Selasa, 03 Januari 2012

Essay 44 (Kritik Sastra)



SAMAN DALAM SAMAN
Oleh Yowanda Kalsum

MEMBACA Saman barangkali adalah membaca kemungkinan sebuah sisi manusia. Manusia dengan belenggunya sendiri. Setidaknya, dalam perspektif Ayu Utami yang mendedah karakteristik Saman dalam novel Saman.
Di dalam Saman, gambaran kaum intelektual seperti Saman dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, serta seorang pastor yang seharusnya membimbing umatnya ke jalan yang benar, malah melakukan perzinaan dengan seorang wanita “Yasmin” yang merupakan isteri dari orang lain. Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek.
Kehidupan Saman digambarkan penuh belenggu. Penuh kontradiksi; di satu sisi sewaktu kecil ia telah merasakan hal yang begitu aneh bagi anak- anak seumurannya, selalu dihantui oleh suara tangisan bayi yang sebenarnya sosok bayi itu tidak ada, di sisi lain ia merasa aneh saat Ibunya hamil, bayi Ibunya selalu hilang sebelum lahir pada waktunya di dalam kandungan Ibunya.
Ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang pastur di tempat ia pernah menghabiskan masa kecilnya, yaitu di Perabumuluih (Palembang). Ia memutuskan untuk membantu Upi seorang gadis yang memiliki keterbelakangan mental, yang membuatnya terjebak dalam situasi yang sangat genting. Di satu sisi ia harus membantu warga perkebunan untuk mempertahankan perkebunan mereka yang membuat ia berada posisi yang sangat berbahaya, di sisi lain ia memang harus melakukan semua itu lantaran agar Upi bisa dirawat secara layak oleh keluarganya dengan biaya perkebunan yang dianggap sudah mulai membaik.
Ketika memutuskan untuk kabur ke luar negeri (New York), dengan bantuan teman- temannya ia sama sekali merasa tidak bahagia. Ia merasa bersalah terhadap teman- teman yang telah ia tinggalkan di Perabumuluih, karena mereka harus menderita menanggung beban tanpa keterlibatan dirinya. Di sisi lain, ia harus meninggalkan Indonesia karena itu adalah jalan yang terbaik yang harus ia tempuh pada saat itu. Benar- benar berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menggunakan pilihan.

Begitu juga dengan rasa bersalah yang bergelantung di hatinya terhadap Bapak di Jakarta. Ia telah membuat Bapaknya sulit menyesuaikan harapan dengan keputusan- keputusan yang diambilnya. Ia telah membuat keturunan Bapaknya berhenti saat ia memutuskan untuk menjadi seorang pastor. Bahkan sekarang Bapaknya jauh lebih merana akibat pemberitaan yang menuding dirinya dengan sangat tidak adil. Sebab ia tahu, orang tua selalu merasakaan kesusahan anaknya dengan berlipat, terlebih-lebih Bapaknya tidak mengetahui keberadaannya pada saat ini.
Di sinilah tragik cerita yang rumit itu. Rumit bersebab Saman harus melangsungkan kehidupan di luar negeri di (New York) dengan membawa rasa bersalah yang begitu besar terhadap teman-temannya yang telah ia tinggalkan di Perabumuluih serta Bapak yang harus menderita akibat pemberitaan-pemberitaan yang selalu menuding anaknya dengan sangat tidak adil. Sementara itu, ia tidak berhenti memendam angan-angan untuk bisa bertemu degan pujaan hatinya “Yasmin” yang telah membuat dirinya menjadi seorang intelek serta seorang pemuka agama  yang tidak bermatabat di mata masyarakat banyak. Serta menghancurkan kepercayaan masyarakat banyak terhadap kaum intelek, yang sebenarnya mungkin tidak semua kaum intelek berbuat seperti yang dilakukan oleh Saman.
Pembangunan cerita dilakukan Ayu dengan cukup dramatis. Hampir di sepanjang kisah, Ayu memperlihatkan konflik dalam diri Saman. Melalui gambar-gambar scenik yang filmis (yang kerap melompat berpindah ruang dan waktu) dan lewat teknik bercerita berbentuk monolog interieur, Ayu mendedah betul detil benak Saman dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga seolah Ayu hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia yang tengah dibacanya, sehingga Saman yang memang ada itu teridentifikasi dengan seksama.
Juga Ayu dengan cerdas memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bertaburan dalam benak Saman secara berulang-ulang. Bahkan juga lewat permenungan di benak Saman. Seperti pertanyaan: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, ternyata Tuhan tidak selalu adil, dsb. Dan oleh Ayu, daftar pertanyaan yang mengindifikasikan kegelisahan jiwa (manusia-manusa yang dihadapkan pada zaman yang mulai beranjak melaju dengan cepat sebagai era modern-kontemporer) itu, ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah dicari jawabannya. Tidak serta merta gampang ditemukan pemuasnya yang meredakan, menentramkan.
Seperti Saman yang harus melarikan diri ke luar negeri (New York) dengan bantuan empat orang temannya, ternyata tidak menjadikan Saman lantas merasakan kebahagiaan sejati. Belenggu bagi Saman tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah berada di tempat yang aman untuk keselamatan dirinya, ia dibelenggu oleh angan-angannya untuk kembali ke negaranya Indonesia, bahkan keinginan yang kuat untuk bertemu dengan pujaan hatinya.
Sejalan dengan modernisme dan gagasan kebangsaan, ide aktivis mulai banyak dibaca dan dikaji oleh masyarakat banyak pada masa itu. Dari tokoh Saman, bisa menjawab keingintahuan masyarakat bagaimana bentuk kehidupan seorang intelektual yang merangkap sebagai seorang aktivis dan pastor.
Dalam Saman, seorang pria yang disiratkan Ayu melalui Saman adalah seorang intelek yang memutuskan untuk menjadi seorang pastor namun harus memutuskan harapan Bapaknya untuk mendapatkan keturunan darinya. Di sisi lain ia telah membantu seoarang gadis yang yang memiliki keterbelakangan mental serta membantu warga perkebunan agar tidak diperbodoh oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, yang menyeret dirinya masuk ke dalam situasi yang membahayakan dirinya sendiri. Dan disaat ia memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri ia malah sempat berzina dengan salah seorang temannya yang sudah memiliki suami.
Jelas di sini bahwa ketidakmungkinan menggunakan pilihanlah yang menerbitkan belenggu pada Saman, menjadi perkara utama yang mendorong Saman menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis.
Ulasan atas belenggu agaknya penting dikemukakan. Yang mempertanyakan gambaran Saman yang didedah Ayu dalam Saman yang ditampilkan begitu dahsyat. Benarkah ia serendah itu, serapuh itu jiwanya, sejatuh itu moralnya? Tentu masyarakat tidak suka melihat yang demikian itu. Namun, pembaca harus memandang diri sendiri, benarkah seperti yang dilukiskan itu. Sebab, pengarang akan membuat manusia kenal kembali akan dirinya, agar mau mengkritik dirinya sendiri atau zelfcorectie. Itulah yang mau dikemukakan pengarang. Manusia supaya mengenal dirinya kembali untuk memperbaiki dirinya.
Akan halnya pungkasan cerita yang dibuat menggantung bagi Saman (pada akhirnya tidak ada tempat untuk ia pegang, semua terlepas, ia harus mencari), hal ini merupakan gambaran orang di zaman pancaroba. Atau Saman yang hidup dalam ambiguitas terperangkap antara sikap yang individualistik dan pandangan sosial. Ia berada dalam satu dilema disebabkan oleh sikap yang ambigu. Ia sadar semua yang dilakukannya selalu bertentangan, tapi harus dilakukannya.
Barangkali kita bisa menyebut Saman sebagai “romantika gelap gulita”, sebab membaca Saman mungkin dapat melemparkan pembaca pada kondisi kekosongan jiwa yang labil. Namun realitas tokoh Saman itu memang beranjak dari realitas faktual, betapa pun hendaknya masyarakat hendak mengelakkannya. Tidak berlaku hanya pada masa- masa itu saja.
Saman menyodorkan realitas masyarakat Indonesia yang sebenarya dibelenggu oleh dirinya sendiri kita masih mudah menyaksikannya di sekitar kita, jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, imajinasi yang pendek. Hingga zaman berlari begitu kencang seperti saat sekarang ini, karakteristik Saman  ternyata masih ada, belum lerai juga bila bukan kian sengit dan kuat keberadaannya, sebab makin tampak samar dan wajar saja semua belenggu itu kini kita dapati.
Wallahu alam, ketidakberdayaan untuk mengambil sebuah keputusan pada situasi yang sangat genting, memang sesuatu pilihan yang sangat sulit untuk diambil. Namun sebaiknya dengan iman yang dimiliki sebaiknya janganlah membawa kita ke dalam lubang yang menyesatkan, seperti halnya berzina. Semua itu bisa membawa pandangan yang negatif dari kalangan masyarakat terhadap kalangan intelektual apalagi Saman yang juga merangkap sebagai seorang pastor.
Jadi dapat disimpulkan, belenggulah yang mendominasi karakteristik Saman. Belenggulah yang membuatnya untuk tidak bisa mengambil keputusan yang sangat penting di dalam hidupnya. Karena belenggulah yang menyebabkan ia masuk ke dalam kehidupan yang penuh problematis. Yang menyebabkan ia harus terdampar ke luar negeri (NewYork), membuat Saman merasa bersalah terhadap teman-temannya yang ia tinggalkan di Perabumulih, membuat Bapaknya tersiksa terhadap pemberitaan yang memberitakan ketidakadilan terhadap dirinya.
Karena hidup yang penuh problematis, telah membawa Saman keluar dari sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang yang begitu religi. Ia menganggap bahwa Tuhan tidaklah adil, karena Tuhan tidak menolongnya keluar dari masalah yang sedang ia hadapi. Padahal suatu masalah yang sedang dihadapi akan menghasilkan jalan keluar yang membawa kita bahagia pada waktunya.
Begitulah Saman, belum terlalu mengerti dengan arti kehidupan, karena kehidupan adalah sebuah pilihan.



RIWAYAT PENULIS
Yowanda Kalsum  lahir di Solok (Sumbar) tanggal 20 Juli 1991. Biasa dipanggil Wanda, yang saat ini berusia 19 tahun. Merupakan anak ke dua dari tiga orang bersaudara, dan berkampung halaman di Nagari Muaro Paneh, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok.
Setelah menyelesaikan masa kanak- kanak di TK Al- qur’an Nurul Usmany Muaro Paneh Kabupaten Solok (1997), masa anak- anak di SDN 01 Muaro Paneh Kabupaten Solok (2003), masa ABG di SMPN 1 Muaro Paneh Kabupaten Solok (2006), dan masa remaja di SMAN 1 Muaro Paneh Kabupaten Solok (2009), sampai akhirnya diterima di perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Negeri Padang (UNP) pada saat ini.
Diterima sebagai mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) pada Jurusan pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni. Saat ini sedang menjalani semester tiga (semester ganjil), dalam membuat esai satra sebagai tugas dari mata kuliah Kritik Sastra.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog