Selasa, 03 Januari 2012

Essay 43 (Kritik Sastra)



RESINTENSI SPIRITUALITAS NOVEL BILANGAN FU KARYA AYU UTAMI
Oleh Yunita Andriana

MANUSIA cenderung untuk melakukan hal-hal baru. Namun, sesuatu yang lama tidak begitu saja ditingggalkan. Itulah resistensi. Bahwa setiap zaman, selalu terdapat tarik ulur di antara gaya hidup konvensional dengan ghaya hidup modern. Gaya hidup pada tataran ini menyangkut segala bentuk tata cara dan perilaku manusia pada umumnya. Satu diantara tata cara itu ialah pada laku spritualitas, yakni bentuk-bentuk ketaatan keagamaan. Laku spritualitas ini juga tidak terlepas dari adanya resistensi. Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami, menyajikan bentuk resistensi spiritualitas di dalamnya. Makalah ini akan mengkaji resistensi spritualitas tersebut dengan pendekatan sosiologi sastra.
Resisitensi selalu muncul dalam kehidupan manusia. Itu menjadi hal yang wajar mengingat manusia selalu mencari hal-hal baru. Namun, di tengah pencariannya itu, keinginan untuk meninggalkan yang telah ada, juga tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Atinya, selalu ada tarik-ulur dalam mempertahankan nilai-nilai budaya lama dengan keinginan untk menerapkan nilai-nilai budaya baru. Itulah yang kemudian menimbulkan resistensi yakni sebuah perlawanan. 
Bentuk-bentuk perlawanan dalam kehidupan manusia, mengewajantah ke dalam karya sastra. Itu tidak terlepas dari kehadiran pengarang sebagai anggota masyarakat. Artinya, bentuk-bentuk resistensi yang terjadi dapat dimasukkan ke dalam karya sastra. Itu juga berarti bahwa pengarang menjadi mediator dalam penyampaian gagasan (resistensi) antara dunia real (kenyataan) dengan dunia rekaan (sastra). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat (Endraswara, 2004:77). Maka, tidak ayal bahwa karya sastra menjadi cerminan realitas sosial.
Resistensi yang terjadi dalam karya sastra, kali sering dikaitkan dengan hubungan sosial, baik itu menyangkut hubungan antar personal, personal dengan lembaga, maupun antyar lembaga. Maka, kajian sosiologi sastra menjadi pendekatan yang sangat tepat. Tidak lain, itu disebabkan bahwa dalam sosiologi, fokus pembahasan yang dijadikan objeknya ialah interaksi sosial. Itu berbeda dengan kajian antropologi sastra yang lebih menengahkan kajian artefak budaya sebagai objek kajiannya.
Bilangan Fu karya Ayu Utami merupakan karya yang sarat dengan muatan interaksi sosial. Satu diantaranya ialah tentang interaksi antara tokoh Kupu-kupu dengan tetua desa. Interkasi diantara keduanya terjadi resistensi, yakni penolakan satu sama lain tentang laku spritualitas. Makalah ini akan membahas resistensi perilaku diantara kedua tokoh tersebut dengan pendekatan sosiologi sastra.
Perlawanan tidak sekadar terjadi pada tataran fisik, namun terjadi juga pada tataran ideologis. Pada dunia seni rupa, resistensi fisik dapat diamati dari perubahan-perubahan pakem dalam penggarapan ruang dan bidang grafis. Lahirnya karya-karya seni rupa dalam bentuk-bentuk absurd dan kontemporer merupakan sebuah contoh adanya resistensi fisik. Selain itu pula, resistensi ideologis pun terjadi di dalamnya, yakni hadirnya pemaknaan-pemaknaan baru lewan bentuk-bentuk baru. Bentuk-bentuk baru itulah yang merupakan ide resistensi.
Pencapaian perlawanan tidak sekadar pada proses penolakan begitu saja. Namun, masih ada proses penegndapan di dalamnya. Artinya, diperlukan semangat untuk berubah pada kondisi yang dialami. Maka, ketika keinginan itu telah mencapai puncak, resistensi pun muncul.
Kehidupan spritualitas, kali sering melahirkan resistensi-resistensi baru pula. Pencapaian ibadah yang sekadar mengikuti aturan-aturan baku, kali sering dianggap kurang meningkatkan keimanan. Maka, ditempuhlah cara-cara yang dapat meningkatkan kadar keimanan. Dan pada konteks ini, penentuan cara dilakukan dengan jalan berpikir reflektif. Artinya, terjadi proses dialog antar diri sendiri. Dan pada sebagian orang, inilah yang dinamakan wahyu.
Kelompok-kelompok ini menjadikan kepercayaan keagamaan sebagai landasan kehidupan sosial. Mereka mengatur sstem objek dan sistem simbolnya sendiri ketimbang diatur oleh sistem-sistem objek dan gaya-gaya hidup yang bersumber dari diskursus kapitalisme. Mereka membentuk bahasa estetis sendiri, ketimbang mengikuti dunia glamour fashion dan komoditi mode. (Piliang, 2006:308).
Pengaruh resistensi spritualisme itu pada akhirnya tidak jarang menimbulkan sikap fanatisme sempit. Artinya, menganggap bahwa bentuk spritualistas yang baru, sebagai sebuah bentuk kekufuran. Tidak lain itu diakibatkan pada pemaknaan teks (budaya) yang menganggap kebakuan ialah yang telah diwarisi oleh nenek moyang. Maka, ketika terjadi proses budaya yang tidak mengikuti cara-cara yang telah diwariskan oleh nenek moyang, kekufuran pun dicap kepada mereka yang menolak. Di sinilah interaksi sosial mengalami pertentangan. Hubungan harmonis pun dapat menjadi pudar dengan sendirinya. Tidak lain, itu diakibatkan sikap egosime mempertahankan ideologis spritualitas yang dipegang teguh.
Spritualisme pada konteks ini, menjadi sebuah gaya hidup. Tidak lain itu disebabkan tata cara dalam berperilaku pada konteks-konteks tertentu, dimaknasi sebagai gaya hidup. Gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu (Chaney, 1996:41).
Kisah dalam Bilangan Fu diceritakan dari perspektif Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang gemar bertaruh, bersikap skeptis, sinis dan melecehkan nilai-nilai masyarakat. Tetapi menurut Yuda, sang narator, kisah ini ditulis ulang oleh seorang penulis yang dikenalnya di acara Ruwatan Bumi, yang tidak lain, adalah Ayu Utami, penulis novel ini (hlm. 463).
Mengambil seting utama daerah di selatan Jawa, daerah Sewugunung dengan perbukitan gamping bernama Watugunung, Ayu Utami memperkenalkan Yuda, seorang pemanjat tebing yang menggunakan pemanjatan artifisial dalam aktivitasnya. Ketika membuka jalur pemanjatan baru di Watugunung, Yuda bertemu dengan Parang Jati, warga Sewugunung yang hendak mengadakan penelitian arkeogeologi di perbukitan gamping ini. Parang Jati dilanda kekuatiran akan nasib pegunungan gamping 
Watugunung yang akan habis suatu hari gara-gara penambangan kapur dan penebangan pohon yang tidak terkendali. Parang Jati yakin, akan tiba saatnya orang akan kehilangan pemandangan indah Watugunung, geolog kehilangan dokumen, pemanjat kehilangan tebing, dan masyarakat kehilangan matair (kawasan gamping adalah spons alam tempat air disimpan dan disuling menjadi sumber-sumber air jernih). Parang Jati tidak ingin Watugunung mengalami nasib yang sama dengan Bukit Citatah.
Bagi Yuda, Watugunung adalah Batu Menyanyi. Di bagian hidung Watugunung, ada sebuah lubang tebing yang menyiulkan angin dengan suara magis dan syahdu, seperti fu, alat musik orang Asmat. Yuda menamakan tebing itu sebagai Sebul yang menjelma makhluk cantik bertubuh manusia dengan kepala dan kaki serigala yang menyebabkan Yuda ketindihan dan mimpi basah.
Tetapi Parang Jati membuka mata Yuda bahwa Watugunung laksana vagina raksasa. Maka, Yuda harus menggunakan cara lain untuk 'ibundanya' dan bukannya memaku dan mengebor seperti yang dilakukan Yuda di ranjang dengan kekasihnya, Marja. Dengan kata lain, Parang Jati menghendaki Yuda untuk mengubah agama pemanjatannya, dari pemanjatan artifisial (yang disebut Parang Jati sebagai pemanjatan kotor/dirty climbing) menjadi pemanjatan bersih (clean climbing). Bagi Yuda, hanya ada dua jenis pemanjatan, pemanjatan bersih dan pemanjatan artifisial. Pemanjatan bersih adalah pemanjatan tanpa menggunakan alat bantu untuk menambah ketinggian, sedangkan pemanjatan artifisial adalah pemanjatan dengan menggunakan peralatan untuk sesekali menderek badan ke atas. Kedua pemanjatan ini mengizinkan pemanjat mengebor gantungan pada tebing baik untuk pengamanan maupun untuk mengatrol. Tetapi pemanjatan bersih menurut Parang Jati adalah pemanjatan suci (sacred climbing), tidak ada pemanjat yang boleh melukai tebing. Dalam pemanjatan jenis ini tidak boleh ada bor, piton, paku maupun pasak, hanya boleh ada pengaman perangko, penahan, sisip, pegas, dan tali-tali ambin. Pengaman untuk jenis pemanjatan ini bahkan hanya dipasang sesuai dengan sifat batu tanpa merusaknya sama sekali. Menurut Parang Jati, sudah saatnya alam raya dikasihi. "Menyetubuhinya tanpa memaksakan diri kepadanya. Memasukinya hanya jika ia membuka diri dan membiarkan ia melahap ujung-ujung tubuh kita..." (hlm. 82).
Diawali dari perpindahan agama yang terjadi dalam diri Yuda, hubungan mereka menjadi dekat seperti saudara. Parang Jati bagaikan malaikat jatuh bagi Yuda, lelaki bermata polos seperti bidadari yang harus dibebaskan dari tanggung jawab yang ditaruh pada dirinya oleh Suhubudi, sang ayah angkat. Sesuai kehendak Suhubudi, Parang Jati tergabung dalam sirkus orang aneh yang disebut Saduki Klan di mana dia berteman dengan berbagai makhluk aneh seperti manusia gelembung, manusia gajah, manusia badak, macan jadian, manusia kadal, manusia gendruwo, tuyul, dan manusia pohon. Sementara itu, Parang Jati harus berhadapan dengan adik yang tidak pernah diketahuinya, Kupu-kupu yang telah mengganti namanya menjadi Farisi, di tengah-tengah kegemparan menghilangnya orang mati dari kuburnya-yang dianggap telah bangkit dari kubur. Dan dalam pengungkapan misteri menghilangnya orang mati yang hilang dari kuburnya, tanpa sengaja, Yuda telah menyeret Parang Jati menghadap ajal dan mengandaskan hubungan cintanya dengan Marja. 
Masyarakat memiliki sistem adat tersendiri. Dalam menjalankan proses adat tersebut, terdapat aturan-aturan khusus. Aturan itulah yang pada akhirnya menjadi sebuah struktur hirearkis masyarakat. Dan pada konteks ini, struktur tersebut tidak ubahnya dengan adat-istiadat atau norma masyrakat itu sendiri. Penolakan atau penambahan struktur yang telah tetap, dan berlangsung lama, pada akhirnya akan membawa permasalahan dalam masyarakat.Munculnya sikap konservatif dan progresif merupakan salah satu diantaranya. Pertentangan kedua sikap itulah yang kemudian menimbulkan resistensi.
Bagi sikap konservatif, pemertahanan struktur masyarakat yang telah terlembagakan, serta menjadi turunan dari nenek moyang, merupakan sikap yang patut dijunjung dan dilestarikan. Bagi sikap ini, yang menolak dan tidak mengindahkan aturan yang telah diwariskan dari nenek moyang, merupakan tindakan yang melanggar struktur. Maka, hukum masyarakat pun dapat bertindak tegas pada konteks ini. Tindakan tersebut beranekaragam menurut konvensi masyarakat.
Sikap konservatif ini dihadapkan pada sikap progresif, yakni sikap yang menginginkan perubahan. Sikap ini menjadi sebuah lawan dari sikap konservatif. Sikap progresif selalu menuntut adanya perubahan dan cenderung menolak cara-cara yang sekadar berupa warisan. Akibat sikap inilah maka kehidupan dalam masyarakat selalu menemui resistensi. Selalu ada pergokalan diantara kedua sikap tersebut.
Permasalahan resistensi dalam Bilangan Fu muncul salah satunya dari sikap pelaksanaan spritualitas. Bentuk spritualitas tersebut berupa nilai spritualitas agama Islam. Itu dapat dilihat dari tuturan dan konteks yang terjadi antara tokoh Kupu-kupu dan tetua adat. Dalam tuturan tersebut, ungkapan ‘Gusti Allah’, ‘musyrik’ dan ‘muslim’ misalnya, menjadi data bahwa konteks pritualitas yang dimaksud ialah agama Islam. Resistensi yang terjadi pada Bilangan Fu dapat dilihat dari pergolakan-dialog antara kedua tokoh tersebut. Bahwa Kupukupu dengan pengetahuan yang dimilikinya, menentang tata cara (struktur adat) dalam merawat jenasah. Bagi Kupukupu, sorang musyrik tidak perlu dirawat sebagimana jenasah orang Islam, yakni disholatkan. Di sinilah timbul resistensi. Sebab, bagi tetua adat, persoalan merawat jenasah merupakan hal yang sudah menjadi kehendak warga. Artinya, hal tersebut telah terlembagakan, menjadi budaya dan membentuk nilai sosial. 
Tapi Kupu-kupu mengutip, “Janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan jenazah orang musyrik...” “Ya, ya. Bapak ini juga tahu ayat itu,” kata penghulu Semar. “Tapi hal demikian itu menjadi pengetahuan Gusti Allah semata. Lagi pula, kita ini warga desa. Seluruh warga desa ikhlas untuk menyembahyangkan almarhum, Nak.”
“Ustadz jangan menyebut dia almarhum. Almarhum hanya untuk orang muslim. Dia telah musrik.”
Suasana menjadi tegang karena Kupu-kupu tidak mau membiarkan orang-orang bersembahyang. Diantara pelayat, aku melihat dua tiga orang yang mulai setuju pada perkataan Kupukupu, meskipun mereka tidak mau berbicara dengan keras. Tanpa pendukung pun, kekerasan hati Kupu-kupu untuk menghalangi pemakaman cukup membuat keadaan semakin genting. (Utami, 2008:97).
Struktur masyarakat yang telah terlembagakan, yakni mensholatkan jenazah, telah menjadi pemicu terjadinya resistensi. Pada satu pihak, yakni tetua adat, merupakan pihak yang berada pada posisi konservatif. Itu akibat pendapatnya mempertahankan argumen untuk menyolatkan jenasah berdasar pada perwakilan kolektif, yakni mengatasnamakan warga desa. Berbeda dengan tetua adat, posisi Kupukupu lebih kepada sikap yang progresif dengan memberi pendapat yang berbeda dengan tetua adat, yang itu berarti berbeda pula dengan sikap warga. Di sinilah resistensi itu muncul.
Resisistensi yang kemudian muncul tersbeut lebih menekankan pada aspek spritualitas. Itu disebabkan adanya nilai-nilai agama Islam yang dikemukakan. Pada kontes tersebut, nilai spritualitas yang terjadi, dalam konteks Islam, ialah tentang tasawuf dan syariat. Sebagai bentuk spritualitas Islam, tasawuf pada mulanya muncul sebagai gerakan zuhud, yaitu sikap mengingkari gejala kemewahan dan materialisme yang berlebihan dengan memperbayak ibadah (W.M., 2004:138). Tasawuf diwakilkan pada tokoh tetua adat yang lebih mementingkan sikap untuk berbuat baik kepada manusia. Dan dalam hal ini, nilai humanisme menjadi faktor kunci. Dan itu tidak terlepas dari konsep ajaran tasawuf yang lebih mengedepankan pada masalah moral. Di satu sisi, Kupu-kupu mewakili tokoh yang menekankan pada syariat Islam. Hal yang menojol tentang ini ialah dikutipnya ayat yang mengatakan tentang tidak bolehnya menyolatkan jenasah orang musyrik, “Janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan jenazah orang musyrik...”. Pada posisi inilah pemantapan pada bidang syariat menjadi hal yang menonjol.
Permasalahan resistensi ini pada akhirnya menimbulkan pertentangan fisik. Itu disebabkan tidak adanya sikap untuk saling bertoleransi. Yang ada hanyalah sikap untuk memaksakan diri terhadap idiologi dan keyakinannya sendiri. Inilah yang kemudian menjadi sesuatu yang dapat menyebabkan pertentangan. Pada hubungan Kupu-kupu dan tetua adat (masyarakat), tindakan yang terjadi hingga berupa tindakan fisik, yakni dengan cara mengobrak-abrik acara ritual adat. Ini menjadi sesuatu yang sangat disayangkan. 
Penyangan tersebut tidak terlepas dari unsur yang lebih mengedepankan pada simbol Islam yang kontadiktif. Artinya, melalui tokoh Kupukupu, Islam dimunculkan sebagai bentuk kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan diskonsepsi tentang Islam. Kekerasan yang dimunculkan ialah dengan cara menendang nyiru dan menyebabkan kepala korban terlontar dan jatuh terburai hingga terdengar orang-orang menjerit. Maka, ketika hal itu terjadi, banyak masyrakat yang tidak percata dan merasa sayang atas perbuatan seperti itu. Itulah yang merupakan bentuk diskonsepsi Islam pada akhirnya. Sebab, yang melakukan itu ialah orang-orang yang mengerti tentang syariat Islam.
Salah satu diantara mereka telah menendang nyiru dan menyebabkan kepala korban terlontar dan jatuh terburai. Terdengar orang-orang menjerit, tidak percaya bahwa sekelompok pemuda bersikap lancang terhadap upacara yang telah turun-temurun dilakukan. Ibu-ibu menyanyangkan kerajinan tangan mereka yang kini lengkat di tanah tanpa bentuk.
(Utami, 2008:142).
Akibat sikap Kupukupu yang dinilai tidak sesuai dengan struktur adat masyarat, pada akhirnya mendapat perlawanan dari masyarakat itu sendiri. Di sinilah konflik sosial terjadi. Dan konflik yang terjadi tersebut tidak sekadar pada tataran ideologis, namun telah merambah ke masalah fisik. Itu terlihat dari sikap beberapa laki-laki dengan sikap menantang Kupukupu. Sikap itu ditunjukkan oleh mereka sebab mereka merasa dihina oleh Kupu-kupu. Itu merupakan bagian dari adanya risistensi sosial. Dan dalam hal ini, resistensi yang terjadi berada pada wilayah spiritual agama. Makna spiritual agama di sini ialah pemaknaan tentang tafsir agama, yakni agama Islam.
“He, anak kecil! Kamu mau mengancam orang tua, ya!” Kini tetua Sang Resi Bima maju sambil menyingsingkan lengan sorjannya. Bersamaan dengan itu beberapa lelaki mulai memasang kuda-kuda. Resi Bima maju sambil melanjutkan petuahnya. “Dasar! Tidak tahu tata-krama. Ngaku-ngaku beragama tapi tidak punya sopan-santun!” (Utami, 2008:143).
Timbulnya bentuk perlawanan dari para pemuda yang menentang Kupukupu, tidak lain merupakan sikap mereka dalam melihat permasalahan yang berbeda. Perbedaan itu tidak diimbangi dengan sikap menghadirkan nilai-nilai tolerasni. Akibatnya, pertentangan pun muncul bukan pada tataran ideologis semata, namun juga pada tataran fisik. Ini sangat disayangkan mengingat perlawanan atau resisitensi yang terjadi berpijak pada nilai-nilai agama, yakni Islam. 
Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami ini menyajikan sebuah konsep tentang konflik masyarakat antara sikap konservatif dan progresif. Sikap konservatif ditunjukkan oleh tetua adat, sedangkan sikap progresif ditunjukkan oleh Kupukup. Kedua sikap tersebut pada kahirnya memicu terjadinya perbedaan. Perbedaan itulah yang dimaknai sebagai sebuah resisitensi.
Perbedaan sikap antara Kupukupu dan tetua adat di atas merupakan bentuk dari resistensi dalam menginterpretasikan sekaligus melaksanakan konsep religiusitas. Konsep religius itu ialah tentang pemaknaan pada agama Islam. Perbedaan tersebut merupakan sebuah resistensi yang pada akhirnya menimbulkan bentuk perlawanan fisik. Inilah salah satu dampak dari adanya resisstensi religiusitas yang tidak diimbangi dengan kemampuan untuk menempatkan nilai-nilai tolerasni.



RIWAYAT PENULIS
  Yunita Andriana terlahir di Tangerang, 4 Juni 1985. Anak pertama dari pasangan  Noer dengan Ibu Hasdiati. Ria sebagai Panggilan sehari-harinya ini berdomisili di Tangerang sejak lahir sampai tahun 1996. Kemudian pindah ke kampung halaman mengikuti orang tuanya di Payakumbuh dan melanjutkan pendidikan sampai tamat SLTA.
Setelah itu, melanjutkan pendidikan kejenjang Universitas Negeri Padang. Mendapatkan jodoh dan melangsungkan pernikahan pada tahun ke-2 dimasa kuliahnya. Namun dia tetap melanjutkan perkuliahan walaupun sudah memiliki seorang anak perempuan. 

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog