Selasa, 03 Januari 2012

Essay 39 (Kritik Sastra)



IDEOLOGI  DALAM  PEREMPUAN TUA
Oleh Mira Wahyuni

DI DALAM cerpen “Rintrik” (judul sebenarnya berupa sebuah gambar jantung tertusuk anak panah dan meneteskan darah). Yang dikenal dengan “Rintrik”, sebenarnya mengacu pada nama tokoh ”Rintrik” yang digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang buta. Tokoh "Rintrik" adalah seseorang yang memiliki keagungan budi dan kekuatan iman. ”Rintrik” merupakan simbolisasi dari nilai-nilai kebenaran yang dalam kodratnya harus berhadapan bahkan berperang melawan kebatilan. Itulah yang ingin diungkapkan oleh pengarangnya di dalam cerpen ini.
Kehadiran ”Rintrik” di lembah tempat pembuangan bayi-bayi manusia yang baru dilahirkan itu diibaratkan sebagai kedatangan seorang nabi atau rasul utusan Tuhan yang mengemban tugas untuk membebaskan dan memperbaiki budi manusia yang rusak. Ia sekaligus menjadi gambaran seseorang yang membawa nilai-nilai kebenaran di dalam dirinya.
Kehadiran ”Rintrik” sebagai simbol kebenaran yang betarung menghadapi kebatilan oleh Danarto digambarkan melalui keberadaan lembah yang pada mulanya dahulu merupakan tempat yang memiliki keindahan dan menakjubkan luar biasa, telah berubah menjadi tempat yang buruk, angker, dan menyeramkan. Lembah yang semula menjadi tempat tujuan orang untuk liburan, santai dari kepenatan hidup sehari-hari, kini menjadi ajang tempat pembuangan bayi-bayi hasil perbuatan keji manusia. Nilai-nilai kebatilan tergambar jelas dan utuh melalui tokoh Pemburu, sebagai antagonis di dalam cerpen ini, dan secara tersirat melalui kebejatan moral orang-orang kota yang membuang bayi-bayi hasil perbuatan mesum mereka ke lembah itu.
Keberadaan ”Rintrik” yang buta tidak lagi merupakan keberadaan manusia. Hal ini tergambar dari kemampuannya yang melebihi manusia biasa, bahkan nabi dan rasul sekali pun. Hal ini terlihat dari ucapannya kepada para petani, ketika hampir sebagian besar orang yang datang membawa bingkisan berupa makanan, buah-buahan, nasi dan lauk-pauknya, kain, tikar, dan sebagainya. Tetapi segala bingkisan itu ditolaknya dengan rendah hati dengan mengatakan.
“Masan kalian tidak tahu. Apa yang harus dimakan oleh benda mati, kecuali tidak ada? Seandainya ia masih membutuhkan makanan, udara yang lewat sekelilingnya sudah cukup bukan?”. 
Dalam cerpen ”Rintrik” ini sangat terlihat kreatifitas dan imajinasi pengarang, yang begitu cepat berganti antara dunia nyata dan dunia imajinasi pengarang, yakni bukanlah kehidupan yang benar-benar terjadi di  luar dunia nyata yang kita temui sehari-hari. Danarto pada cerpennya ini menunjukkan tentang keyakinan, kepercayaan atau ideologi untuk masuk ke dalam dunia yang memang bukan dunia manusia kita sehari-hari. 
  Sebuah karya sastra merupakan suatu ekspresi yang lahir dari jiwa pengarang. Di dalam cerpen Danarto yang berjudul Gambar Hati Terpanah mempunyai gaya khas tersendiri baik dalam tema, peceritaan, penggunaan tokoh-tokohnya maupun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang ada dalam isi cerita pendek ini, ini terlihat dari gagasan, keyakinan dan kepercayaan tokoh-tokoh yang ada dituangkan oleh Danarto dalam cerpennya  yang berjudul “Rintrik” ini.
Dalam cerpen ini, mengandung ideologi atau keyakinan dan kepercayaan tokoh yang  menonjolkan mistik. Kemistikan-kemistikan dalam cerpen ini ditampilkan oleh Danarto melalui tokoh, gaya penceritaan, tema, dan mistik yang diwujudkan menjadi lambang. Seperti:
1. Mistik yang Ditampilkan Melalui Tokoh
Tokoh yang ditampilkan danarto dalam cerpen ini adalah bukan manusia biasa yaitu manusia yang perbuatan dan pengalamannya melampaui kesanggupan manusia biasa. Hal ini dapat terlihat dari jawaban seorang tokoh utama (Rintrik) atas pertanyaan seorang yang menanyakan dengan apa ia makan selama ini. 
Berikut kutipanya:
“Masa kalian tidak tahu. Apa yang harus dimakan oleh benda mati, kecuali tidak ada? Seandainya ia masih membutuhkan makanan, udara yang lewat sekelilingnya sudah cukup bukan?” (halaman 23).
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa seorang nenek tua itu menyebut dirinya hanyalah sebagai benda mati yang digerakkan. Maksudnya, dia hidup karena ada yang menghidupkannya meskipun tanpa makan dan minum tidak selayaknya manusia biasa.
2. Mistik yang Diungkapkan Melalui Gaya Penceritaan.
“Engkau seorang ibu yang lembut, Rintrik, ”kata pemuda sambil menghela nafas dalam-dalam. “Berapa anakmu?” “Aku tak beranak dan tak diperanakkan. Dari sabda aku lahir. Aku bukan manusia. Namaku benda mati atau debu atau batu tidak berwarna tidak berbau. Dan manakala perjalananku sampai di jantung-Nya, disitulah aku sesungguhnya menyatu. Aku lenyap. Alam semesta lenyap. Seluruhnya diserap lenyap.” (halaman 22). 
 Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Rintrik yang pekerjaan sehari-harinya menguburkan bayi-bayi hasil perzinahan orang lain bukanlah manusia biasa. Tokoh semacam ini jarang kita jumpai pada cerpen-cerpen pengarang lain. Suasana mistis sangat terasa ketika Rintrik merasa bersatu manakala perjalanan sampai di jantung-Nya.
3. Mistik yang Menjadi Tema.
Dalam cerpen ini memuat pandangan dan cita-cita pengarang tentang kehidupan ini khususnya tentang dunia kebatinan atau mistik. Masalah-masalah yang dikemukakan diukur dengan ajaran mistik. Tentang pembebasan batin dari jasmani atau dunia inderawi terdapat pada tokoh Rintrik, perhatikan kutipan berikut: Alam semesta dan isinya adalah kematian abadi, karena bergerak hanya karena digerakkan. Bukan bergerak sendiri. Aku adalah salah satu penghuni alam semesta ini. Aku adalah benda mati. Mana mungkin benda mati bisa merasakan penderitaan dan kebahagiaan. (halaman 27).
Dalam pandangan mistik Jawa jalan ke kemurnian itu ditempuh dengan mengadakan jarak diri pribadi dengan aspek material. Pandangan tokoh Rintrik tentang kemurnian terdapat pada: 
“Di luar badai masih menggila dan terdengar sebatang pohon kelapa roboh. “Pertanda apakah ini semua, Rintrik?” Tanya seorang laki-laki tua.
“Hilangnya kemurnian”.
“Apakah kemurnian itu?”
“Kemurnian adalah sesuatu yang mulus, semacam keikhlasan yang tulus atau semacam batang padi yang timbul tanpa pamrih, apakah ia akan didera oleh penyeleweng-penyeleweng atau menjadi makanan seluruh rakyat. Ia tidak usah memikirkan itu…….” (halaman 18).
 Percakapan-percakapan Rintrik menunjukkan pandangan mistik tentang kehidupan. Proses perjalanan mistik ini sampai pada puncaknya ketika Rintrik menyatakan keinginan yang terakhir. Perhatikan kutipan berikut:
Suasana sudah pada puncaknya.
“Untuk terakhir kalinya, apa keinginanmu?”
“Syahwat yang besar sekali.”
“Apa itu?”
“Melihat wajah Tuhan. (halaman 32).
4. Mistik yang Diwujudkan Menjadi Lambang.
 Di dalam cerita pendek ini banyak dijumpai simbol-simbol yang berfungsi untuk menerangkan dan menarik pembacanya agar menimbulkan rasa ingin tahu. Berikut ini contoh perlambangan yang terdapat dalam cerpen yang tidak menggunakan judul kata, yakni gambar hati terpanah. Menurut pengarangnya simbol itu yang paling kena untuk cerpen ini. Pengarang mengatakan bahwa simbol itu menunjukkan: 1) syahwat murahan yang digambarkan oleh pengemis dan kaum gelandangan di tembok-tembok pasar, lorong-lorong gelap: 2) cinta cengeng yang diimpikan oleh para teenagers kota-kota besar: 3) percintaan yang artistik dan kreatif oleh para seniman dan cendekiawan: 4) ma’rifat dan hikmat ketuhanan yang diimpikan oleh para rasul, nabi, wali, dan sufi. Tokoh utama cerita ini bernama Rintrik. Mengenai keadaan dirinya, pengarang melukiskan sebagai berikut:
             Ia berada di tengah prahara itu dengan tentram bagai bayi tidur dalam buaian, tidak terusik sedikit pun oleh petir yang sambar-menyambar di atas ubun-ubunnya. Melihat cara kerjanya itu tentulah ia memiliki kekuatan jasmani yang luar biasa. Orang setua itu! Perempuan dan buta! Di dalam badai! Masih bekerja lagi. (halaman 12).
            Ideologi atau kepercayaan inilah yang ingin diungkapkan oleh Danarto kepada pembaca dalam cerpennya yang berjudul “Rintrik” walaupun sebenarnya judul dari cerpen ini hanya gambar hati terusuk panah, tapi orang-orang banyak menyebut cerpen ini dengan judul rintrik, pada cerpen ini unsur ideologi atau kepercayaan mistiknya sangat kental dan menonjol sekali, hal ini juga terungkap dari  judul dalam cerpen ini yang tidak menggunakan kata-kata tapi justru menggunakan gambar hati yang terpanah. 





RIWAYAT PENULIS
Mira Wahyuni merupakan cewek kelahiran Padang 09 Juni 1990, seorang mahasiswi di Universitas Negeri Padang di Sumatera Barat. Saat ini Mira biasa ia di panggil oleh teman-teman sudah duduk di semester 5 bangku perkuliahan. Mira termasuk gadis yang sedikit pemalu sejak kecil, sampai saat sekarang ini sifat ini masih sangat melekat pada dirinya, tapi jika telah kenal denganya ia termasuk anak yang periang, supel dan asyik.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog