Selasa, 03 Januari 2012

Essay 30 (Kritik Sastra)



KEHANCURAN YANG TERUS DATANG KEPADA MANUSIA
Oleh Darma Yulia. A

MANUSIA cenderung untuk melakukan hal-hal baru. Namun sesuatu yang lama tidak begitu ditinggalkan, bahwa setiap zaman, selalu terdapat tarik-ulur diantara gaya hidup konvensional dengan gaya hidup modern. Gaya hidup pada tataran ini menyangkut segala bentuk tata cara dan prilaku manusia pada umumnya. Satu diantara tata cara itu ialah pada laku sprilitualitas, yakni bentuk-bentuk ketaatan keagamaan.
Tokoh utama dalam novel ini yaitu Yuda, seorang pemanjat tebing dan seorang petaruh sejati. Ada tiga tokoh disini; Marja, kekasih Yuda seorang mahasiswi desain dan Parang Jati seorang mahasiswa Geologi ITB semester akhir, penduduk lereng Watugunung yang berjari tangan 12. Yuda bertemu dengan Parang Jati ketika hendak membeli peralatan memanjat di rumah sahabatnya yang telah ‘pensiun’ sebagai pemanjat karena menikah dan membuka usaha menjual alat-alat untuk panjat tebing
Resitensi selalu muncul dalam kehidupan manusia. Itu menjadi hal yang wajar mengingat manusia mencari hal-hal baru. Namun ditengah pencarian itu, keinginan untuk meninggalkan yang telah ada, juga tidak sepenuhnya dilakukan. Artinya tidak selalu ada tarik ulur dalam memperhatikan nilai-nilai budaya lama dengan keinginan untuk menerapkan nilai-nilai budaya baru. Itulah yang kemudian menimbulkan resitensi yang kemudian menimbulkan resitensi yakni sebuah perlawanan. Bentuk perlawanan dari kehidupan manusia.
Resitensi yang terjadi dalam novel bilangan Fu sering dikaitkan dengan hubungan sosial, baik itu menyangkut hubungan antar personal, personal dengan lembaga, maupun antar lembaga. Novel Bilangan Fu merupakan karangan yang sangat erat dengan muatan interaksi sosial. Satu diantaranya ialah tentang interaksi antara tokoh Kupu-kupu dengan Tetua desa. Yang terjadi diantara keduanya resitensi, yakni penolakan satu sama lain tentang laku spiritual.
Dalam novel ini digambarkan pada sebuah kehidupan beberapa pemuda pemanjat tebing yang tidak menyukai kehidupan kota karena terlalu memuja televisi. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dengan melakukan pemanjatan kotor dengan melukai tebing dan merusak alam disekitarnya. Setelah bertemu Parang Jati, Yuda dan timnya melakukan pemanjatan bersih yaitu tanpa melukai tebing. Yuda seorang pemanjat tebing dan petaruh yang tidak percaya pada hal-hal yang mistik dan melecehkan nilai-nilai masyarakat. Dia memenangkan setiap taruhan dengan teman-temannya sebelum bertemu Parang Jati. Sehingga dia punya barang aneh hasil taruhannya seperti kelingking si Fulan, tulang rusuk dan barang aneh lainnya yang ia dapatkan.
Parang Jati adalah seorang pemuda berjari dua belas yang sering dipandang tidak lumrah, yang dididik oleh ayah angkatnya dan sangat menghormati keberagamaan. Dalam novel ini Parang Jati banyak mengutip kata-kata Yesus dalam konteks kotbah di bukit. Dia mengerti benar bahwa agama-agama lokal justru memiliki nilai-nilai yang memelihara alam ketimbang klaim kaum monoteis yang dogmatik dan cenderung diabaikan  pada lingkungan hidup disekitar.
Dalam novel ini ada  Marja kekasih Yuda yang bisa disetubuhi dengan sukarela tanpa paksaan. Bertapa kejam dan hinanya perlakuan itu. Marja seorang gadis bertubuh Kuda Teji yang juga mempunyai kelebihan dan kekuatan yang tidak dimiliki kaum pria. Karena itu ia bisa melakukan hal yang ia inginkan dengan sepenuh hatinya. Mereka terlibat dalam segitiga cinta yang lembut, diantara pengalaman-pengalaman keras yang berawal dari sebuah kejadian aneh orang mati yang bangkit dari kubur menuju penyelamatan perbukitan gamping di Selatan Jawa.
Dalam Bilangan Fu ini muncul pertikaian-pertikaian antara salah satunya adalah dari sikap pelaksanaan spritualitas. Bentuk spritualitas tersebut berupa nilai spritualitas agama Islam. Itu dapat kita lihat dari tuturan dan konteks yang terjadi antara tokoh Kupukupu dan ketua adat. Dalam tuturan tersebut, ungkapan ‘Gusti Allah’, ‘musyrik’ dan ‘muslim’ misalnya, menjadi data bahwa konteks spritualitas yang dimaksud ialah agama Islam.
Kupukupu yang beragama islam sangat marah pada pamannya (lelaki yang mati digigit anjing). Sejak lama Kupu-kupu memperingati dan menasehati lelaki itu tetapi lelaki itu tetap saja pada keyakinannya. Dia lelaki yang memberikan sesajian pada sebuah pohon di kaki Watugunung. Telah bertahun-tahun ia musyrik demi untuk memperoleh ilmu hitam. Bertapa mereka tidak berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginannya. Kupu-kupu dengan tetua desa mengatakan bahwa kematiannya digigit Anjing itu adalah suatu gambaran kemarahan Allah padanya. Itu saja sudah mengambarkan bahwah ia telah musyrik. Karena  ia telah mempersekutukan Allah selama hidupnya. Untuk itu ia tidak pantas dimakamkan dengan cara Islam. Ia tidak boleh disembayangkan dan tidak boleh dimakamkan di pemakaman umum. Karena nantinya tidak akan diterima oleh Allah. Kupu-kupu dengan seksama mengumumkan keburukan pamannya itu  didepan penduduk desa dan masyarakat sekitarnya sama sekali tidak mengkwatirkan jenazah itu. Karena kekerasan hatinya. Kupu-kupu pun berhasil memaksakan kehendaknya. Kepala desa dan keluarga lelaki yang mati karena digigit Anjing itu mengalah tidak ada lagi perlawanan. Jenazah itu akhirnya dimakamkan di lereng Watugunung. Dan Kupu-kupu itu terlalu yakin dengan kebenarannya dan menurut dia tidak ada toleransi untuk orang yang musyrik kepada Tuhannya.
Mungkin seharusnya Kupu-kupu tidak perlu terlalu bersikeras langsung mengkafirkan orang walaupun orang tersebut mencari ilmu hitam dan mempersekutukan Allah. Karena itu adalah hak dan prifasi mereka. Belum tentu juga Kupu-kupu benar sepenuhnya karena dalam Islam masih ada toleransi, serta menganjurkan berbuat baik pada sesama manusia. Dan biarkan saja Allah yang menghukum orang-orang yang musyrik. Dalam mengungkapkan Spiritualisme kritis yang menjadi tema besar novel ini, banyak sekali menghadirkan debat-debat antara tokoh Yuda dan Parang Jati, serta dengan penduduk setempat disekitarnya. Pengarang juga banyak sekali menyinggung tentang  sejarah Babad Tanah Jawi dalam menyampaikan pendapatnya tentang berbagai adat istiadat yang berhubungan dengan spiritual Jawa seperti kepercayaan tentang Nyai Roro Kidul, persembahan atau sesajen, upacara Bekakak di Yogyakarta.
Adanya nilai-nilai agama Islam yang dikemukakan, haruslah sesuai dengan kaidah dan manfaatnya dalam kaidah islam yang telah ditentukan. Pada konteks tersebut, nilai spritualitas yang terjadi, dalam konteks Islam, ialah tentang tasawuf dan syariat. Sebagai bentuk spritualitas Islam, tasawuf pada mulanya muncul sebagai gerakan Zuhud, yaitu sikap mengingkari gejala kemewahan dan materialisme yang berlebihan dengan memperbayak ibadah.
Tasawuf diwakilkan pada tokoh ketua adat yang lebih mementingkan sikap untuk berbuat baik kepada manusia. Dan dalam hal ini, nilai humanisme menjadi faktor kunci. Dan itu tidak terlepas dari konsep ajaran tasawuf yang lebih mengedepankan pada masalah moral. Di satu sisi, Kupu-kupu mewakili tokoh yang menekankan pada syariat Islam. Hal yang menonjol tentang ini ialah dikutipnya ayat yang mengatakan tentang tidak bolehnya menyolatkan jenasah orang musyrik, “Janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan jenazah orang musyrik...”. Pada posisi inilah pemantapan pada bidang syariat menjadi hal yang menonjol.
Permasalahan dalam novel ini adalah pertikaian yang terjadi pada akhirnya menimbulkan pertentangan fisik antara masyarakat. Itulah  disebabkan tidak adanya sikap untuk saling bertoleransi antara manusia dan manusian lainnya. Yang ada hanyalah sikap untuk memaksakan diri terhadap idiologi dan keyakinannya sendiri dan tidak mementingkan orang lain hanya diri sendiri yang diutamakan. Inilah yang kemudian menjadi sesuatu yang dapat menyebabkan pertentangan antara masyarakat desa. Pada hubungan Kupu-kupu dan ketua adat (masyarakat), tindakan yang terjadi hingga berupa tindakan fisik, yang dilakukan yakni dengan cara mengobrak-abrik acara ritual adat masyarat tersebut dan menjadi sesuatu yang tidak terpuji pada orang yang melihatnya.
Melalui tokoh Kupu-kupu, Islam dimunculkan sebagai bentuk kekerasan. Padahal agama Islam adalah agama yang paling dimuliakan oleh Allah. Inilah yang kemudian melahirkan diskonsepsi tentang Islam. Kekerasan yang dimunculkan ialah dengan cara menendang nyiru dan menyebabkan kepala korban terlontar dan jatuh terburai hingga terdengar orang-orang menjerit. Sehingga terjadilah kehancuran kepada manusia. Maka, ketika hal itu terjadi, banyak masyrakat yang tidak percaya dan merasa sayang atas perbuatan seperti itu. Itulah yang merupakan bentuk diskonsepsi Islam pada akhirnya. Sebab, yang melakukan itu ialah orang-orang yang mengerti tentang syariat Islam. Dan muncullah kehancuran kepada manusia, yang terus menerus datang silih berganti.
Akibat sikap Kupu-kupu yang dinilai tidak sesuai dengan struktur adat masyarat, dan pada akhirnya mendapat perlawanan dari masyarakat itu sendiri. Disinilah konflik sosial terjadi dan kehancuran. Begitu juga dengan konflik yang terjadi tidak sekadar pada tataran ideologis, namun telah merambah ke masalah fisik. Itu terlihat dari sikap beberapa laki-laki dengan sikap menantang Kupukupu dalam novel tersebut. Sikap itu ditunjukkan oleh mereka sebab mereka merasa dihina oleh Kupu-kupu. Karena itu merupakan bagian dari adanya perbedaan sosial. Dan dalam hal ini, perbedaan yang terjadi berada pada wilayah spiritual agama. Makna spiritual agama pada novel di sini ialah pemaknaan tentang tafsir  kultur sosial, agama, yaitu agama Islam dan kehancuran yang terus datang silih bergati kepada manusia.
Timbulnya bentuk perlawanan dari para pemuda yang menentang Kupu-kupu, tidak adalah merupakan sikap mereka dalam melihat permasalahan yang berbeda. Perbedaan itu tidak lain adalah diimbangi dengan sikap menghadirkan nilai-nilai toleransi hal. Hal itu  mengakibatkan, pertentangan yang semangkin muncul bukan pada tataran ideologis semata, namun berbeda pada tataran fisik dan kehidupan masyarakat. Ini sangat disayangkan karena mengingat perlawanan yang terjadi berpijak pada nilai-nilai agama, yakni Islam. Seharusnya kupukupu yang mengerti serta menganut islam harus lebih mengerti dengan toleransi beragama. Kalau tidak kehancuran akan terus datang kepada manusia dan sekitarnya. Walaupun sakit hati dengan pamannya (lelaki yang mati digigit anjing), yang jelas ia tetap akan jadi pamannya sampai kapan pun, tetap saja dia tidak boleh memakai kekerasan apalagi dalam hal keagamaan dan membuat manusia tambah hancur lagi.
Dalam novel ini pengarang sangat pandai memainkan kata-katanya dengan sangat sempurna dan mendalam. Seakan kita dapat merasakannya juga. Novel ini juga menyinggung unsur-unsur pornografi yang menjadi hiburan serta menyinggung sejarah Babad Tanah Jawi sehingga pembaca tidak bosan membacanya. Novel ini juga memainkan kata-kata yang begitu menyentuh, dan juga bisa menambah wawasan pembaca bila membacanya dan seakan bisa merasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain terhibur yang membaca novel ini, juga dapat mengetahui bagaimana agama yang diridhoi oleh Allah dan apa yang harus dihindarkan. Pembaca juga bisa memperluas pengetahuannya serta mengerti dengan kehidupan yang terdahulu atau yang lampau. Dengan memahami bagaimana Islam yang sempurna itu tanpa ada syirik, dan musrik dalam diri manusia itu sendiri.
Keterkaitan unik baik dalam konteks substansi karya maupun perjalanan, atau bahkan persaingan antara manusia dan kehanjuran pada dirinya sendiri. Terlepas dari nuansa persaingan, keduanya memiliki kesamaan isu dalam kegelisahan spiritual yang melahirkan suatu perspektif tertentu dalam memahami agama dan Tuhan, khususnya dalam konteks Indonesia. Momentum kemunculan dua karya tersebut terkait dengan kondisi masyarakat yang masih penuh kontroversi seputar isme-isme dalam konteks keberagaman dan keberagamaan.



RIWAYAT PENULIS
Darma Yulia. A yang sering dipanggil Yulia ini sekarang sedang kuliah disebuah Perguruan Tinggi Negeri. Darma Yulia. A Lahir di Bukitinggi, 7 Agustus 1989 dan sekarang dalam bangku  kuliah semester lima, jurusan yang diambil Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. 
Darma Yulia. A hobi membaca, baca puisi, dan berenang. Darma Yulia. A  setelah lulus di Sekolah Menengah Atas/SMK tahun 2008. Langsung mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri dan Alhamdulillah lulus dengan  program studi “Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia” di Universitas Negeri Padang yang sekarang ia jalani.  
Ini adalah pengalaman pertama Yulia dalam menulis essai sastra sejak masuk perguruan tinggi. Darma Yulia. A mulai mengenal sastra sejak masuk di perguruan tinggi ini. Dan setelah banyak membaca buku sastra sekarang tertarik untuk mencoba membuat sebuah esai sastra. Ini adalah kali pertama Yulia membuat esai sastra.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wahyuku Design | Bloggerized by Wahyu Saputra - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog