MENYELAMI
LAUTAN TERDALAM JIWA DALAM
NAFSUL MUTHMAINNAH
Oleh Roza Maryunita
NAFSUL Muthmainnah karya perempuan muda
dari Lampung yang bernama Anfika Noer adalah sebuah novel yang mengungkapkan
misteri terdalam hati manusia. Novel spiritual tentang rahasia cinta dua hati
aktivis muslim ini, Hasbi dan Yumna, mewakili banyak hati yang terjadi di
sekitar kita. Salah satunya mungkin adalah anda sendiri.
Novel
yang mengisahkan kehidupan dua orang muslim yang menjalankan tugasnya sebagai
seorang mahasiswa sekaligus sebagai aktivis kampus tanpa meninggalkan
kewajibannya sebagai seorang muslim. Namun, siapa yang akan mengetahui misteri
hati selain si pemilik hati itu sendiri dan yang menciptakan hati.
Berawal
dari pertemuan Hasbi dengan seorang Yumna di sebuah sidang membuat Hasbi
bertanya-tanya siapa Yumna sebenarnya. Hasbi tersinggung dengan ucapan Yumna
yang mengatakan “kalau ia belum lulus saja sudah jadi koordinator forum alumni
LDK”.
Sejak saat itu ia mulai penasaran dengan siapa Yumna sebenarnya. Tanpa
mereka sadari sejak saat itu pula hati mulai bermain dengan segala gerak-gerik
yang terpancar di antara keduanya meskipun mereka memungkiri semuanya.
Mampukah
memungkiri jika hati berkata lain, menyukai tapi tidak mengakui. Terlalu banyak
yang harus dipikirkan, tidak mungkin bermain hati ketika kita benar-benar
menjaga hati untuk-Nya. Menjaga setiap gerak-gerik. Menjaga setiap langkah yang
akan membuat hati sakit. Bukankah hati adalah sebuah penawar. Jika ia teracuni
maka tubuh akan ikut merasakan dampaknya. Jagalah hati sekiranya hal itu tidak
mudah.
Hal seperti ini yang banyak terjadi di kalangan
mahasiswa yang tidak hanya aktivis kampus. Mereka yang hanya mengabdikan diri
untuk kuliah dan ibadah semata juga tidak akan terlepas dari masalah hati karena
jika hati telah diberi anugerah yang suci untuk mencintai masihkah kita akan
memungkirinya. Saya rasa itu tidak mungkin. Namun, ketika rasa itu diakui tidak
dengan kata-kata, mungkin dengan perbuatan seperti sikap saling memberi sinyal,
itu sama saja dengan melakukan permainan hati yang lebih parah. Hal seperti
itulah banyak terjadi di kalangan remaja sekarang. Istilah teman tapi mesra,
hubungan tanpa status, atau menaruh harapan lebih kepada sahabat. Hal yang
demikian yang dimunculkan penulis dalam novel “Nafsul Muthmainnah”.
Saya
ingin menyumbang tentang apa yang dijabarkan penulis dalam novel ini. Saya
menangkap seorang Yumna dengan karakter yang diciptakan penulis dalam novel “Nafsul Muthmainnah” adalah seorang yang
“munafik” pada perasaanyan dan pada Hasbi. Sekalipun ia seorang muslimah yang
selalu menjaga hati dan ibadahnya namun ia memungkiri sebuah rasa yang dititipkan sang pencipta hati sejati kepadanya.
Dia menzalimi diri sendiri dengan mengingkari tentang apa yang ia rasakan. Saya
pikir hal seperti itu tidak disukai oleh sang pencipta hati.
Memang
ada yang mengatakan cinta itu adalah anugerah dan kita harus melihat cinta mana
yang merupakan anugerah-Nya. Namun menurut saya cinta Yumna kepada Hasbi merupakan anugerah yang patut diperjuangkan.
Di sini ia seakan menjaga harga diri bukan menjaga hati. Menjaga harga diri
dari orang-orang yang mengenalnya. Menjaga harga dirinya di depan Hasbi.
Menjaga image-nya.
Namun
sekali lagi Yumna harus memperpanjang kemunafikannya dengan memungkiri
perasaanya kepada Hasbi dengan meminta Hasbi secepatnya menikah dengan wanita
lain. Percayalah tidak ada wanita yang yang rela sepenuhnya jika seorang yang
ia cintai menikah dengan yang lain. Jika ada tidak mungkin ia tidak memiliki
rasa kehilangan sedikit pun. Munafik.
Kisah
dalam novel ini merupakan cerminan
kehidupan nyata yang banyak terjadi di kehidupan kita. Merasakan bagaimana
rasanya jatuh cinta, menikmati indahnya menjalani kehidupan dengan cinta. Tidak
peduli engkau yang tiap malam keluyuran di dunia gemerlap dengan berbagai macam
godaan. Cinta tetap bisa membuatmu melayang. Pun sebaliknya, engkau yang
senantiasa menegakkan malam dengan tahajud sepenuh taqarruh kepada-Nya, maupun engkau yang menjalankan dakwah, cinta
juga bisa menyelinap dalam hati dengan segenap sayap-sayap indahnya.
Cinta
memang indah, tapi benarkah cinta selalu indah? Tidak. Cinta hanya indah ketika
kita mencintai seseorang karena-Nya. Cinta yang berjalan dalam rel aturan-Nya
yang dapat kita rasakan keindahannya. Menikmati cinta dan selalu mengingat-Nya.
Bahkan cinta tersebut membawa berkah dan berpahala. Itulah cinta sejati yang
dibawa dalam gerbang yang disebut pernikahan.
Namun
tidak semua orang mengartikan cinta demikian. Sebagian orang sering
memperturutkan cinta ketika rindu menggelegak di dada dengan sebuah pertemuan.
Berpegangan tangan dan melakukan hal yang belum sewajarnya dilakukan. Bukannya
mendapat pahala, justru menciptakan dosa dengan berbuat nista. Sungguh sangat
merugi jika kita tidak memahami makna dari sebuah cinta sejati.
Lalu
bagaimana menyikapinya jika cinta itu hadir dalam jiwa yang selalu menegakkan
ibadah dan senantiasa berada di jalan-Nya. Pasti akan lebih sulit menyikapinya
dari pada mereka yang memperturutkan nafsu dunia. Sungguh kalau pun kita bisa
menjaganya, belum tentu orang yang kita cintai bisa. Jika dia mampu, bukankah
masih ada orang lain dengan prasangkanya terhadap kita. Mungkinkah kita bisa
memungkiri ketika rasa untuk mencintai seseorang hadir diantara zikir kita
kepada-Nya. Tidak mudah menyelami hati karena hati adalah misteri terdalam
manusia, karena hati adalah lautan terdalam jiwa yang membentang sepanjang kita
meniti kehidupan di dunia.
Novel
“Nafsul Muthmainnah” sarat
mengisahkan kehidupan yang demikian. Novel spiritual cinta yang kaya inspirasi.
Menyajikan cinta dengan romantisme yang
berbeda. Kaya dengan pesan-pesan moral yang akan membawa kita pada keadaan
cinta yang membahagiakan, meskipun seorang Yumna memiliki cinta yang tidak
termiliki. Menggapai indahnya kebahagiaan yang tidak tergenggam, dan pada
akhirnya membawa kesadaran akan kebesaran dari sang maha cinta itu sendiri.
Berhati-hatilah
menjaga hati karena jika tidak akan membawa pada kegelisahan yang tidak
berujung. Novel “Nafsul Muthmainnah”
secara tidak langsung menularkan semangat kepada pembaca untuk pandai mengelola
hati. Sesuatu yang tidak akan mudah untuk kita jalani dan dimiliki oleh setiap
insan yang memiliki jiwa.
Profil Penulis:
Roza
Maryunita anak
pertama dari tiga bersaudara ini biasa dipanggil Roza atau Ojha. Terlahir di
kota Padang pada tanggal 8 Maret 1990. Sekarang dan keluarga besar menetap di
Kabupaten Dharmasraya, tepatnya disebuah desa kecil di Kabupaten Dharmasraya
yang bernama Desa Lubuk Karya. Ojha memiliki hobi membaca, nonton film horror
dan action. Cita-citanya dari kecil ingin jadi penulis dan sutradara. Ketinggian
mungkin tapi ia tetap optimis. Ia sangat mencintai keluarga, karena keluarga
segalanya baginya. Ia ikhlas berjuang dan rela berpisah dari keluarga sejak
tamat Sekolah Dasar, karena ia ingin keluarganya lebih baik kedepannya.
“mambangkik batang tarandam” istilah orang Minangkabau. Jadi ia sangat
menikmati walau pahit, sekalipun jalan
yang harus ditempuh. So guys, “Cinta yang besar, mampu hadirkan semangat
yang besar.”
0 Komentar:
Posting Komentar