Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 24 (Kritik Sastra)



MORALITAS DALAM SAMAN
Oleh Asyari Rahmad
           
KELUASAN pengarang dalam menuangkan ide dalam bahasa yang lues, kemungkinan dipengaruhi oleh pandangan betapa ambigu  sesungguhnya moralitas itu, seperti yang terdapat dalam “Saman”. Perselingkuhan, tugas pastoral yang suci, percintaan yang sembunyi-sembunyi yang tidak dapat didudukkan pada sebuah “kursi” moralitas yang hitam dan putih.
            Hubungan seks yang begitu sakral bagi masyarakat kita, yang hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah memiliki ikatan perkawinan. Begitu pula seharusnya seorang yang sudah menikah harus setia pada pasanagannya. Namun dalam menagnalisis Novel Saman akan kita temukan penyimpangan-penyimpangan hal tersebut. Sebahagian tokohnya memberontak pada otorita moral yang diwakili orang tua, pemuka agama dan lain-lain. Tokoh Layla menyebutnya dengan sebuah metafora” seperti burung-burung yang kawin pada saatnya lalu terbang saja pada saatnya lalu terbang begitu saja tampa meninggalkan dosa”.
            “Tapi apakah aku berdosa”, demikian pernyataan Yasmin pada “Saman” setelah perselingkuahan yang  mereka lakukan yang terjadi begitu saja seperti sebuah kecelakaan. Dijawab Saman dengan sebuah ungkapan yang skeptis tentang dosa, sebagaimana yang digambarkan di bawah ini.
            Aku tidak tahu apakah aku masih ada dosa.

            Seks terlalu indah. Barangkali karena itu tuhan begitu cemburu. Sehingga ia menyuruh musa merajam orang yang berzina?..
            Perselingkuhan adalah perbuatan yang amoral namun manuasiawi sekali. Itulah yang terlihat ketika masing-masing tokoh dalam novel ini melakukan perselingkuhan. Walaupun masih tersisa penyesalan yang diungkapkan secara baik dalam sebuah metafora “ seekor ular menyelinap dalam hati dan membisikkan nikmat itu dosa.”
            Tantangan paling ekstrim datang dari tokoh Shakuntala yang memberontak terhadap ototites moral yang diwakili oleh tokoh ayah. Pemberontakan itu dapat kota lihat dari kata-kata di bawah ini.
            Namaku Shakuntala ayah dan kakak perempuanku menyebutku Syundal. Sebab aku sudah tidur dengan beberapa laki-laki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan Ayahku tidak menghormatiku.
Aku meghormati mereka….
Sebab hidup bagiku adalah menari dan menari.
Kebencian pada ayah dapat pula kita lihat pada bagian lain novel ini. Yaitu ketika ia yang bekerja sebagai koreografer diminta tampil dibeberapa Negara eropah. Untuk itu perlu mengurus visa di kedutaan Nederland. Mereka menanyakan nama keluarga saya.
            “Nama saya shakuntala orang Jawa tidak punya nama keluarga”
            “Anda memiliki ayah bukan?”
            “Alangkah indahnya kalau tidak punya.”
            Dia menolak menambahkan nama keluarganya, karena itu dianggap sebagai kekuasaan tokoh ayah terhadap dirinya. Perbuatan Shakuntala tersebut dapat disebut amoral  namun lebih tepat rasanya istilah anti moral. Namun sisi moral pun harus dipahami dan dimengerti lebih jelas. Bukan saja dari sudut kemanusiaan atau “kursi” moralitas yang hitam dan putih. Namun memahami orang sebagaimana adanya. Dalam Novel Saman ini ialah tokoh UPI sebagai wanita yang idiot, melakukan perbuatan yang tidak senonoh.  Dia menggosokkan selangkangnya pada pokok-pokok karet dan memperkosa Kambing dan ternak-ternak tetangga. Hal tersebut dapat dikatakan perbuatan amoral namun kita harus memahami dia adanya.
            Dalam Saman hubungan seks dengan tokoh-tokohnya bukanlah dengan maksud sebagai sebuah komoditi tambahan atau sumber penghasilan. Namun semua itu hanya bersifat nasfu belaka. Cok ( salah satu wanita dari empat sekawan Laila, Yasmin,dan Tala) bisa disebut Don Juannya cewek yang berkencan dengan teman laki-lakinya lalu memutuskan mereka begitu saja. Dalam novel ini disebutkan bahwa Cok dan Shakuntala adalah tipe wanita yang tidak peduli terhadap neraka dan perkawinan, lain halnya dengan Laila yang sedang mencari seorang laki-laki yang pantas membangun sebuah keluarga dan membahagiakan orang tua dengan cucu-cucunya, yang mencintai Sihar seorang karyawan pertambangan yang sudah beristri.
            Dalam novel Saman ini kita dapat pula melihat bagaimana moral para penguasa terutama pada zaman orde baru, mungkin masih relevan denagn kondisi sekarang ini. Yang dalam banyak tindakan atau keputusan yang merugikan masyarakat bawah. Sering pula melakukan kekerasan bila ada yang mencoba menghalangi tujuannya, bahkan banyak juga yang di cap sebagai komunis, sebagaimana yang terjadi dalam tokoh Saman dan masyarakat perkebunan di Lubuk Rantau sebagai salah satu latar tempat di novel ini.
            Pada bagian lain kita juga menemukan banyak kesewenangan pihak yang pemegang otoritas kewenangan. Yaitu ketika Rosano mengambil sebuah keputusan yang sangat berbahaya saat mengeksplorasi minyak dilepas pantai walupun telah diperingatkan oleh Sihar bekali-kali. Peristiwa itu menyebabkan tewasnya tiga orang karyawannya, selain itu dia juaga dituduh masyarakat sebagai pembunuh karena masyarakat melihat korban terakhir pergi dengannya, yaitu seorang gadis kampung yang dijanjikan mengawininya setelah menyerahkan kesuciannya. Namun semua itu tidak dapat diusut karena orang tuanya adalah salah satu petinggi Depertemen Pertambangan.
            Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa “Saman” adalah novel yang banyak berbicara tentang realita-realita kemanusiaan dan permasalahannya. Tidak hanya terbatas pada persoalan cinta dan seks tapi juga banyak menyinggung masalah politik dan kekuasaan. Walaupun novel Saman ini banyak menyinggung hal yang masih tabu dalam masyarakat.
            Fakta yang kita temukan di atas hendaknya dapat dijadikan sebagai memperkaya kasanah berpikir kita. Sejauh mana dalam masyarakat kita nilai-nilai luhur yang bersifat timuran masih dipertahankan, seperti kesetiaan terhadap pasangan, nilai keperawanan, tata karma, sopan santun, ataukah nilai tersebut berubah sama sekali. Dan tidak kalah pentingnya yang mendapat perhatian kita bersama. Apakah penindasan dengan cara-cara orde baru masih kita lihat sekarang ini atau dengan cara yang berbeda pula. Untuk mengerti dan mampu melihat semua itu perlukiranya kita lebih peka terhadap kenyataan  sekeliling kita.
            Persoalan-persoalan tentang kekuasaan, cinta dan seks memanggil tema yang banyak diangkat dalam karya sastra. Tapi dengan kepiawaian pengarang dalam segi pengungkapan membuat ”Saman” menjadi sebuah warna baru dalam dunia sastra Indonesia.

Profil Penulis:

Nama          : Asy’ari Rahmad
TTL             : Bukittinggi, 5 April 199
Hobby         : Membaca, main game, traveling, dll.
Moto           : Maju terus pantang mundur.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog