lain, maka kita musti mampu untuk mewujudkan kepercayaan tersebut menjadi sebuah rasa simpatik.
Ketika kepercayaan itu diabaikan apa yang terjadi? Mungkin satu, dua atau tiga kali orang masih mau memberikan kepercayaan lagi. Namun ketika terjadi kesalahan yang sama apakah kepercayaan itu masih bisa kita dapat kembali? Bisa dipastikan ia akan pergi bahkan akan menimbulkan rasa empati bagi orang yang memberi kepercayaan tersebut, meski suatu ketika kita melakukan hal yang benar, akan tetap minus di mata orang tersebut. Jadi betapa besar arti kepercayaan itu di mata dan hati setiap orang. Hal ini karena tidak ada orang yang mau dibohongi bahkan dikecewakan apalagi hal itu terus berulang dan kesalahan yang sama. Jadi ketika kita menerima suatu kepercayaan sudah semestinya kita mampu menjaganya, seperti kita menjaga dan merawat diri kita sendiri, sehingga ia akan menjadi sesuatu yang mulia dalam hidup. Seberapa pentingkah arti kepercayaan, itu tergantung dari seberapa besar hati kita untuk memuliakan orang lain. 
Sikap dokter  Subianto dalam cerpen ini memberi pelajaran penting sebagai orang tua. Dalam mendidik anaknya, dia menghilangkan sikap sebagai polisi yang selalu mengawasi dengan memberi modal kepercayaan, agar dapat menyelesaikan masalah dan lebih bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan anaknya sendiri. 
Begitu pula Moksa sebagai seoarang anak yang menghormati orang tua, dengan perasaan bersalah dia mulai berusaha untuk bisa menjadi lebih baik atas kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Dia tahu, walaupun setiap orang ada hak, namun juga tidak luput dari tanggungjawab dan kewajiban. Meskipun seorang anak mendapat kebebasan dari orang tuanya, seorang mahasiswa mendapat kebebasan dari dosen, seorang pejabat menerima kebebasan dari atasannya, bukan berarti semua itu tidak ada batasan. Jangan berpikir bahwa ketika seseorang hidup layak setara dan sesuai dengannya, maka ia bebas melakukan segalanya. Karena segala sesuatu  belum tentu sesuai dengan harapan kita. Oleh karena itu, sebuah masalah akan muncul bila harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Manusia hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, tetapi hidup juga untuk memenuhi kebutuhan sesama. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri manusia harus hidup dengan orang lain. Ibarat pepatah, “Hargailah dirimu sendiri sehingga orang lain menghargaimu dan berilah serta jaga kepercayaan orang lain hingga kamu menjadi mulia”.  .
Sungguh cerpen buah karya Putu Wijaya ini memberi solusi dalam membangun keluarga dengan rasa saling percaya. Keluarga akan berkualitas apabila terdapat hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak-anak, serta dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan (love and trust). Sedangkan cinta merupakan kolaborasi ketulusan dan keikhlasan, sehingga melahirkan rasa percaya dan hormat (trust and respect). Bila dalam keluarga harus terjadi perpisahan sementara untuk kebaikan keluarga atau kebaikan masyarakat, maka pada dasarnya kembalinya adalah kepada diri sendiri
Cerpen Moksa ini juga tidak berlaku asas resiprositi dan mutual benefit hubungan antara orangtua dan anak. Asas resiprositi mengajarkan bahwa kalau kita diberi sesuatu maka sudah sepantasnya berbuat hal yang sama kepada pemberi. Sedangkan mutual benefit mengajarkan kalau kita melakukan kerja sama maka harus jelas keuntungan apa yang akan didapat dari kerja sama itu. Dalam keluarga asas-asas itu tidak pernah diperhitungkan oleh orangtua terhadap anaknya. Yang ada hanyalah sikap dan perilaku ”saling”, yaitu saling mengisi, melengkapi kekurangan, menutupi kesalahan, percaya, mendukung, mengalah, tenggang rasa, pengertian, membantu, memaafkan, peduli, dan melindungi. Tanpa saling menyakiti atau menzalimi yang lain.
Menciptakan keluarga harmonis bukan hanya batu pijar terakhir dalam keluarga melainkan sebuah proses dalam konteks yang saling berkaitan antara sifat emosional, kecerdasan masing-masing individu dalam keluarga, kebersamaan dan tanggung jawab yang mereka pelihara. Dalam hal ini suami-istri yang sebagai penopang terbentuknya keluarga seharusnya menyadari apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak. Mereka menjadi tauladan bagi anak-anak mereka agar kelak anak-anak mereka mengerti bagaimana indahnya sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera tercipta. Dan suami-istri juga sebagai pendidik atau pembimbing untuk mengontrol anak-anaknya supaya mengarahkan mereka ke arah yang positif dan lebih bermanfaat, serta bagaimana cara berinteraksi dengan masyarakat sekitar agar lebih padu dan tidak ada saling ketertutupan diantara sesama. 
Dalam cerpen ini sekaligus juga mengajarkan fungsi keluarga, ialah merawat, memilihara, dan melindungi anggotanya (khususnya anak) dalam rangka sosialisasi agar anak mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Dalam lingkup keluarga sangat perlu sebagai orang tua mengajarkan anak-anaknya bagaimana kita bersifat, bersikap, bergaul dalam masyarakat sekitar tentunya itu akan membawa dampak yang positif dalam perkembangan mereka.
Kesimpulannya bahwa dalam cerpen Moksa ini, semuanya dikupas dengan isi yang pas, tajam, dan mengandung arti. Penulis mampu memberi sesuatu bagi pembacanya, seperti pengetahuan, pengalaman, kegembiraan, pandangan, untuk mengajarkan kita dalam memberi dan menerima sebuah kepercayaan dari orang lain. Hal ini menjadi sebuah renungan bagi kita semua, dibuktikan begitu besar arti sebuah kepercayaan itu sendiri. Bukan saja kepercayaan terhadap Sang Pencipta, tetapi juga kepercayaan terhadap hubungan sesama insan-Nya, baik kepercayaan dengan orang lain maupun dalam keluarga sendiri. Jadi intinya, tanpa adanya saling percaya satu sama lain, keharmonisan hidup dalam keluarga maupun sosial bermasyarakat jauh dari angan.




RIWAYAT PENULIS
Wahyu Saputra, lahir di Sungai Lintang 14 September 1987, Kecamatan V Koto, Kabupaten Muko-muko Provinsi Bengkulu. Tamat SDN 02 di kampung halamannya (1999), terus dia melanjutkan pendidikan di MTsN Agung Jaya di daerahnya (2002). Keterbatasan biaya memaksa dia menganggur untuk sementara waktu, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMAN 02 Lubuk Pinang (sekarang SMAN 05 Muko-muko) (2007).”Jika ingin mengalahkan orang lain, terlebih dahulu cobalah belajar mengalahkan diri sendiri” itulah motto hidup mahasiswa berzodiak Virgo ini. Mahasiswa yang pernah meraih juara 2 MTQ dan 1 Adzan Tingkat Remaja Se-Kecamatan Lubuk Pinang Muko-muko dimasa SMA lima tahun yang silam ini, juga pernah kuliah di AIM, AMIK, STMIK Jayanusa jurusan Diploma 1 (D1) Informatika Komputer. Sekarang dia sudah duduk di semester lima menggeluti pendidikan S.I jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang. Selain sibuk kuliah ia juga aktif berorganisasi dilingkungan internal kampus maupun  eksternal kampus UNP, antara lain, IMALIKO ”Ikatan Mahasiswa Limo Koto Muko-muko” (2008-Sekarang), DPUBKOM FKPWI FBS UNP (2008-2009), DS2I FKPWI FBS UNP (2009-2010), INFOKOM HMJ BASINDODA FBS UNP (2009-2010), dan  SKK GANTO UNP (2010-2011). Jika ingin memberi kritik atau saran, hubungi:  wahyuku87@yahoo.com.

Essay 39 (Kritik Sastra)



IDEOLOGI  DALAM  PEREMPUAN TUA
Oleh Mira Wahyuni

DI DALAM cerpen “Rintrik” (judul sebenarnya berupa sebuah gambar jantung tertusuk anak panah dan meneteskan darah). Yang dikenal dengan “Rintrik”, sebenarnya mengacu pada nama tokoh ”Rintrik” yang digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang buta. Tokoh "Rintrik" adalah seseorang yang memiliki keagungan budi dan kekuatan iman. ”Rintrik” merupakan simbolisasi dari nilai-nilai kebenaran yang dalam kodratnya harus berhadapan bahkan berperang melawan kebatilan. Itulah yang ingin diungkapkan oleh pengarangnya di dalam cerpen ini.
Kehadiran ”Rintrik” di lembah tempat pembuangan bayi-bayi manusia yang baru dilahirkan itu diibaratkan sebagai kedatangan seorang nabi atau rasul utusan Tuhan yang mengemban tugas untuk membebaskan dan memperbaiki budi manusia yang rusak. Ia sekaligus menjadi gambaran seseorang yang membawa nilai-nilai kebenaran di dalam dirinya.
Kehadiran ”Rintrik” sebagai simbol kebenaran yang betarung menghadapi kebatilan oleh Danarto digambarkan melalui keberadaan lembah yang pada mulanya dahulu merupakan tempat yang memiliki keindahan dan menakjubkan luar biasa, telah berubah menjadi tempat yang buruk, angker, dan menyeramkan. Lembah yang semula menjadi tempat tujuan orang untuk liburan, santai dari kepenatan hidup sehari-hari, kini menjadi ajang tempat pembuangan bayi-bayi hasil perbuatan keji manusia. Nilai-nilai kebatilan tergambar jelas dan utuh melalui tokoh Pemburu, sebagai antagonis di dalam cerpen ini, dan secara tersirat melalui kebejatan moral orang-orang kota yang membuang bayi-bayi hasil perbuatan mesum mereka ke lembah itu.
Keberadaan ”Rintrik” yang buta tidak lagi merupakan keberadaan manusia. Hal ini tergambar dari kemampuannya yang melebihi manusia biasa, bahkan nabi dan rasul sekali pun. Hal ini terlihat dari ucapannya kepada para petani, ketika hampir sebagian besar orang yang datang membawa bingkisan berupa makanan, buah-buahan, nasi dan lauk-pauknya, kain, tikar, dan sebagainya. Tetapi segala bingkisan itu ditolaknya dengan rendah hati dengan mengatakan.
“Masan kalian tidak tahu. Apa yang harus dimakan oleh benda mati, kecuali tidak ada? Seandainya ia masih membutuhkan makanan, udara yang lewat sekelilingnya sudah cukup bukan?”. 
Dalam cerpen ”Rintrik” ini sangat terlihat kreatifitas dan imajinasi pengarang, yang begitu cepat berganti antara dunia nyata dan dunia imajinasi pengarang, yakni bukanlah kehidupan yang benar-benar terjadi di  luar dunia nyata yang kita temui sehari-hari. Danarto pada cerpennya ini menunjukkan tentang keyakinan, kepercayaan atau ideologi untuk masuk ke dalam dunia yang memang bukan dunia manusia kita sehari-hari. 
  Sebuah karya sastra merupakan suatu ekspresi yang lahir dari jiwa pengarang. Di dalam cerpen Danarto yang berjudul Gambar Hati Terpanah mempunyai gaya khas tersendiri baik dalam tema, peceritaan, penggunaan tokoh-tokohnya maupun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang ada dalam isi cerita pendek ini, ini terlihat dari gagasan, keyakinan dan kepercayaan tokoh-tokoh yang ada dituangkan oleh Danarto dalam cerpennya  yang berjudul “Rintrik” ini.
Dalam cerpen ini, mengandung ideologi atau keyakinan dan kepercayaan tokoh yang  menonjolkan mistik. Kemistikan-kemistikan dalam cerpen ini ditampilkan oleh Danarto melalui tokoh, gaya penceritaan, tema, dan mistik yang diwujudkan menjadi lambang. Seperti:
1. Mistik yang Ditampilkan Melalui Tokoh
Tokoh yang ditampilkan danarto dalam cerpen ini adalah bukan manusia biasa yaitu manusia yang perbuatan dan pengalamannya melampaui kesanggupan manusia biasa. Hal ini dapat terlihat dari jawaban seorang tokoh utama (Rintrik) atas pertanyaan seorang yang menanyakan dengan apa ia makan selama ini. 
Berikut kutipanya:
“Masa kalian tidak tahu. Apa yang harus dimakan oleh benda mati, kecuali tidak ada? Seandainya ia masih membutuhkan makanan, udara yang lewat sekelilingnya sudah cukup bukan?” (halaman 23).
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa seorang nenek tua itu menyebut dirinya hanyalah sebagai benda mati yang digerakkan. Maksudnya, dia hidup karena ada yang menghidupkannya meskipun tanpa makan dan minum tidak selayaknya manusia biasa.
2. Mistik yang Diungkapkan Melalui Gaya Penceritaan.
“Engkau seorang ibu yang lembut, Rintrik, ”kata pemuda sambil menghela nafas dalam-dalam. “Berapa anakmu?” “Aku tak beranak dan tak diperanakkan. Dari sabda aku lahir. Aku bukan manusia. Namaku benda mati atau debu atau batu tidak berwarna tidak berbau. Dan manakala perjalananku sampai di jantung-Nya, disitulah aku sesungguhnya menyatu. Aku lenyap. Alam semesta lenyap. Seluruhnya diserap lenyap.” (halaman 22). 
 Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Rintrik yang pekerjaan sehari-harinya menguburkan bayi-bayi hasil perzinahan orang lain bukanlah manusia biasa. Tokoh semacam ini jarang kita jumpai pada cerpen-cerpen pengarang lain. Suasana mistis sangat terasa ketika Rintrik merasa bersatu manakala perjalanan sampai di jantung-Nya.
3. Mistik yang Menjadi Tema.
Dalam cerpen ini memuat pandangan dan cita-cita pengarang tentang kehidupan ini khususnya tentang dunia kebatinan atau mistik. Masalah-masalah yang dikemukakan diukur dengan ajaran mistik. Tentang pembebasan batin dari jasmani atau dunia inderawi terdapat pada tokoh Rintrik, perhatikan kutipan berikut: Alam semesta dan isinya adalah kematian abadi, karena bergerak hanya karena digerakkan. Bukan bergerak sendiri. Aku adalah salah satu penghuni alam semesta ini. Aku adalah benda mati. Mana mungkin benda mati bisa merasakan penderitaan dan kebahagiaan. (halaman 27).
Dalam pandangan mistik Jawa jalan ke kemurnian itu ditempuh dengan mengadakan jarak diri pribadi dengan aspek material. Pandangan tokoh Rintrik tentang kemurnian terdapat pada: 
“Di luar badai masih menggila dan terdengar sebatang pohon kelapa roboh. “Pertanda apakah ini semua, Rintrik?” Tanya seorang laki-laki tua.
“Hilangnya kemurnian”.
“Apakah kemurnian itu?”
“Kemurnian adalah sesuatu yang mulus, semacam keikhlasan yang tulus atau semacam batang padi yang timbul tanpa pamrih, apakah ia akan didera oleh penyeleweng-penyeleweng atau menjadi makanan seluruh rakyat. Ia tidak usah memikirkan itu…….” (halaman 18).
 Percakapan-percakapan Rintrik menunjukkan pandangan mistik tentang kehidupan. Proses perjalanan mistik ini sampai pada puncaknya ketika Rintrik menyatakan keinginan yang terakhir. Perhatikan kutipan berikut:
Suasana sudah pada puncaknya.
“Untuk terakhir kalinya, apa keinginanmu?”
“Syahwat yang besar sekali.”
“Apa itu?”
“Melihat wajah Tuhan. (halaman 32).
4. Mistik yang Diwujudkan Menjadi Lambang.
 Di dalam cerita pendek ini banyak dijumpai simbol-simbol yang berfungsi untuk menerangkan dan menarik pembacanya agar menimbulkan rasa ingin tahu. Berikut ini contoh perlambangan yang terdapat dalam cerpen yang tidak menggunakan judul kata, yakni gambar hati terpanah. Menurut pengarangnya simbol itu yang paling kena untuk cerpen ini. Pengarang mengatakan bahwa simbol itu menunjukkan: 1) syahwat murahan yang digambarkan oleh pengemis dan kaum gelandangan di tembok-tembok pasar, lorong-lorong gelap: 2) cinta cengeng yang diimpikan oleh para teenagers kota-kota besar: 3) percintaan yang artistik dan kreatif oleh para seniman dan cendekiawan: 4) ma’rifat dan hikmat ketuhanan yang diimpikan oleh para rasul, nabi, wali, dan sufi. Tokoh utama cerita ini bernama Rintrik. Mengenai keadaan dirinya, pengarang melukiskan sebagai berikut:
             Ia berada di tengah prahara itu dengan tentram bagai bayi tidur dalam buaian, tidak terusik sedikit pun oleh petir yang sambar-menyambar di atas ubun-ubunnya. Melihat cara kerjanya itu tentulah ia memiliki kekuatan jasmani yang luar biasa. Orang setua itu! Perempuan dan buta! Di dalam badai! Masih bekerja lagi. (halaman 12).
            Ideologi atau kepercayaan inilah yang ingin diungkapkan oleh Danarto kepada pembaca dalam cerpennya yang berjudul “Rintrik” walaupun sebenarnya judul dari cerpen ini hanya gambar hati terusuk panah, tapi orang-orang banyak menyebut cerpen ini dengan judul rintrik, pada cerpen ini unsur ideologi atau kepercayaan mistiknya sangat kental dan menonjol sekali, hal ini juga terungkap dari  judul dalam cerpen ini yang tidak menggunakan kata-kata tapi justru menggunakan gambar hati yang terpanah. 





RIWAYAT PENULIS
Mira Wahyuni merupakan cewek kelahiran Padang 09 Juni 1990, seorang mahasiswi di Universitas Negeri Padang di Sumatera Barat. Saat ini Mira biasa ia di panggil oleh teman-teman sudah duduk di semester 5 bangku perkuliahan. Mira termasuk gadis yang sedikit pemalu sejak kecil, sampai saat sekarang ini sifat ini masih sangat melekat pada dirinya, tapi jika telah kenal denganya ia termasuk anak yang periang, supel dan asyik.

Essay 38 (Kritik Sastra)



ARTI SUCI DALAM PEREMPUAN SUCI
Oleh Meri Eka Putri

DALAM novel perempuan suci ini sentimental dan sangat mengharukan. Novel ini terjadi di negeri Pakistan yang eksotis, kisah ini menceritakan seorang perempuan muslim jelita yang berkali-kali menolak lamaran laki-laki sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan bertempat tinggal di Kurachi bernama Sikander. Lelaki yang bernama Sikander ini bertamu kerumahnya Jafar (adiknya Zari Bano) yang memperkenalkan Sikander  dengan kakaknya yang cantik ini Zaribano akan tetapi pada mulanya Sikander  ini orangnya begitu cuek tidak peduli apa yang ada disekitarnya. Padahal Zaribano selalu memperhatikannya dan mengajaknya gobrol tetapi Sikander tidak peduli, itu yang membuat Habib Sahib Ayah Zaribano tidak menyukainya karena dia takut kalau Sikander itu melukai hati anak yang disayanginya itu. Lain pada ibunda Zaribano sangat senang melihat anak tercintanya menemukan pilihannya.
Dengan tekat yang kuat Jafar dan ibunya Zaribano pergi membawa Zaribano ke Kurachi tempat  tinggalnya Sikander sekaligus menjalani bisnis disana. Ketika itu Zaribano bersusah payah mengambil hatinya Sikander tetapi Sikander tetap terlihat cuek bagaimana awal pertemuan mereka dan pada akhirnya malah Sikander yang melamar Zaribano. Dengan perasaan bahagia Zaribano mengiyakan lamaran Sikander itu, dan Zaribano mengabari ayah dan ibunya di propinsi Sindu di daerah perbatasan sebuah kota kecil. Ayahnya langsung kaget ketika putrinya mengatakan akan segera menikah dengan Sikander pemuda yang dianggapnya posesif itu, tetapi ketika itu juga  anak pewaris seluruh harta kekayaan Habib Sahib pun yaitu Jafar meninggal. Ketika Jafar meninggal inilah keluarga Habib Sahib pun mengalami banyak cobaan.
Meningganya Jafar berarti larangan buat Zaribano menikah, karena adat tradisi Habib Sahib ini apabila anak lelakinya itu meninggal jadi anak pertama perempuan yang mendapatkan seluruh harta warisan itu yaitu menjadikan Zaribano perempuan suci atau Shahzadi ibadat. Zaribano menolak permintaan ayahnya itu dia tidak mau menjadi perempuan suci karena dia telah menerima lamaran dari Sikander tetapi ayahnya tidak mau tahu, apapun alasannya dari mulut Zaribano. Semenjak Jafar meninggal ayahnya yang baik dan bijaksana itu berubah menjadi sosok yang menakutkan karena dia belum pernah melihat ayahnya semarah ini. Zaribano pun berfikir sejenak dengan hatinya yang kalut, pikirannya yang kacau dan air mata membasahi pipinya dia pun mulai berfikir menjadi  seorang  perempuan suci dan pada akhirnya dia pun tidak bisa menolak apa permintaan ayahnya, karena dia tidak mau membuat keluarganya kecewa. Ibunda Zaribano terpukul mendengarnya tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa hanya doa yang bisa dia berikan.
Akhirnya hari-hari peresmian Zaribano menjadi perempuan suci pun datang dan dia pun diresmikan menjadi perempuan suci. Alangkah kagetnya semua yang ada di desa mendengar wanita yang sangat cantik itu menjadi perempuan suci termasuk Khanis ibundanya Khawar yang ingin sekali Zaribano itu menjadi menantunya. Api asmaranya bersama Sikander pun dipaksa padam,justru pada saat mereka merenguk cinta dan menjadikan Zaribano perempuan suci yang hanya menikah dengan Al-Quran. Yang paling menyakitkan bagi Zaribano yaitu Sikander malah meyakini adiknya Ruby, selama bertahun-tahun, amarah, kesediahan dan perang bathin Zaribano tersembunyi rapi dibalik surga hitam yang membungkus tubuhnya. Pada akhirnya Ruby adik Zaribano pun meninggal saat melahirkan anak pertamanya. Setelah lama kematian Ruby, Zaribano pun dinikahi bersama Sikander selama setahun. Selama setahun itu Zaribano pun menikmati masa-masanya berdua bersama Sikander, alangkah bahagianya hati Sikander akhirnya dia mendapatkan cinta sucinya walau pun itu hanya setahun.
Itulah kisah Zaribano dan arti suci dalam perempuan itu sendiri, arti suci yang mengartikan tidak menikah hanya Al-Quran yang boleh ia nikahi tetapi pas kematian saudaranya dia harus menggantikannya selama setahun saja dan tidak boleh melepaskan jubah hitamnya tersebut. Inilah kebaktian Zaribano kepada sang ayahnya, dia rela melepaskan cinta sucinya demi keluarga tercintanya. Ayahnya yang pada mulanya keras sekarang tidak lagi, dia merasa sangat beruntung mempunyai anak seperti Zariano, ini sebuah cerita yang menawan tentang cinta, ketamakan kecemburuan. Novel ini begitu sempurna sekali dalam novel arti Suci dalam Perempuan Suci ini. Terlihat di desa itu banyak masyarakat disana mencintai Zaribano karena selain dia cantik, baik, parasnya yang anggun membuat warga disana menyukainya.




RIWAYAT PENULIS
Nama       : Meri Eka Putri
NIM/BP : 04539/08
Jurusan : Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah
Hobi : Menulis cerpen dan bermain voliball
Cita-cita : Ingin menjadi orang yang di banggakan
Moto : Hidup santai masa depan cerah

Essay 37 (Kritik Sastra)



PESONA BAHASA SUPERNOVA AKAR
Oleh Devi Marlina

SEBUAH karangan yang diramu dengan bahasa yang indah akan menghasilkan karya sastra yang digemari pembacanya. Keunikan karya sastra tidak akan pernah lepas dari bait-bait kata yang dirangkai menjadi kalimat yang menarik. Kekhasan sebuah karya sastra pun akan tergambar dari kemahiran penggunaan bahasa oleh pengarang, terutama novel. Novel biasanya terdiri lebih dari 50 halaman. Jika novel yang terdiri dari sekian banyak halaman tidak diramu dengan bahasa yang menarik, akan membuat pembaca cepat bosan bahkan tidak akan mau membaca novel tersebut lagi.
Bahasa yang menarik, dengan pilihan kata yang tepat serta bervariasi dalam sebuah novel, memberikan kesan tersendiri pada pembacanya. Keindahan bahasa sebuah novel membuat penikmat sastra tersebut ingin dan ingin terus membaca karya tersebut. Memang benar keindahan sebuah novel tidak hanya bergantung pada bahasa yang digunakan, tetapi juga alur dan ide cerita yang dikemas secara apik. Tidak dapat dimungkiri, jika alur cerita tidak disajikan dengan bahasa yang menarik, maka jalan cerita akan sulit dipahami atau bahkan membosankan bagi pembacanya.
 Gaya penulisan novel dengan mengunakan pencampuran bahasa antar negara menghasilkan kekhasan pada novel tersebut. Bagaimanapun juga, penggunaan bahasa akan memperlihatkan kepintaran pengarang dalam meramu idenya. Seperti novel Supernova Akar karya Dewi Lestari. Supernova adalah novel yang memiliki warna tersendiri dalam penyajian dan alur ceritanya. Dalam penyajiannya, Supernova menggunakan beberapa bahasa seperti, Indonesia, Inggris, dan beberapa bahasa negara lain serta bahasa daerah di Indonesia. Novel dengan menggunakan pencampuran bahasa akan menambah keunikan novel tersebut. Memang, pada novel ini masih didominasi oleh bahasa Indonesia, akan tetapi penggunaan bahasa negara lain oleh tokohnya akan menambah pengetahuan pembaca tentang bahasa negara lain.
Dalam novel ini, tokoh utama (Bodhi) berpetualang keberbagai negara hanya untuk mencari kesejatian yang sesungguhnya. Pertualangan tokoh utama mengharuskan dia mengunakan berbagai bahasa. Penyajian novel seperti ini untuk kepenulisan novel merupakan tren baru dalam karya sastra. Dalam hal ini, bagi pembaca sebagai penikmat karya sastra, ketidak mengertian terhadap apa yang dibacanya akan mengurangi nilai sastra itu sendiri. Bagaimanapun penilaian suatu karya menarik apa tidaknya terdapat pada pandangan pembaca terhadap karya itu. Pada Supernova Akar ini, Dee terlalu sering menggunakan bahasa asing sehingga bagi pembaca yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa tersebut akan mengurangi kenikmatan terhadap novel ini. Memang mengerti atau tidaknya pembaca terhadap bahasa asing tersebut, alur cerita Supernova Akar ini masih bisa diikuti oleh pembaca.
Supernova Akar ini, juga terkesan menggunakan bahasa yang blak-blakan. Di sini Dee terlihat berusaha menggunakan ungkapan secara langsung tanpa ada basa-basi seperti bahasa yang sering digunakan dalam tokoh utama novel ini. Salah satunya terlihat dalam kalimat Sinar matanya yang tadi garang, melembut, gelagapan ia sibuk menelan dahak. Sangat terlihat sekali dalam bahasa yang digunakan Dee, menginginkan sesuatu yang biasanya dianggap kurang sopan, jorok, atau dianggap tabu jadi terlihat sesuatu yang biasa-biasa saja. Penggunaan bahasa yang semacam ini disesuaikan Dee dengan karakter dan latar novel Supernova Akar ini. Bodhi seorang yang tinggal diberbagai tempat termasuk dijalanan dan bergabung dengan sebuah geng, serasi jika menggunakan bahasa yang blak-blakan.
Penyampaian maksud dengan hiperbola sangat terkesan dalam Supernova Akar. Uniknya, walaupun penggunaan hiperbola secara berlebihan, tetapi karya Dee yang satu ini tidak terkesan memuakkan atau berlebihan. Penyajiannya benar-benar apik.
Selain bahasa yang menarik, Supernova adalah novel yang memiliki ide cerita yang luar biasa atau boleh dikatakan diluar kebiasaan. Di sini tokoh utama Bodhi di cerikan sebagai orang yang memiliki kemampuan luar biasa, mungkin Indera keenam. Dia dapat melihat hal-hal ghaib, mengalami kejadian-kejadian aneh, bahkan ia dapat merasakan apa yang dirasakan hewan saat akan disembelih. Kejadian yang dialami tokoh utama ini merupakan kutukan terhadap dirinya yang merupakan orang paling jahat dimasa lampau. Bodhi yang sekarang adalah reinkarnasi dari dirinya yang dahulu terlahir kembali untuk menerima balasan terhadap perbuatannya dimasa lampau. Untuk menghilangkan kutukan ini Bodhi berusaha untuk pergi sejauh mungkin dari Vihara, tempat ia ditemukan dan dibesarkan. Vihara adalah tempat tinggal para biksu. Di sana ia diasuh oleh guru Liong, seorang biksu. Kejadian aneh pada tokoh utama ini sudah terlihat semenjak kecil. Semakin jauh dia pergi dari Vihara, maka semakin memudar kutukan tersebut.
Ide ceritanya sangat menarik, penuh dengan imajinasi-imajinasi yang membuat pembaca akan ikut merasakan imajinasi-imajinasi tokoh. Cerita yang sulit diterima akal sehat tapi bagi orang yang mempercayai dunia mistik, membaca novel ini akan membuat merinding. Penuh ilusi dan tanda tanya.
Sopernova Akar, khayalan tingkat tinggi. Dee begitu lihai menyajikan ide ceritanya. Kejadian-kejadian yang disajikan dalam novel runtut dan dipaksa untuk diterima akal. Sedikit hal yang aneh dari novel ini adalah pada awal cerita dimulai dengan sapaan orang Islam terhadap Islam lain. Assalamualaikum w.w dan dijawab oleh tokoh utama Wa’alaikummussalam w.w. Padahal dalam alur ceritanya, tokoh utama adalah seorang Budha. Tidak jelas apa motif Dee memasukkan kata sapaan orang Islam dalam novel ini. Selain itu, alur ceritanya juga sedikit ganjil. Apa yang menyebabkan tokoh utama berpetualang keberbagai negara disajikan dengan jelas, tetapi apa motif tokoh utama kembali ke Indonesia lagi tidak jelas. Diakhir cerita terlihat dipaksakan tokoh utama telah berada di Indonesia. Jadi jika Dee bermaksud mengambil setting di luar neggri itu terasa lebih cocok dengan novel ini ketimbang memaksakan tokoh utama adalah orang Indonesia. Sangat terasa ganjil, tiba-tiba tokoh utama telah berada beberapa tahun di Indonesia. Penggunaan istilah-istilah gaul pun dalam Supernova ini tidak mencerminkan Indonesia, lebih cocoknya mengarah keluar negeri.
Dee terlalu memaksakan tokoh utama adalah orang Indonesia, sehingga alur cerita menjadi kurang menyambung dengan ide cerita awalnya. Lain halnya, jika Dee mengambil tokoh asing sebagai pemain utamanya, maka alur cerita tidak perlu dipaksakan berlatar belakang negara Indonesia. Dalam karya sastra pelataran harus disesuaikan dengan ide cerita. Pelataran yang tepat akan menghasilkan karya sastra yang terasa hidup dan dirasa benar terjadi.
Secara keseluruhan, Supernova Akar adalah karya sastra yang unik dan menarik serta penuh dengan teka-teki. Bagi pembaca yang ingin menambah pengetahuan tentang bahasa asing, Supernova Akarlah jawabannya. Novel ini menginspirasi pembaca untuk lebih banyak menguasai bahasa asing. Dengan menguasai berbagai bahasa, akan membuat seseorang bisa bertahan hidup dimanapun. Bahasa adalah pertahanan hidup. Dengan bahasa mempermudah dalam berkomunukasi dan berinteraksi dengan orang lain.





RIWAYAT PENULIS
Nama           : Devi Marlina 
NIM  : 04536/2008
Tempat/Tanggal Lahir: Pariaman, 23 Desember 1988
Hobi  : Menulis cerpen dan puisi (klo mood), wisata kuliner, mengkritisi hal yang dirasa ganjil
Motto           : Hidup adalah masalah, jadi jangan pernah takut dan lari dari masalah

Essay 36 (Kritik Sastra)



TERKUAKNYA TABIR PERCINTAAN, PERSAHABATAN, DAN PEPERANGAN
Oleh Novita Darmayanti

HARI pertama sekolah, “Ipung” itulah nama seorang anak laki-laki yang bersekolah di sebuah kota besar meski tidak sebesar Jakarta. Solo adalah kota besar bagi Kepatihan. Dan kota ini lebih besar lagi, sekarang aku di dalamnya. Sangat megah untuk ukuran matanya, jangankan di Kepatihan, di kota besar ini pun ia masih termegah. “SMA Budi Luhur”, ia memandang papan nama sekolahnya tidak percaya. Sejak MOS, sekali pun cewek kece itu belum meliriknya. Ipung menangkap dengan kilatan matanya. Gadis itu membesitkan senyum dikejauhan. “Paulin” ganti memburu dengan kilatan matanya. Tuhan, cowok kerempeng itu tidak punya cukup waktu memperhatikanku. Aku bukan tidak pernah melihatmu. Saat MOS dulu aku sudah melihatmu. Wajahmu meski tidak jelek, toh gagal untuk disebut ganteng. Kamu sama seperti yang lain. Kalau toh ada yang berbeda paling hanyalah gayamu yang sok nggak butuh. Sok menganggap orang lain tidak penting. Paulin mengeluh. Ia tidak menduga, kalau gaya itu sekarang menyiksanya. Pertemanan berlanjut sampai pada kedekatan antara Ipung dan Paulin. Paulin membawa Ipung untuk berkunjung ke rumahnya dan memperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Paulin menarik nafas. Menyiapkan oksigen cadangan demi kegugupannya. Ayoo Paulin, ayoo. Sekarang atau tidak sama sekali. Ipung atau bukan sama sekali. Tapi ah itu soal nanti. Sekarang soalnya adalah ketenangan itu sendiri. Mereka harus melihatnya. “Saya jatuh cinta padanya.” Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Paulin. Tenang. Jelas.
“Kamu sudah mulai jatuh cinta,”
“Yaa Mi. Dia kekasih saya.”
“Kekasih......” Mami terbata.
“Kamu...... kamu menyebutnya kekasih.....bukan pacar.....” kata Mami mulai serak.
Lirih sekali suara itu. Tapi terdengar pekak di kuping Paulin. Jelas sudah, orang tuanya menolak calon menantu yang belum pernah mereka lihat wajahnya itu. Nama saya Ipung, Om, Tante. Teman sekelas Paulin. Sama seperti Om dan Tante. Saya sendiri sangat kaget melihat Paulin mencintai saya. Bukan saya tidak bangga dicintai gadis sehebat Paulin.
“Om dan Tante tidak perlu khawatir tentang saya. Lingkungan saya mendidik saya menjadi begitu perasa. Sebelum orang lain menyinggung, saya biasa tersinggung dengan sendirinya. Ipung mempunyai banyak teman di sekolah. Salah satunya adalah Marjikun yang akrab di sapa Mar atau Jikun. Ipung dalam perjalanan menuju rumahnya.”
“Biar aku antar pulang,” sapa Marjikun. Ipung terdiam.
“Ayolah. Aku terkena hasutan Gredo. Aku minta maaf.”
Ipung menerima tangan Marjikun. Biasa saja. Marjikun salah tingkah. Dimusuhi atau diakrabi, cowok ini tetap dingin. Seperti es batu. Marjikun diam-diam mengeluh. Senewen, benci, gentar, campur hormat.
“Lupakan saja yang sudah-sudah. Kita semua teman,” kata Ipung lunak. Sok dewasa. ”Be....benar.”
Terjadi perperangan antara Ipung dengan Gredo. Gredo telah merusak sepeda Ipung.
Gredo terpaksa pindah kelas. Pak Bakri selaku guru adalah arsitek peristiwa ini. Dengan cerdik guru galak itu memaksa sendiri Gredo memilih sanksinya sendiri. Kalau anak itu tidak berinisiatif, Pak Bakri terhindar dari tuduhan tidak adil. Meski di atas kertas Gredo mencatat kesalahan lebih tinggi. Namun dosa Ipung juga tidak main-main. “Menghajar orang dengan pentungan masuk pasal penganiayaan. Termasuk sadisme!” Bentak Pak Bakri. Ipung makin menunduk mendengar vonisnya. Tapi ia meringis bahagia. Ia menagkap kecerdasan Pak Bakri dalam membelanya. Tidak ada ketakutan yang lebih ia pikirkan selain pindah kelas dan berpisah dengan Paulin. Pengertian yang telah diberikan Paulin kepada kedua orang tuanya telah melunakkan hati kedua orang tuanya. Alangkah bahagianya hati Paulin yang telah mendengar bahwa mereka berdua telah direstui. Semuanya berakhir bahagia antara cinta, persahabatan, dan juga peperangan telah becampur menjadi satu cinta yang abadi.

Essay 35 (Kritik Sastra)



MATERIALITAS DALAM LASKAR PELANGI
Oleh Sesmita

NOVEL Laskar Pelangi menitikberatkan pandangan materi terhadap pendidikan. Di tengah hiruk-pikuk industrialisasi banyak yang menganggap bahwa pendidikan berkualitas itu membutuhkan biaya cukup mahal, apalagi dalam kondisi pendidikan nasional yang sedemikian pelik. Novel ini menjadi pil pahit bagi praktisi pendidikan yang menganggap bahwa pendidikan yang berkualitas harus mahal. Dengan hadirnya novel ini menambah daftar panjang buku yang mengangkat tema pendidikan dan memperjuangkan pendidikan yang berkualitas tidaklah harus mahal.
Kisah yang terangkum cukup elok dalam novel ini mengisyaratkan kita untuk bangkit dalam menatap masa depan pendidikan yang gemilang dan menghipnotis kesadaran, kecerdasan serta kemauan kuat untuk memaknai sebuah perjalanan hidup. Di dalamnya juga terdapat perjuangan dalam menuntut ilmu yang tiada pernah kenal lelah yang tergambarkan dalam sosok Lintang yang harus menempuh puluhan kilometer untuk berangkat sekolah setiap hari dengan mengayuh sepedanya dan melewati segerombolan Buaya yang ada di sungai. Namun, ia tetap semangat dan tidak gentar pada rintangan itu sedikitpun. 
Kisah yang terkandung dalam novel Laskar Pelangi ini sungguhlah unik. Dimana segala sesuatu  tingkah laku seseorang ditujukan untuk ibadah dan dakwah. Ini terlihat dari tokoh pak Harfan dan Bu Muslamah yang menempatkan sarana pendidikan sebagai ladang ibadah sekaligus dakwah syiar Islam. Mereka telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah dengan nyaris tanpa imbalan apapun demi motif syiar Islam. Pak Harfan dan Bu Muslimah mampu mencuri kembali spirit ibadah dan dakwah. Tentunya hal ini sangat berbanding terbalik dengan tuntutan para guru saat sekarang yang cenderung lemah ketika kesejahteraannya tidak tercukupi. Karenanya, tidak ada suatu keteguhan jiwa. Sosok Pak Harfan dan Bu Muslimah menjadi suatu keajaiban atau mukjizat kemanusiaan. Mereka adalah kesatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Spirit inilah yang sesungguhnya menjadi modal dasar dalam pergerakan dakwah. Tidak ada dakwah tanpa ada kesabaran, tidak ada ibadah tanpa keikhlasan, dan tidak ada gerakan tanpa sebuah pengorbanan. Kata-kata ini nampaknya dapat menggambarkan kisah guru-guru teladan produk orisinil bangsa Melayu yang ada dalam novel ini.
Dalam novel ini terdapat pandangan bahwa sesungguhnya yang dikenang oleh seorang murid bukanlah sebuah nilai A, B, dan C ataupun serentetan materi yang diberikan ketika mengajar. Akan tetapi suatu hal yang dikenang murid adalah beberapa mutiara kata yang keluar dari lisan seorang guru dan itu mencerahkan. Petikan paragraf yang menggambarkan hal tersebut  yaitu “Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apapun.npak Harfan memberi kami pelajaran. Pertama tentang keteguhan, tentang ketekunan, keinginqn kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.” (halaman 20). 
Munculnya kata yang mencerahkan inilah yang menjadi landasan moral mereka hingga kapanpun dan dimanapun. Pada titik inilah kunci dari sebuah kualitas pendidikan. Justru dari sekolah gudang kopra yang mau roboh malah menjadi inspirasi moral yang begitu kuat bagi banyak pengamat maupun praktisi pendidikan.




RIWAYAT PENULIS
Sesmita lahir di Pekanbaru, 23 september 1990, adalah anak keempat dari empat bersaudara. Mengalami masa kanak-kanak, remaja dan sekolah di Bukittinggi, Baso. pendidikan yang ditempuh SD 01 Baringin Anam Baso, SLTP N 01 Candung, SMAN 01 Ampek Angek (Lambah Biaro). 
Sekarang menimba ilmu di Universitas Negeri Padang, jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah. Nomor induk mahasiswa 04530/2008. Hobinya adalah membaca novel dan mendengarkan musik. Alamat Email i_shes@yahoo.com.

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog