Sabtu, 17 Desember 2011

Essay 13 (Kritik Sastra)



MENYELAMI LAUTAN TERDALAM JIWA DALAM NAFSUL MUTHMAINNAH
Oleh Roza Maryunita

            NAFSUL Muthmainnah karya perempuan muda dari Lampung yang bernama Anfika Noer adalah sebuah novel yang mengungkapkan misteri terdalam hati manusia. Novel spiritual tentang rahasia cinta dua hati aktivis muslim ini, Hasbi dan Yumna, mewakili banyak hati yang terjadi di sekitar kita. Salah satunya mungkin adalah anda sendiri.
            Novel yang mengisahkan kehidupan dua orang muslim yang menjalankan tugasnya sebagai seorang mahasiswa sekaligus sebagai aktivis kampus tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Namun, siapa yang akan mengetahui misteri hati selain si pemilik hati itu sendiri dan yang menciptakan hati.
            Berawal dari pertemuan Hasbi dengan seorang Yumna di sebuah sidang membuat Hasbi bertanya-tanya siapa Yumna sebenarnya. Hasbi tersinggung dengan ucapan Yumna yang mengatakan “kalau ia belum lulus saja sudah jadi koordinator forum alumni LDK”.
Sejak saat itu ia mulai penasaran dengan siapa Yumna sebenarnya. Tanpa mereka sadari sejak saat itu pula hati mulai bermain dengan segala gerak-gerik yang terpancar di antara keduanya meskipun mereka memungkiri semuanya.
            Mampukah memungkiri jika hati berkata lain, menyukai tapi tidak mengakui. Terlalu banyak yang harus dipikirkan, tidak mungkin bermain hati ketika kita benar-benar menjaga hati untuk-Nya. Menjaga setiap gerak-gerik. Menjaga setiap langkah yang akan membuat hati sakit. Bukankah hati adalah sebuah penawar. Jika ia teracuni maka tubuh akan ikut merasakan dampaknya. Jagalah hati sekiranya hal itu tidak mudah.
            Hal  seperti ini yang banyak terjadi di kalangan mahasiswa yang tidak hanya aktivis kampus. Mereka yang hanya mengabdikan diri untuk kuliah dan ibadah semata juga tidak akan terlepas dari masalah hati karena jika hati telah diberi anugerah yang suci untuk mencintai masihkah kita akan memungkirinya. Saya rasa itu tidak mungkin. Namun, ketika rasa itu diakui tidak dengan kata-kata, mungkin dengan perbuatan seperti sikap saling memberi sinyal, itu sama saja dengan melakukan permainan hati yang lebih parah. Hal seperti itulah banyak terjadi di kalangan remaja sekarang. Istilah teman tapi mesra, hubungan tanpa status, atau menaruh harapan lebih kepada sahabat. Hal yang demikian yang dimunculkan penulis dalam novel “Nafsul Muthmainnah”.
            Saya ingin menyumbang tentang apa yang dijabarkan penulis dalam novel ini. Saya menangkap seorang Yumna dengan karakter yang diciptakan penulis dalam novel “Nafsul Muthmainnah” adalah seorang yang “munafik” pada perasaanyan dan pada Hasbi. Sekalipun ia seorang muslimah yang selalu menjaga hati dan ibadahnya namun ia memungkiri sebuah rasa yang  dititipkan sang pencipta hati sejati kepadanya. Dia menzalimi diri sendiri dengan mengingkari tentang apa yang ia rasakan. Saya pikir hal seperti itu tidak disukai oleh sang pencipta hati.
            Memang ada yang mengatakan cinta itu adalah anugerah dan kita harus melihat cinta mana yang merupakan anugerah-Nya. Namun menurut saya cinta Yumna kepada Hasbi  merupakan anugerah yang patut diperjuangkan. Di sini ia seakan menjaga harga diri bukan menjaga hati. Menjaga harga diri dari orang-orang yang mengenalnya. Menjaga harga dirinya di depan Hasbi. Menjaga image-nya.
            Namun sekali lagi Yumna harus memperpanjang kemunafikannya dengan memungkiri perasaanya kepada Hasbi dengan meminta Hasbi secepatnya menikah dengan wanita lain. Percayalah tidak ada wanita yang yang rela sepenuhnya jika seorang yang ia cintai menikah dengan yang lain. Jika ada tidak mungkin ia tidak memiliki rasa kehilangan sedikit pun. Munafik.
            Kisah dalam  novel ini merupakan cerminan kehidupan nyata yang banyak terjadi di kehidupan kita. Merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, menikmati indahnya menjalani kehidupan dengan cinta. Tidak peduli engkau yang tiap malam keluyuran di dunia gemerlap dengan berbagai macam godaan. Cinta tetap bisa membuatmu melayang. Pun sebaliknya, engkau yang senantiasa menegakkan malam dengan tahajud sepenuh taqarruh kepada-Nya, maupun engkau yang menjalankan dakwah, cinta juga bisa menyelinap dalam hati dengan segenap sayap-sayap indahnya.
            Cinta memang indah, tapi benarkah cinta selalu indah? Tidak. Cinta hanya indah ketika kita mencintai seseorang karena-Nya. Cinta yang berjalan dalam rel aturan-Nya yang dapat kita rasakan keindahannya. Menikmati cinta dan selalu mengingat-Nya. Bahkan cinta tersebut membawa berkah dan berpahala. Itulah cinta sejati yang dibawa dalam gerbang yang disebut pernikahan.
            Namun tidak semua orang mengartikan cinta demikian. Sebagian orang sering memperturutkan cinta ketika rindu menggelegak di dada dengan sebuah pertemuan. Berpegangan tangan dan melakukan hal yang belum sewajarnya dilakukan. Bukannya mendapat pahala, justru menciptakan dosa dengan berbuat nista. Sungguh sangat merugi jika kita tidak memahami makna dari sebuah cinta sejati.
            Lalu bagaimana menyikapinya jika cinta itu hadir dalam jiwa yang selalu menegakkan ibadah dan senantiasa berada di jalan-Nya. Pasti akan lebih sulit menyikapinya dari pada mereka yang memperturutkan nafsu dunia. Sungguh kalau pun kita bisa menjaganya, belum tentu orang yang kita cintai bisa. Jika dia mampu, bukankah masih ada orang lain dengan prasangkanya terhadap kita. Mungkinkah kita bisa memungkiri ketika rasa untuk mencintai seseorang hadir diantara zikir kita kepada-Nya. Tidak mudah menyelami hati karena hati adalah misteri terdalam manusia, karena hati adalah lautan terdalam jiwa yang membentang sepanjang kita meniti kehidupan di dunia.
            Novel “Nafsul Muthmainnah” sarat mengisahkan kehidupan yang demikian. Novel spiritual cinta yang kaya inspirasi. Menyajikan cinta dengan  romantisme yang berbeda. Kaya dengan pesan-pesan moral yang akan membawa kita pada keadaan cinta yang membahagiakan, meskipun seorang Yumna memiliki cinta yang tidak termiliki. Menggapai indahnya kebahagiaan yang tidak tergenggam, dan pada akhirnya membawa kesadaran akan kebesaran dari sang maha cinta itu sendiri.
            Berhati-hatilah menjaga hati karena jika tidak akan membawa pada kegelisahan yang tidak berujung. Novel “Nafsul Muthmainnah” secara tidak langsung menularkan semangat kepada pembaca untuk pandai mengelola hati. Sesuatu yang tidak akan mudah untuk kita jalani dan dimiliki oleh setiap insan yang memiliki jiwa.

           Profil Penulis:


Roza Maryunita anak pertama dari tiga bersaudara ini biasa dipanggil Roza atau Ojha. Terlahir di kota Padang pada tanggal 8 Maret 1990. Sekarang dan keluarga besar menetap di Kabupaten Dharmasraya, tepatnya disebuah desa kecil di Kabupaten Dharmasraya yang bernama Desa Lubuk Karya. Ojha memiliki hobi membaca, nonton film horror dan action. Cita-citanya dari kecil ingin jadi penulis dan sutradara. Ketinggian mungkin tapi ia tetap optimis. Ia sangat mencintai keluarga, karena keluarga segalanya baginya. Ia ikhlas berjuang dan rela berpisah dari keluarga sejak tamat Sekolah Dasar, karena ia ingin keluarganya lebih baik kedepannya. “mambangkik batang tarandam” istilah orang Minangkabau. Jadi ia sangat menikmati walau pahit, sekalipun jalan  yang harus ditempuh. So guys, “Cinta yang besar, mampu hadirkan semangat yang besar.”

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog