Selasa, 03 Januari 2012

Essay 36 (Kritik Sastra)



TERKUAKNYA TABIR PERCINTAAN, PERSAHABATAN, DAN PEPERANGAN
Oleh Novita Darmayanti

HARI pertama sekolah, “Ipung” itulah nama seorang anak laki-laki yang bersekolah di sebuah kota besar meski tidak sebesar Jakarta. Solo adalah kota besar bagi Kepatihan. Dan kota ini lebih besar lagi, sekarang aku di dalamnya. Sangat megah untuk ukuran matanya, jangankan di Kepatihan, di kota besar ini pun ia masih termegah. “SMA Budi Luhur”, ia memandang papan nama sekolahnya tidak percaya. Sejak MOS, sekali pun cewek kece itu belum meliriknya. Ipung menangkap dengan kilatan matanya. Gadis itu membesitkan senyum dikejauhan. “Paulin” ganti memburu dengan kilatan matanya. Tuhan, cowok kerempeng itu tidak punya cukup waktu memperhatikanku. Aku bukan tidak pernah melihatmu. Saat MOS dulu aku sudah melihatmu. Wajahmu meski tidak jelek, toh gagal untuk disebut ganteng. Kamu sama seperti yang lain. Kalau toh ada yang berbeda paling hanyalah gayamu yang sok nggak butuh. Sok menganggap orang lain tidak penting. Paulin mengeluh. Ia tidak menduga, kalau gaya itu sekarang menyiksanya. Pertemanan berlanjut sampai pada kedekatan antara Ipung dan Paulin. Paulin membawa Ipung untuk berkunjung ke rumahnya dan memperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Paulin menarik nafas. Menyiapkan oksigen cadangan demi kegugupannya. Ayoo Paulin, ayoo. Sekarang atau tidak sama sekali. Ipung atau bukan sama sekali. Tapi ah itu soal nanti. Sekarang soalnya adalah ketenangan itu sendiri. Mereka harus melihatnya. “Saya jatuh cinta padanya.” Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Paulin. Tenang. Jelas.
“Kamu sudah mulai jatuh cinta,”
“Yaa Mi. Dia kekasih saya.”
“Kekasih......” Mami terbata.
“Kamu...... kamu menyebutnya kekasih.....bukan pacar.....” kata Mami mulai serak.
Lirih sekali suara itu. Tapi terdengar pekak di kuping Paulin. Jelas sudah, orang tuanya menolak calon menantu yang belum pernah mereka lihat wajahnya itu. Nama saya Ipung, Om, Tante. Teman sekelas Paulin. Sama seperti Om dan Tante. Saya sendiri sangat kaget melihat Paulin mencintai saya. Bukan saya tidak bangga dicintai gadis sehebat Paulin.
“Om dan Tante tidak perlu khawatir tentang saya. Lingkungan saya mendidik saya menjadi begitu perasa. Sebelum orang lain menyinggung, saya biasa tersinggung dengan sendirinya. Ipung mempunyai banyak teman di sekolah. Salah satunya adalah Marjikun yang akrab di sapa Mar atau Jikun. Ipung dalam perjalanan menuju rumahnya.”
“Biar aku antar pulang,” sapa Marjikun. Ipung terdiam.
“Ayolah. Aku terkena hasutan Gredo. Aku minta maaf.”
Ipung menerima tangan Marjikun. Biasa saja. Marjikun salah tingkah. Dimusuhi atau diakrabi, cowok ini tetap dingin. Seperti es batu. Marjikun diam-diam mengeluh. Senewen, benci, gentar, campur hormat.
“Lupakan saja yang sudah-sudah. Kita semua teman,” kata Ipung lunak. Sok dewasa. ”Be....benar.”
Terjadi perperangan antara Ipung dengan Gredo. Gredo telah merusak sepeda Ipung.
Gredo terpaksa pindah kelas. Pak Bakri selaku guru adalah arsitek peristiwa ini. Dengan cerdik guru galak itu memaksa sendiri Gredo memilih sanksinya sendiri. Kalau anak itu tidak berinisiatif, Pak Bakri terhindar dari tuduhan tidak adil. Meski di atas kertas Gredo mencatat kesalahan lebih tinggi. Namun dosa Ipung juga tidak main-main. “Menghajar orang dengan pentungan masuk pasal penganiayaan. Termasuk sadisme!” Bentak Pak Bakri. Ipung makin menunduk mendengar vonisnya. Tapi ia meringis bahagia. Ia menagkap kecerdasan Pak Bakri dalam membelanya. Tidak ada ketakutan yang lebih ia pikirkan selain pindah kelas dan berpisah dengan Paulin. Pengertian yang telah diberikan Paulin kepada kedua orang tuanya telah melunakkan hati kedua orang tuanya. Alangkah bahagianya hati Paulin yang telah mendengar bahwa mereka berdua telah direstui. Semuanya berakhir bahagia antara cinta, persahabatan, dan juga peperangan telah becampur menjadi satu cinta yang abadi.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog